Selasa, 12 Juli 2016

PERSPEKTIF ASWAJA TENTANG BID’AH

PERSPEKTIF ASWAJA TENTANG BID’AH

Agama 2 (Ahlussunnah Wal Jamaah)
Pembimbing: Nur Rohman, S.Pd., M.Si 
Disusun oleh:
Yulicha Ariyati                                   151120001719
Tiara Setia Rosa                                  151120001740
Dian Novita Dewi                               151120001744
                       

PROGRAM STUDI AKUNTANSI
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA JEPARA
TA 2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah, Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sehingga dapat tercipta sebuah makalah guna memenuhi tugas mata kuliah Aswaja(Ahlussunnah Wal Jamaah)
Makalah ini takkan terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih kepada:
1.      Bapak Nur Rohman, S.Pd., M.Si  selaku dosen mata kuliah Agama 2
2.      Orang tua saya yang telah memberi motivasi, serta memfasilitasi dalam berjalannya penyusunan makalah ini, dan tentunya yang selalu mendo’akan demi kesuksesan anaknya ini.
3.      Seluruh rekan-rekan yang telah membantu, memotivasi  dalam penyusunan makalah ini.
Dalam makalah ini,kami bermaksud menuturkan materi yang akan dikaji  dalam kegiatan belajar mengajar. Makalah ini bukanlah makalah yang sempurna, jadi tidak lepas dari kesalahan. Oleh karena itu, kami  memohon kritik dan saran yang dapat membangun untuk masa yang akan datang.


Jepara,30 Mei 2016                
               Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1    LATAR BELAKANG
Nahdlatul Ulama sebagai salah satu kelompok umatIslam yang setia mengamalkan sejumlah ritual-ritual keagamaan seperti tahlil, ziarahkubur, maulid, kerap dijadikan sasaran kelompok lain dengan klaim syirik, murtad, taqlid dan melakukan bid’ah. Dan hal itu yang menyebabkan keresahan di warga NU.
hal ini menjadikan warga NU memberikan respon terhadap aksi radikalisme yang diakukan oleh wahabi dan warga NU melakukan penetrasi sebagai alternatif penanganan radiklisme yang menyesatkan bid’ah bagi kalangan wahabiNU sendiri membantah adanya hal tersebut hal ini dikerenakan tidak adanya dali yang menerangkan bahwa Bid’ah tidak sesat karena didalam bid’ah kita memecahkan masalah yang belum ada sebelumnya atau belum ada dialquran maupun hadis dan NU selalu mengambil posisi di garda terdepan dalam upaya membela tradisi-tradisi keagamaan lokal tersebut dari serangan kaum Wahabi. Selain itu juga menyelenggarakan Kampanye anti-Wahabisme ini tampaknya bukan saja bergema di kalangan struktutal  NU,  melainkan  juga  telah  menjadi  isu  utama  di  kalangan  kelompok kultural NU.Kalangan kaum muda NU di jalur kultural yang sebelumnya kerap bersebrangan  dengan  kalangan  kaum  tua  yang  ada  di  struktur  dan  pesantrenpesantren,  kini  tampak  kompak  dan  bertemu  dalam  isu  besar  anti-Wahabisme.
Begitu  pula  sumberdaya  struktural  berupa  kelengkapan  organisasi  yang  dimiliki
oleh NU mulai dari tingkat pusat (PBNU) hingga tingkat Ranting yang berada
di  pedesaan,  dimobilisir  untuk  membendung  ekspansi  dakwah  Wahabi.  Rasa
keterancaman terhadap Wahabisme seolah telah membangkitkan kembali soliditas
dan solidaritas gerakan sosial NU yang sebelumnya banyak diwarnai oleh konflikkonflik internal akibat keterjebakan mereka dalam kubangan politik praktis.
Selain itu juga adanya rekonsolidasi  dan  revitalisasi  terhadap  semua  sumberdaya,  baik yang bersifat diskursif seperti aqidah dan amalaiyah, maupun terhadap semua aset
yang dimiliki NU. Berikut ini akan digambarkan beberapa respon yang diberikan
oleh kalangan NU, baik dari struktural maupun dari kelompok kultural, terhadap
fenomena ekspansi gerakan Wahabisme kontemporer.
1.2    RUMUSAN PEMBAHASAN
a.         Bagaimana perspektif Aswaja  tentang bid’ah ?
b.        Bagaimana Respon NU terhadap kelompok lain yang menyatakan bid’ah sesat dan menganggap bid’ah bagian dari tasyrik/syirik
1.3    TUJUAN PEMBAHASAN
a.         Menjelaskan perspektif Aswaja  tentang bid’ah
b.        Menjelaskan Respon NU terhadap kelompok lain yang menyatakan bid’ah sesat dan menganggap bid’ah bagian dari tasyrik/syirik
BAB II
PEMBAHASAN
1.1.  Pengertian Bid’ah
Kata bid’ah berasal dari kata bada’ah. Kata ini memiliki pengertian. “membuat sesuatu yang baru, yang tidak pernah ada sebelumnya.Bid’ah secara bahasa semua perkara baru yang belum pernah ada sebelumnya.Adapun bid’ah dalam hukum Islam ialah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. Jadi dapat disimpulkan bahwa bid’ah adalah sesuatu perkara baru yang belum ada sebelumnya yang diadakn oleh ulama yang belum ada sumbernya dari hadis dan alqur’an.Pengertian tersebut di atas didapati pada antara lain 1.Firman Allah, Q.S. al-An’am : 101 ;
بَدِيعُ السَّÙ…َاوَاتِ ÙˆَالْØ£َرْضِ Ø£َÙ†َّÙ‰ ÙŠَÙƒُونُ Ù„َÙ‡ُ ÙˆَÙ„َدٌ ÙˆَÙ„َÙ…ْ تَÙƒُÙ†ْ Ù„َÙ‡ُ صَاحِبَØ©ٌ ÙˆَØ®َÙ„َÙ‚َ ÙƒُÙ„َّ Ø´َÙŠْØ¡ٍ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ بِÙƒُÙ„ِّ Ø´َÙŠْØ¡ٍ عَÙ„ِيمٌ
Artinya : Dia (Allah) adalah Pencipta langit dan bumi, bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.(Q.S. al-An’am : 101)
1.2.  Macam – macam Bid’ah
Bid’ah terbagi dua, yaitu :
1. Bid’ah hasanah,
Yaitu : Amalan yang tidak ada contoh dari Nabi SAW tetapi mempunyai dalil umum atau qaidah agama lainnya yang mendukungnya. Bid’ah ini diterima amalannya atau bid’ah yang baik. Contoh Bid’ah hasanah . Melaksanakan shalat Tarawih dengan berjama’ah.
2. Bid’ah dhalalah,
Yaitu : Amalan yang tidak ada contoh dari Nabi SAW dan tidak ada dalil umum atau qaidah agama lainnya yang mendukungnya. Bid’ah ini
tidak diterima amalannya
1.3.  Kriteria bid’ah hasanah
Kriteria bid’ah hasanah antara lain :
1.      termasuk dalam katagori urusan agama yang bersifat ibadah, bukan urusan-urusan ‘adiyah dan urusan kehidupan yang tidak bersifat ibadah
2.      masuk di bawah pokok-pokok, maqashid syari’at atau perintah yang bersifat umum dari syari’at. Misalnya perayaan maulid Nabi SAW. Ini termasuk dalam pokok-pokok agama yang menganjurkan zikir kepada Allah dan memperbanyak shalawat kepada Nabi-Nya.
3.      tidak bertentangan dengan nash-nash syari’at. Oleh karena itu, bid’ah hasanah tidak dapat dituduh sebagai sesuatu yang hanya didasarkan kepada hawa nafsu manusia.
4.      dianggap oleh kaum muslimin sebagai perbuatan yang baik.
1.4.  Contoh-contoh bid’ah hasanah
Adapun Contoh-contoh bid’ah hasanah antara lain :
1.        Melaksanakan shalat Tarawih dengan berjama’ah. Izzuddin Abdussalam telah memasukkan shalat Tarawih secara berjama’ah ini dalam kelompok ibadah katagori bid’ah hasanah, yakni kelompok bid’ah mustahabbah.
2.        Pembukuan Al-Qur’an pada masa Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq atas usul Sayyidina Umar ibn Khattab.
3.        Utsman ibn Affan menambah azan untuk hari Jumat menjadi dua kali.
4.        Membangun perkumpulan dan madrasah-madrasah dan berjabatan tangan setelah Shalat Subuh dan Ashar.
5.        Belajar ilmu Bahasa Arab yang tergantung padanya pemahaman kitab dan sunnah seperti Nahu, Sharaf, Ma’ani, Bayan, lughat, setiap kebaikan yang tidak dikenal pada zaman awal dan pembahasan yang mendalam dalam ilmu Tasau
6.        Memperingati maulid Nabi Muhammad SAW
7.        Shalat Tasbih dengan berjama’ah.
8.        Amalan Ibnu Abbas menjihar al-Fatihah dalam shalat jenazah
9.        Membaca shadaqallahuh ‘adhim setelah selesai membaca al-Qur’an. Perbuatan ini telah terjadi di lingkungan kebanyakan kaum muslimin. Perbuatan ini meskipun tidak ada dalil khusus dari syara’
10.    Membaca Innallaha wa malaikatahu yushaalluna ‘alannabi ……dst sebelum khutbah Jum’at.
11.    Membaca shalawat dan salam atas Nabi SAW sesudah azan
12.    Menulis nama-nama surat, jumlah ayat, tanda waqaf dan lainnya dalam mashaf al-Qur’an
1.5.  Pendapat ulama mengenai amalan yang tidak ada contoh sebelumnya dari Nabi SAW
Pendapat ulama mengenai amalan yang tidak ada contoh sebelumnya dari Nabi SAW
1.      Imam Syafi’i membagi bid’ah kepada dua macam sebagaimana pernyataan beliau :
“Setiap perbuatan yang diadakan kemudian dan menyalahi kitab, sunnah, ijmak dan atsar adalah bid’ah yang sesat dan setiap perbuatan yang baik diadakan kemudian, tidak menyalahi sesuatupun dari demikian adalah bid’ah terpuji
2.      Ibnu Mulaqqan mengatakan :
Bid’ah adalah mengada-adakan sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Maka yang menyalahi sunnah adalah bid’ah dhalalah dan yang sepakat dengan sunnah adalah bid’ah al-hudaa (terpetunjuk/benar.
3.      Syaikh Abu Muhammad bin Abdussalam dalam Kitabnya, al-Qawa’id membagi bid’ah dalam lima pembagian, yaitu : wajib, haram, makruh, mustahabbah dan mubah. Sayyed ad-Dimyathi setelah mengutip pernyataan Ibnu Abdussalam di atas, memberikan contoh-contoh bid’ah, yaitu sebagai berikut : contoh wajib : membukukan al-Qur’an dan syari’at apabila dikuatirkan hilang, contoh haram : bid’ah-bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang dhalim seperti memungut pajak, contoh makruh : menghiasi mesjid dan mengkhususkan ibadah malam hanya malam Jum’at, contoh mustahabbah : melaksanakan Shalat Tarawih dengan berjama’ah, membangun perkumpulan dan madrasah-madrasah dan contoh mubah : berjabatan tangan setelah Shalat Subuh dan Ashar
Dengan demikian, maka bid’ah hasanah dengan makna sebagaimana disebut sebelum ini tidak termasuk dalam katagori bid’ah dengan makna ini, alias termasuk sunnah. Karena bid’ah hasanah menurut ulama yang membagi bid’ah kepada hasanah dan dhalalah, mempunyai dalil atau qawaid agama yang bersifat umum yang menjadi pendukungnya, meskipun amalan tersebut tidak ada contoh dari Rasulullah SAW.
Berdasarkan uraian ini, maka perbedaan penafsiran hadits diatas antara dua kelompok ulama ini bukanlah merupakan perbedaan yang substansial. Karena kedua kelompok ini sepakat bahwa amalan yang tidak ada contoh dari Rasulullah SAW tetapi didukung oleh dalil dan qawaid agama yang bersifat umum termasuk dalam katagori amalan yang diterima pada syara’. Mereka hanya berbeda pendapat dalam penamaannya saja. Kelompok pertama menamakan sebagai bid’ah hasanah, sedangkan kelompok kedua menamakannya sebagai amalan sunnah, tidak termasuk dalam katagori bid’ah. Ulama kelompok kedua ini mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan bid’ah pada hadits di atas adalah bid’ah syar’i sebagaimana makna yang disebutkan. Sedangkan bid’ah yang dibagi oleh ulama berdasarkan hukum syara’ yaitu wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah adalah merupakan bid’ah secara bahasa sebagaimana tergambar pada keterangan ulama di bawah ini :
4.      Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
Yang dimaksud dengan sabda Nabi SAW, “setiap bid’ah adalah sesat” adalah sesuatu yang diada-adakan dan tidak ada dalil secara khusus atau umum dari syara’.”
5.      Menurut Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf, setiap perkataan atau perbuatan ataupun keadaan yang tidak dukung oleh dalil syari’at yang sah adalah bid’ah yang tertolak. Pelakunya adalah orang yang tertipu, maksudnya adalah bid’ah menurut syara’ sebagaimana disebutkan dalam al-Fatawa al-Haditsah. Adapun bid’ah menurut bahasa terbagi dalam hukum yang lima, yaitu :
a.    wajib kifayah seperti belajar ilmu Arabiyah yang tergantung padanya pemahaman kitab dan sunnah seperti Nahu, Sharaf, Ma’ani, Bayan, loghat, tidak termasuk ‘Arudh dan Qawafii dan lainnya.
b.    haram seperti semua sikap ahli bid’ah yang berselisih dengan Ahlussunnah wal Jama’ah
c.    sunat seperti setiap kebaikan yang tidak dikenal pada zaman awal dan seperti pembahasan yang mendalam dalam Tasauf
d.   makruh seperti menghiasi mesjid dan menghiasi mashaf
e.    mubah seperti berlapang-lapang pada melezatkan makanan dan minuman.
Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf sebagaimana uraian di atas, meskipun berpendapat bahwa bid’ah menurut syara’ hanya terbatas bid’ah dhalalah, namun beliau tetap mengakui bahwa perbuatan yang tidak ada contoh dari Nabi SAW terbagi sesuai dengan hukum syara’, yaitu wajib, mubah, haram, sunnah dan makruh. Bid’ah yang terbagi lima ini menurut Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf adalah bid’ah menurut bahasa. Penjelasan Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf ini pada hakikatnya juga mengakui adanya pembagian bid’ah kepada bid’ah dhalalah dan bid’ah hasanah.
3. Ibnu Katsir membagi bid’ah menjadi dua, yaitu :
1.              Bid’ah menurut syar’i , seperti sabda Nabi SAW :
“Setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”
2.              Bid’ah secara bahasa, seperti ucapan Umar r.a. berkenaan dengan shalat taraweh berjama’ah pada bulan Ramadhan , beliau berkata :
“Sebaik-baik bid’ah adalah perbuatan ini.”
4. Berkata Ibnu Hajar al-Asqalany :
Yang dimaksud dengan “muhdatsaat” adalah sesuatu yang diada-adakan dan tidak ada dalilnya pada syara’ dan dinamakannya pada ‘uruf syara’ sebagai bid’ah. Sesuatu yang ada dalil yang ditunjuki syara’ atasnya, maka tidak termasuk bid’ah. Oleh karena itu, maka bid’ah pada ‘uruf syara’ merupakan tindakan tercela, berbeda halnya bid’ah secara bahasa, maka setiap yang diada-adakan dengan tanpa contoh dinamakan sebagai bid’ah, baik ia terpuji maupun yang tercela.
Pada kali lain, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
Yang dimaksud dengan sabda Nabi SAW, “setiap bid’ah adalah sesat” adalah sesuatu yang diada-adakan dan tidak ada dalil secara khusus atau umum dari syara’
1.  termasuk dalam katagori urusan agama yang bersifat ibadah, bukan urusan-urusan ‘adiyah dan urusan kehidupan yang tidak bersifat ibadah
2. masuk di bawah pokok-pokok, maqashid syari’at atau perintah yang bersifat umum dari syari’at. Misalnya perayaan maulid Nabi SAW. Ini termasuk dalam pokok-pokok agama yang menganjurkan zikir kepada Allah dan memperbanyak shalawat kepada Nabi-Nya.
3. tidak bertentangan dengan nash-nash syari’at. Oleh karena itu, bid’ah hasanah tidak dapat dituduh sebagai sesuatu yang hanya didasarkan kepada hawa nafsu manusia.
4. dianggap oleh kaum muslimin sebagai perbuatan yang baik.
F. Pandangan Bid’ah masyarakat wahabiyah
1. Doktrin tasyrik atau menilai sebuah amaliyah tertentu sebagai bagian dari Syirik atau menyekutukan Allah. Doktrin tasyrikini misalkan memuat larangan agar umat Islam tidak boleh mengangkat manusia, baik yang masih hidup maupun yang sudah meningal, untuk dijadikan  perantara  dengan  maksud  mendekatkan  diri  kepada  Allah.
2. konsep  yang  kerap  mewarnai  doktrin-doktrin  kaum  Wahabi  adalah  apa yang disebut dengan bid’ah. Bid’ah menurut kaum Wahabi adalah praktik-praktik keagamaan  yang  tidak  didasarkan   atau  tidak  ada  dasarnya  dalam  al-Qur’an dan  Sunnah  serta  otoritas  sahabat  Nabi.  Sehingga  konsep bi’dah versi  Wahabi ini  biasanya  dipasangkan  sebagai  lawan  negatif  dari  sunnah.  Dengan  demikian, menegakkan  sunnah  melibatkan  tindakan  meninggalkan bid’ah. Kaum  Wahabi
tidak  mengakui  adanya bid’ah yang  baik  (bid’ah  hasanah), melainkan  seluruh bid’ahitu adalah negatif dan didefinisikan secara kronologis: bid’ahadalah seluruh praktik atau konsep keagamaan yang baru ada setelah abad ketiga Hijriyah. Dengan demikian, periode perkembangan konsep atau praktik keagamaan baru yang bisa diterima tidak hanya meliputi dua generasi pertama kaum Muslim, yakni generasi sahabat  dan tâbi‘în,  tetapi  juga  periode  para  imam  empat  mazhab  fikih  Sunni
3. Konsep lainnya yang banyak mendapat penekanan dari kaum Wahabi adalah soal taklid dan  hukum  bermadzhab. Taklid dan  bermadzhab  bagi  Ibnu  Abdul Wahab merupakan salah satu perbuatan yang telah mengarah pada pengkultusan seseorang,  padahal  menurut  Wahabi  tidak  ada  yang  patut  dikultuskan  kecuali hanya Allah semata. Oleh karena itu, satu-satunya rujukan atau tempat berpaling umat Islam itu hanyalah al-Qur’an dan Sunnah serta otoritas sahabat Nabi

G. Pandangan dan Respon NU terhadap Aksi radikalisme wahabi yang menganggap bid’ah sesat
v                   Kampanye anti-Wahabisme => bukan saja bergema di kalangan struktutal  NU,  melainkan  juga  telah  menjadi  isu  utama  di  kalangan  kelompok kultural NU.Kalangan kaum muda NU di jalur kultural yang sebelumnya kerap bersebrangan  dengan  kalangan  kaum  tua  yang  ada  di  struktur  dan  pesantrenpesantren,  kini  tampak  kompak  dan  bertemu  dalam  isu  besar  anti-Wahabisme. Begitu  pula  sumberdaya  struktural  berupa  kelengkapan  organisasi  yang  dimiliki oleh NU mulai dari tingkat pusat (PBNU) hingga tingkat Ranting yang berada di  pedesaan,  dimobilisir  untuk  membendung  ekspansi  dakwah  Wahabi.  Rasa keterancaman terhadap Wahabisme seolah telah membangkitkan kembali soliditas dan solidaritas gerakan sosial NU yang sebelumnya banyak diwarnai oleh konflikkonflik internal akibat keterjebakan mereka dalam kubangan politik praktis.
Hal ini Memberikan dampak positif berupa deradikalisasi pendidikan Islam di kalangan warga NU khususnya, dan bagi umat Islam pada umumnya
v                   Respon di sini memang tidak melainkan justru  bersifat  rekonsolidasi  dan  revitalisasi  terhadap  semua  sumberdaya,  baik yang bersifat diskursif seperti aqidah dan amalaiyah, maupun terhadap semua aset yang dimiliki NU Agenda programatik tersebut ada yang bersifat kelembagaan dan ada juga yang bersifat praksis gerakan. Untuk yang kelembagaan, Musykerwil tahun 2012 mengagendakan untuk melakukan konsolidasi organisasi melalui Turba (turun ke bawah) ke PCNU-PCNU di lingkungan DIY. Turba ini dilakukan dengan tujuan untuk: 1) Sebagai upaya transformasi pengetahuan tentang peta gerakan keagamaan yang  berkembang  di  Indonesia  belakangan  ini,  termasuk  di  dalamnya  tentang Wahabisme. 2) Sebagai upaya penyegaran terhadap gerak langkah organisasi dalam upaya pembentengan warga atau anggota NU dari infiltrasi kelompok-kelompok yang berusaha mengancam akidah NU, khusunya dari pengaruh Wahabi
dalam  hal  praksis  gerakan,  Musykerwil  PWNU  tahun  2012, melalui  lembaga  dan  lajnah  yang  ada  di  bawahnya  telah   menyusun  sejumlah program strategis untuk merespon gerakan Wahabisme yang semakin marak muncul di  Yogyakarta.  Program-program  stretegis  itu  antar  lain  adalah:  1)  Mendirikan sejumlah Radio Komunitas (Rakom) di 5 PCNU di DIY. 2) Menerbitkan kembali majalah “Bangkit” sebagai media silaturrahim dan sekaligus kampanye bagi ajaranajaran NU. 3). Membuat wibsite resmi PWNU DIY. 4). Membangun kerjasama dengan media-media populer di Jogja untuk kampanye Islam ala NU. 5). Penguatan kapasitas  guru-guru  Aswaja  yang  ada  di  sekolah-sekolah  LP  Ma’arif  NU.  6). Melakukan pendataan sekaligus pendampingan terhadap masjid-masjid NU. 7). Menerbitkan sejumlah buku yang menjelaskan tentang dalil-dalil amaliyah NU. Dan 8). Menyelenggrakan sejumlah kajian tentang peta gerakan Islam kontemporer
di sejumlah pesantren-pesantren NU di DIY.
        Ke  tujuh  program  di  atas,  dalam  investigasi  yang  penulis  lakukan,  secara jelas dan terang-terangan diarahkan untuk merespon kuatnya dakwah Wahabi di Yogyakarta.   Radio  komunitas  misalkan,  didirikan  sebagai  upaya  mengimbangi pengaruh-pengaruh  radio  yang  dikelola  oleh  kelompok  Wahabisme  maupun kelompok keagamaan yang bercorak Wahabi seperti Radio MTA (Majelis Tafsir al-Qur’an).  Begitu  pula,  majalah  “Bangkit”  diterbitkan  kembali  sebagai  upaya
membentengi warga NU DIY dari pengaruh majalah-majalah yang beraliran Wahabi yang marak sekali muncul di Yogyakarta. Sedangkan penguatan guru-guru Aswaja adalah  sebagai  ihtiyar  untuk  memantapkan  pemahaman  dan  keyakinan  pelajarpelajar Ma’arif terhadap ideologi dan amaliyah NU yang belakangan ini banyak dicela dan diharamkan oleh kelompok Wahabi. Demikian juga dengan pendataan masjid-masjid  yang  diidentifikasi  sebagai  masjid  NU  juga  sebagai  respon  atas banyaknya upaya infiltrasi dari kelompok Wahabi ke dalam masjid-masjid NU maraknya  dakwah  Wahabi  yang  kerap menyerang dan membid’ahkan amaliyah NU ini, pengurus ranting NU Sitimulyo meresponnya dengan mengadakan sejumlah kajian yang berisi tentang penguatan dalil-dalil amaliyah NU dan kajian kitab Aswaja pada setiap hari Sabtu Pon keliling di rumah-rumah. Kajian ini sebenarnya sudah ada sejak lama dan sempat vakum ketika gempa 2006 lalu. Dengan maraknya dakwah Wahabi, sejumlah orang yang sudah sejak awal setia dengan amaliyah NU ini merasa perlu mengaktifkan lagi dan diisi dengan kajian kitab Aswaja. Bila sebelumnya kegiatan ini hanya berupa mujahadah, namun sekarang justru ditambah dengan kajian kitab. Sedangkan di kalangan ibu-ibu, kegiatan-kegiatan shalawatan justru sekarang semakin semarak. Setiap RT di desa Sitimulyo kini memiliki kelompok shalawatan yang dilantunkan oleh ibu-ibu muslim desa itu. Mereka berkelilig dari satu rumah ke rumah lainnya untuk  melantunkan  nyanyian  berisi  puji-pujian  kepada  Nabi  Muhamamd  SAW ini.  Begitu  pula   di  kalangan  pemuda  dan  pemudi  desa  Sitimulyo,  shalawatan kini  sudah  menjadi  “magnet”  yang  mampu  mempertemukan  mereka  dalam forum-forum  yang  sebelumnya  tidak  mereka  lakukan.  Bila  sebelumnya  tradisi
shalawatan ini hanya dilakukan oleh kaum ibu-ibu, dalam dua tahun terakhir ini Implikasi  Gerakan  Anti-Wahabisme  NU  terhadap  Deradikalisasi derajat (dignity) kemanusiaan. Sedangkan derajat manusia itu tidak akan pernah bisa  terangkat  dengan  pola-pola  kekerasan  dan  penghinaan  terhadap  nilainilai  kemanusiaan.  Sehingga  dengan  demikian,  deradikalisasi  pendidikan  Islam sebenarnya  adalah  sebuah  ikhtiyar  yang  cukup  mulia  karena  hal  itu  berusaha mengembalikan  pendidikan  pada khittahnya sebagai  instrumen,  yang  menurut bahasa Freire disebutnya sebagai usaha memanusiakan manusia (humanisasi). Sampai  di  sini  jelaslah  bagi  kita  bahwa  gerakan  anti-Wahabisme  yang dilancarkan  oleh  NU  sebenarnya  bukan  dalam  rangka  memusuhi  mereka  yang digolongkan sebagai pengikut Muhammad bin Abdul Wahab, melainkan justru NU hendak mengkikis anasir-anasir radikalisme yang dibawa oleh doktrin dan ajaran Wahabisme. Doktrin Wahabisme yang mengkafirkan hampir semua amaliyah NU ini jelas sebuah bentuk kekerasan dan aksi radikalisme dalam wajahnya yang paling subtil sekaligus vulgar. Karena doktrin takfir, tadbi’ dan tasyrik yang dilemparkan oleh kaum Wahabi ini bukan semata-mata bersifat diskursif melainkan berimplikasi pada  status  keislaman  seseorang.  Karena  bila  seseorang  sudah  dinilai  kafir  atau
musyrik  oleh  kaum  Wahabi,  maka  darah  orang  tersebut  dihukumi  halal.46 Bila tindakan yang semacam ini dibiarkan maka bukan tidak mustahil pertumpahan darah dan kekerasan bisa terjadi.
Oleh sebab itu, deradikalisasi pendidikan Islam sebenarnya tidak harus dilihat dalam bentuknya yang bersifat formal semacam penguatan kurikulum deradikalisasi di  satuan  lembaga  pendidikan,  bukan  pula  harus  diwujudkan  dalam  bentuk semacam  sekolah  atau  pelatihan  tertentu  yang  bermuatan  materi  deradikalisasi Islam,  melainkan  lebih  dari  itu  sebuah  upaya  apapun  yang  secara  substansial diarahkan  untuk  menghilangkan  anasir-anasir  radikalisme  dan  kekerasan,  entah
wujudnya dalam bentuk halaqah atau pengajian atau bahkan perbincangan santai, namun itu mengarah pada gerakan perdamaian dan nir-kekerasan, maka hal itu juga bisa berkontribusi pada deradikalisasi pendidikan Islam. Gerakan anti-Wahabisme yang digalakkan oleh komunitas NU Yogyakarta dalam beberapa tahun belakangan ini tampak cukup nyata sekali telah berimplikasi positif  terhadap  meningkatnya  kesadaran  warga  NU  akan  ajaran  Islam  yang damai dan toleran pada satu sisi dan pada sisi yang lain mereka juga akhirnya bisa mengetahui  bahaya-bahaya  radikalisme  Islam  yang  sebagian  besar  nilai-nilainya disumbang oleh doktrin-doktrin Wahabi. sehingga bagi NU, akar-akar radikalisme Islam  ini  sebenarnya,  antara  lain,  bersumber  dalam  doktrin  dan  ajaran  yang Pendidikan Islam Setelah  kita  menyimak  secara  seksama  terhadap  sejumlah  gerakan  yang dilakukan oleh komnitas NU Yogyakarta di atas, khususnya yang terkait dengan responnya terhadap menguatnya gerakan Wahabi, maka dapat kita tarik benang merah yang cukup lurus dan serasi dengan agenda deradikalisasi pendidikan Islam yang belakangan ini juga cukup digalakkan di negeri kita. Karena pada prinsipnya, apa yang selama ini disebut sebagai deradikalisasi (pendidikan) Islam sebenarnya adalah  sebuah  upaya  untuk  meminimalisir  atau  bahkan  justru  mengkikis  habis anasir-anasir  radikalisme  yang  menyusup  dalam  paradigma,  sistem  dan  kultur yang berkembang dalam pendidikan Islam.Karena pada dasarnya, pendidikan Islam, sebagaimana juga pendidikan-pendidikan dari kultur agama lainnya, tidak pernah mengajarkan bentuk-bentuk radikalisme atau jenis-jenis kekerasan lainnya. Semua paradigma dan sisitem pendidikan tentu saja pasti berusaha mengangkat warga NU

BAB III
PENUTUP
1.1    KESIMPULAN
Terkait  dengan  agenda  deradikalisasi  pendidikan  Islam  yang  cukup  kuat
digalakkan di negeri kita dalam beberapa tahun belakangan ini, ternyata dapat kita
jumpai keragaman bentuk, strategi dan instrumen yang dipilih dan digunakan oleh
sejumlah individu dan atau kelompok dalam masyarakat. Apa yang ditunjukkan
oleh  komunitas  NU  Yogyakarta  di  atas,  seperti  instensifikasi  kajian  aswaja  dan
ke-NU-an adalah salah satu bentuk dari upaya komunitas NU Yogyakarta, baik
yang berposisi di tingkat struktur atau kepengurusan maupun yang berada di jalur
kultural, dalam upayanya membendung arus radikalisme keagamaan yang semakin
menguat  di  negeri  ini.  Dengan  menjadikan  momentum  “perlawanan”  terhadap
ekspansi Wahabisme yang dinilainya sebagai embrio dari gerakan radikalisme Islam,
komunitas NU Yogyakarta secara tidak langsung bisa dikatakan telah berkontribusi
terhadap upaya deradikalisasi pendidikan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber: Abdul Mun’im DZ (Editor), Piagam Perjuangan Kebangsaan, 2011 (Jakarta: Setjen PBNU-NU Online)
http://aruljepara.blogspot.com/2015/06/makalah-aswaja-nahdliyah-disusun-guna.html?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar