PERSPEKTIF
ASWAJA TENTANG BID’AH
Agama
2 (Ahlussunnah Wal Jamaah)
Pembimbing: Nur
Rohman, S.Pd., M.Si
Disusun
oleh:
Yulicha
Ariyati 151120001719
Tiara
Setia Rosa 151120001740
Dian
Novita Dewi 151120001744
PROGRAM
STUDI AKUNTANSI
UNIVERSITAS
ISLAM NAHDLATUL ULAMA JEPARA
TA
2015/2016
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah, Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya, sehingga dapat tercipta sebuah makalah guna memenuhi
tugas mata kuliah Aswaja(Ahlussunnah Wal Jamaah)
Makalah
ini takkan terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu saya
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak
Nur Rohman, S.Pd., M.Si selaku dosen
mata kuliah Agama 2
2. Orang
tua saya yang telah memberi motivasi, serta memfasilitasi dalam berjalannya penyusunan
makalah ini, dan tentunya yang selalu mendo’akan demi kesuksesan anaknya ini.
3. Seluruh
rekan-rekan yang telah membantu, memotivasi
dalam penyusunan makalah ini.
Dalam
makalah ini,kami bermaksud menuturkan materi yang akan dikaji dalam kegiatan belajar mengajar. Makalah ini
bukanlah makalah yang sempurna, jadi tidak lepas dari kesalahan. Oleh karena
itu, kami memohon kritik dan saran yang
dapat membangun untuk masa yang akan datang.
Jepara,30 Mei 2016
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Nahdlatul Ulama sebagai salah satu
kelompok umatIslam yang setia mengamalkan sejumlah ritual-ritual keagamaan
seperti tahlil, ziarahkubur, maulid, kerap dijadikan sasaran kelompok lain
dengan klaim syirik, murtad, taqlid dan melakukan bid’ah. Dan hal itu yang
menyebabkan keresahan di warga NU.
hal ini menjadikan warga NU
memberikan respon terhadap aksi radikalisme yang diakukan oleh wahabi dan warga
NU melakukan penetrasi sebagai alternatif penanganan radiklisme yang
menyesatkan bid’ah bagi kalangan wahabiNU sendiri membantah adanya hal tersebut
hal ini dikerenakan tidak adanya dali yang menerangkan bahwa Bid’ah tidak sesat
karena didalam bid’ah kita memecahkan masalah yang belum ada sebelumnya atau
belum ada dialquran maupun hadis dan NU selalu mengambil posisi di garda
terdepan dalam upaya membela tradisi-tradisi keagamaan lokal tersebut dari
serangan kaum Wahabi. Selain itu juga menyelenggarakan Kampanye anti-Wahabisme
ini tampaknya bukan saja bergema di kalangan struktutal NU,
melainkan juga telah
menjadi isu utama
di kalangan kelompok kultural NU.Kalangan kaum muda NU di
jalur kultural yang sebelumnya kerap bersebrangan dengan
kalangan kaum tua
yang ada di
struktur dan pesantrenpesantren, kini
tampak kompak dan
bertemu dalam isu
besar anti-Wahabisme.
Begitu pula
sumberdaya struktural berupa
kelengkapan organisasi yang
dimiliki
oleh NU mulai dari tingkat pusat (PBNU) hingga tingkat
Ranting yang berada
di
pedesaan, dimobilisir untuk
membendung ekspansi dakwah
Wahabi. Rasa
keterancaman terhadap Wahabisme seolah telah
membangkitkan kembali soliditas
dan solidaritas gerakan sosial NU yang sebelumnya
banyak diwarnai oleh konflikkonflik internal akibat keterjebakan mereka dalam
kubangan politik praktis.
Selain itu juga adanya
rekonsolidasi dan revitalisasi
terhadap semua sumberdaya,
baik yang bersifat diskursif seperti aqidah dan amalaiyah, maupun
terhadap semua aset
yang dimiliki NU. Berikut ini akan digambarkan
beberapa respon yang diberikan
oleh kalangan NU, baik dari struktural maupun dari
kelompok kultural, terhadap
fenomena ekspansi gerakan Wahabisme kontemporer.
1.2
RUMUSAN PEMBAHASAN
a.
Bagaimana perspektif Aswaja tentang bid’ah ?
b.
Bagaimana Respon NU terhadap kelompok lain yang
menyatakan bid’ah sesat dan menganggap bid’ah bagian dari tasyrik/syirik
1.3
TUJUAN PEMBAHASAN
a.
Menjelaskan perspektif Aswaja tentang bid’ah
b.
Menjelaskan Respon NU terhadap kelompok lain yang
menyatakan bid’ah sesat dan menganggap bid’ah bagian dari tasyrik/syirik
BAB
II
PEMBAHASAN
1.1. Pengertian
Bid’ah
Kata bid’ah berasal
dari kata bada’ah. Kata ini memiliki pengertian. “membuat sesuatu yang baru,
yang tidak pernah ada sebelumnya.Bid’ah secara bahasa semua perkara
baru yang belum pernah ada sebelumnya.Adapun bid’ah dalam hukum Islam ialah segala sesuatu yang
diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. Jadi dapat disimpulkan
bahwa bid’ah adalah sesuatu perkara baru yang belum ada sebelumnya yang diadakn
oleh ulama yang belum ada sumbernya dari hadis dan alqur’an.Pengertian
tersebut di atas didapati pada antara lain 1.Firman Allah, Q.S. al-An’am : 101
;
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ وَخَلَقَ
كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya : Dia (Allah) adalah Pencipta langit dan bumi,
bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan
segala sesuatu; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.(Q.S. al-An’am : 101)
1.2. Macam
– macam Bid’ah
Bid’ah terbagi
dua, yaitu :
1. Bid’ah
hasanah,
Yaitu :
Amalan yang tidak ada contoh dari Nabi SAW tetapi mempunyai dalil umum atau
qaidah agama lainnya yang mendukungnya. Bid’ah ini diterima amalannya atau
bid’ah yang baik. Contoh Bid’ah hasanah . Melaksanakan shalat Tarawih dengan
berjama’ah.
2. Bid’ah
dhalalah,
Yaitu :
Amalan yang tidak ada contoh dari Nabi SAW dan tidak ada dalil umum atau qaidah
agama lainnya yang mendukungnya. Bid’ah ini
tidak
diterima amalannya
1.3. Kriteria bid’ah
hasanah
Kriteria bid’ah hasanah antara lain :
1. termasuk
dalam katagori urusan agama yang bersifat ibadah, bukan urusan-urusan ‘adiyah
dan urusan kehidupan yang tidak bersifat ibadah
2. masuk di
bawah pokok-pokok, maqashid syari’at atau perintah yang bersifat umum dari
syari’at. Misalnya perayaan maulid Nabi SAW. Ini termasuk dalam pokok-pokok
agama yang menganjurkan zikir kepada Allah dan memperbanyak shalawat kepada
Nabi-Nya.
3. tidak
bertentangan dengan nash-nash syari’at. Oleh karena itu, bid’ah hasanah tidak
dapat dituduh sebagai sesuatu yang hanya didasarkan kepada hawa nafsu manusia.
4.
dianggap oleh kaum muslimin sebagai perbuatan yang
baik.
1.4. Contoh-contoh
bid’ah hasanah
Adapun
Contoh-contoh bid’ah hasanah antara lain :
1.
Melaksanakan shalat Tarawih dengan berjama’ah.
Izzuddin Abdussalam telah memasukkan shalat Tarawih secara berjama’ah ini dalam
kelompok ibadah katagori bid’ah hasanah, yakni kelompok bid’ah mustahabbah.
2.
Pembukuan Al-Qur’an pada masa Sayyidina Abu Bakar
ash-Shiddiq atas usul Sayyidina Umar ibn Khattab.
3.
Utsman ibn Affan menambah azan untuk hari Jumat
menjadi dua kali.
4.
Membangun perkumpulan dan madrasah-madrasah dan
berjabatan tangan setelah Shalat Subuh dan Ashar.
5.
Belajar ilmu Bahasa Arab yang tergantung padanya
pemahaman kitab dan sunnah seperti Nahu, Sharaf, Ma’ani, Bayan, lughat, setiap
kebaikan yang tidak dikenal pada zaman awal dan pembahasan yang mendalam dalam
ilmu Tasau
6.
Memperingati maulid Nabi Muhammad SAW
7.
Shalat Tasbih dengan berjama’ah.
8.
Amalan Ibnu Abbas menjihar al-Fatihah dalam shalat
jenazah
9.
Membaca
shadaqallahuh ‘adhim setelah selesai membaca al-Qur’an. Perbuatan ini telah
terjadi di lingkungan kebanyakan kaum muslimin. Perbuatan ini meskipun tidak
ada dalil khusus dari syara’
10.
Membaca Innallaha wa malaikatahu yushaalluna
‘alannabi ……dst sebelum khutbah Jum’at.
11.
Membaca shalawat dan salam atas Nabi SAW sesudah azan
12.
Menulis nama-nama surat, jumlah ayat, tanda waqaf dan
lainnya dalam mashaf al-Qur’an
1.5. Pendapat
ulama mengenai amalan yang tidak ada contoh sebelumnya dari Nabi SAW
Pendapat ulama mengenai amalan yang tidak ada contoh sebelumnya dari Nabi
SAW
1. Imam Syafi’i
membagi bid’ah kepada dua macam sebagaimana pernyataan beliau :
“Setiap
perbuatan yang diadakan kemudian dan menyalahi kitab, sunnah, ijmak dan atsar
adalah bid’ah yang sesat dan setiap perbuatan yang baik diadakan kemudian,
tidak menyalahi sesuatupun dari demikian adalah bid’ah terpuji
2. Ibnu
Mulaqqan mengatakan :
“Bid’ah
adalah mengada-adakan sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Maka yang menyalahi
sunnah adalah bid’ah dhalalah dan yang sepakat dengan sunnah adalah bid’ah
al-hudaa (terpetunjuk/benar.
3. Syaikh Abu
Muhammad bin Abdussalam dalam Kitabnya, al-Qawa’id membagi bid’ah dalam lima
pembagian, yaitu : wajib, haram, makruh, mustahabbah dan mubah. Sayyed
ad-Dimyathi setelah mengutip pernyataan Ibnu Abdussalam di atas, memberikan
contoh-contoh bid’ah, yaitu sebagai berikut : contoh wajib : membukukan
al-Qur’an dan syari’at apabila dikuatirkan hilang, contoh haram : bid’ah-bid’ah
yang dilakukan oleh orang-orang dhalim seperti memungut pajak, contoh makruh :
menghiasi mesjid dan mengkhususkan ibadah malam hanya malam Jum’at, contoh
mustahabbah : melaksanakan Shalat Tarawih dengan berjama’ah, membangun
perkumpulan dan madrasah-madrasah dan contoh mubah : berjabatan tangan setelah
Shalat Subuh dan Ashar
Dengan demikian, maka bid’ah hasanah dengan makna sebagaimana disebut
sebelum ini tidak termasuk dalam katagori bid’ah dengan makna ini, alias termasuk
sunnah. Karena bid’ah hasanah menurut ulama yang membagi bid’ah kepada hasanah
dan dhalalah, mempunyai dalil atau qawaid agama yang bersifat umum yang menjadi
pendukungnya, meskipun amalan tersebut tidak ada contoh dari Rasulullah SAW.
Berdasarkan uraian ini, maka perbedaan penafsiran hadits diatas antara dua
kelompok ulama ini bukanlah merupakan perbedaan yang substansial. Karena kedua
kelompok ini sepakat bahwa amalan yang tidak ada contoh dari Rasulullah SAW
tetapi didukung oleh dalil dan qawaid agama yang bersifat umum termasuk dalam
katagori amalan yang diterima pada syara’. Mereka hanya berbeda pendapat dalam
penamaannya saja. Kelompok pertama menamakan sebagai bid’ah hasanah, sedangkan
kelompok kedua menamakannya sebagai amalan sunnah, tidak termasuk dalam
katagori bid’ah. Ulama kelompok kedua ini mengatakan bahwa yang dimaksudkan
dengan bid’ah pada hadits di atas adalah bid’ah syar’i sebagaimana makna yang
disebutkan. Sedangkan bid’ah yang dibagi oleh ulama berdasarkan hukum syara’
yaitu wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah adalah merupakan bid’ah secara
bahasa sebagaimana tergambar pada keterangan ulama di bawah ini :
4. Ibnu Hajar
al-Asqalany mengatakan :
“Yang dimaksud dengan sabda Nabi SAW, “setiap bid’ah adalah sesat”
adalah sesuatu yang diada-adakan dan tidak ada dalil secara khusus atau umum
dari syara’.”
5. Menurut
Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf, setiap perkataan atau perbuatan ataupun keadaan
yang tidak dukung oleh dalil syari’at yang sah adalah bid’ah yang tertolak.
Pelakunya adalah orang yang tertipu, maksudnya adalah bid’ah menurut syara’
sebagaimana disebutkan dalam al-Fatawa al-Haditsah. Adapun bid’ah menurut
bahasa terbagi dalam hukum yang lima, yaitu :
a.
wajib kifayah seperti belajar ilmu Arabiyah yang
tergantung padanya pemahaman kitab dan sunnah seperti Nahu, Sharaf, Ma’ani,
Bayan, loghat, tidak termasuk ‘Arudh dan Qawafii dan lainnya.
b.
haram seperti semua sikap ahli bid’ah yang berselisih
dengan Ahlussunnah wal Jama’ah
c.
sunat seperti setiap kebaikan yang tidak dikenal pada
zaman awal dan seperti pembahasan yang mendalam dalam Tasauf
d.
makruh seperti menghiasi mesjid dan menghiasi mashaf
e.
mubah seperti berlapang-lapang pada melezatkan makanan
dan minuman.
Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf sebagaimana uraian di atas, meskipun
berpendapat bahwa bid’ah menurut syara’ hanya terbatas bid’ah dhalalah, namun
beliau tetap mengakui bahwa perbuatan yang tidak ada contoh dari Nabi SAW
terbagi sesuai dengan hukum syara’, yaitu wajib, mubah, haram, sunnah dan
makruh. Bid’ah yang terbagi lima ini menurut Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf
adalah bid’ah menurut bahasa. Penjelasan Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf ini
pada hakikatnya juga mengakui adanya pembagian bid’ah kepada bid’ah dhalalah
dan bid’ah hasanah.
1.
Bid’ah menurut syar’i , seperti sabda Nabi SAW :
“Setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”
2.
Bid’ah secara bahasa, seperti ucapan Umar r.a.
berkenaan dengan shalat taraweh berjama’ah pada bulan Ramadhan , beliau berkata
:
“Sebaik-baik bid’ah adalah perbuatan ini.”
4. Berkata Ibnu Hajar al-Asqalany :
“Yang dimaksud dengan “muhdatsaat” adalah sesuatu yang diada-adakan dan
tidak ada dalilnya pada syara’ dan dinamakannya pada ‘uruf syara’ sebagai
bid’ah. Sesuatu yang ada dalil yang ditunjuki syara’ atasnya, maka tidak
termasuk bid’ah. Oleh karena itu, maka bid’ah pada ‘uruf syara’ merupakan
tindakan tercela, berbeda halnya bid’ah secara bahasa, maka setiap yang
diada-adakan dengan tanpa contoh dinamakan sebagai bid’ah, baik ia terpuji
maupun yang tercela.
Pada kali lain, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Yang dimaksud dengan sabda Nabi SAW, “setiap bid’ah adalah sesat” adalah
sesuatu yang diada-adakan dan tidak ada dalil secara khusus atau umum dari
syara’
1. termasuk dalam katagori urusan agama yang
bersifat ibadah, bukan urusan-urusan ‘adiyah dan urusan kehidupan yang tidak
bersifat ibadah
2. masuk di bawah pokok-pokok, maqashid
syari’at atau perintah yang bersifat umum dari syari’at. Misalnya perayaan
maulid Nabi SAW. Ini termasuk dalam pokok-pokok agama yang menganjurkan zikir
kepada Allah dan memperbanyak shalawat kepada Nabi-Nya.
3. tidak bertentangan dengan nash-nash syari’at. Oleh
karena itu, bid’ah hasanah tidak dapat dituduh sebagai sesuatu yang hanya
didasarkan kepada hawa nafsu manusia.
4. dianggap
oleh kaum muslimin sebagai perbuatan yang baik.
F. Pandangan Bid’ah masyarakat wahabiyah
1. Doktrin tasyrik atau
menilai sebuah amaliyah tertentu sebagai bagian dari Syirik atau menyekutukan
Allah. Doktrin tasyrikini misalkan memuat larangan agar umat Islam tidak boleh
mengangkat manusia, baik yang masih hidup maupun yang sudah meningal, untuk
dijadikan perantara dengan
maksud mendekatkan diri
kepada Allah.
2.
konsep yang kerap
mewarnai doktrin-doktrin kaum
Wahabi adalah apa yang disebut
dengan bid’ah. Bid’ah menurut kaum Wahabi adalah praktik-praktik keagamaan yang
tidak didasarkan atau
tidak ada dasarnya
dalam al-Qur’an dan Sunnah
serta otoritas sahabat
Nabi. Sehingga konsep bi’dah versi Wahabi ini biasanya
dipasangkan sebagai lawan
negatif dari sunnah.
Dengan demikian, menegakkan sunnah
melibatkan tindakan meninggalkan bid’ah. Kaum Wahabi
tidak mengakui
adanya bid’ah yang baik (bid’ah
hasanah), melainkan seluruh bid’ahitu
adalah negatif dan didefinisikan secara kronologis: bid’ahadalah seluruh praktik atau
konsep keagamaan yang baru ada setelah abad ketiga Hijriyah. Dengan demikian,
periode perkembangan konsep atau praktik keagamaan baru yang bisa diterima
tidak hanya meliputi dua generasi pertama kaum Muslim, yakni generasi sahabat dan tâbi‘în,
tetapi juga periode
para imam empat
mazhab fikih Sunni
3. Konsep
lainnya yang banyak mendapat penekanan dari kaum Wahabi adalah soal taklid
dan hukum bermadzhab. Taklid dan bermadzhab
bagi Ibnu Abdul Wahab
merupakan salah satu perbuatan yang telah mengarah pada pengkultusan seseorang, padahal
menurut Wahabi tidak
ada yang patut
dikultuskan kecuali hanya Allah
semata. Oleh karena itu, satu-satunya rujukan atau tempat berpaling umat Islam
itu hanyalah al-Qur’an dan Sunnah serta otoritas sahabat Nabi
G. Pandangan dan Respon NU terhadap Aksi radikalisme wahabi yang menganggap bid’ah sesat
v Kampanye
anti-Wahabisme => bukan saja bergema di kalangan struktutal NU,
melainkan juga telah
menjadi isu utama
di kalangan kelompok kultural
NU.Kalangan kaum muda NU di jalur kultural yang sebelumnya kerap
bersebrangan dengan kalangan
kaum tua yang
ada di struktur
dan pesantrenpesantren, kini
tampak kompak dan
bertemu dalam isu
besar anti-Wahabisme. Begitu pula
sumberdaya struktural berupa
kelengkapan organisasi yang
dimiliki oleh NU mulai dari tingkat pusat (PBNU) hingga tingkat Ranting
yang berada di pedesaan, dimobilisir
untuk membendung ekspansi
dakwah Wahabi. Rasa keterancaman terhadap Wahabisme seolah
telah membangkitkan kembali soliditas dan solidaritas gerakan sosial NU yang
sebelumnya banyak diwarnai oleh konflikkonflik internal akibat keterjebakan
mereka dalam kubangan politik praktis.
Hal
ini Memberikan dampak positif berupa deradikalisasi pendidikan Islam di
kalangan warga NU khususnya, dan bagi umat Islam
pada umumnya
v Respon
di sini memang tidak melainkan justru bersifat
rekonsolidasi dan revitalisasi
terhadap semua sumberdaya,
baik yang
bersifat diskursif seperti aqidah dan amalaiyah, maupun terhadap semua aset yang
dimiliki NU Agenda
programatik tersebut ada yang bersifat kelembagaan dan ada juga yang
bersifat praksis gerakan. Untuk yang kelembagaan, Musykerwil tahun 2012 mengagendakan
untuk melakukan konsolidasi organisasi melalui Turba (turun ke bawah)
ke PCNU-PCNU di lingkungan DIY. Turba ini dilakukan dengan tujuan untuk:
1) Sebagai upaya transformasi pengetahuan tentang peta gerakan keagamaan yang berkembang
di Indonesia belakangan
ini, termasuk di
dalamnya tentang Wahabisme.
2) Sebagai upaya penyegaran terhadap gerak langkah organisasi dalam upaya
pembentengan warga atau anggota NU dari infiltrasi kelompok-kelompok yang
berusaha mengancam akidah NU, khusunya dari pengaruh Wahabi
dalam hal
praksis gerakan, Musykerwil
PWNU tahun 2012, melalui lembaga
dan lajnah yang
ada di bawahnya
telah menyusun sejumlah program strategis untuk merespon
gerakan Wahabisme yang semakin marak muncul di Yogyakarta.
Program-program stretegis itu
antar lain adalah:
1) Mendirikan sejumlah
Radio Komunitas (Rakom) di 5 PCNU di DIY. 2) Menerbitkan kembali majalah
“Bangkit” sebagai media silaturrahim dan sekaligus kampanye bagi ajaranajaran
NU. 3). Membuat wibsite resmi PWNU DIY. 4). Membangun kerjasama dengan
media-media populer di Jogja untuk kampanye Islam ala NU. 5). Penguatan kapasitas guru-guru
Aswaja yang ada di sekolah-sekolah LP
Ma’arif NU. 6). Melakukan
pendataan sekaligus pendampingan terhadap masjid-masjid NU. 7). Menerbitkan
sejumlah buku yang menjelaskan tentang dalil-dalil amaliyah NU. Dan
8). Menyelenggrakan sejumlah kajian tentang peta gerakan Islam kontemporer
di
sejumlah pesantren-pesantren NU di DIY.
Ke tujuh
program di atas,
dalam investigasi yang
penulis lakukan, secara jelas
dan terang-terangan diarahkan untuk merespon kuatnya dakwah Wahabi di Yogyakarta. Radio
komunitas misalkan, didirikan
sebagai upaya mengimbangi pengaruh-pengaruh radio
yang dikelola oleh
kelompok Wahabisme maupun kelompok
keagamaan yang bercorak Wahabi seperti Radio MTA (Majelis Tafsir al-Qur’an). Begitu
pula, majalah “Bangkit”
diterbitkan kembali sebagai
upaya
membentengi
warga NU DIY dari pengaruh majalah-majalah yang beraliran Wahabi yang
marak sekali muncul di Yogyakarta. Sedangkan penguatan guru-guru Aswaja adalah sebagai
ihtiyar untuk memantapkan
pemahaman dan keyakinan
pelajarpelajar Ma’arif terhadap ideologi dan amaliyah NU yang belakangan
ini banyak dicela
dan diharamkan oleh kelompok Wahabi. Demikian juga dengan pendataan masjid-masjid yang
diidentifikasi sebagai masjid
NU juga sebagai
respon atas banyaknya
upaya infiltrasi dari kelompok Wahabi ke dalam masjid-masjid NU maraknya dakwah
Wahabi yang kerap menyerang
dan membid’ahkan amaliyah NU ini, pengurus ranting NU Sitimulyo meresponnya
dengan mengadakan sejumlah kajian yang berisi tentang penguatan dalil-dalil
amaliyah NU dan kajian kitab Aswaja pada setiap hari Sabtu Pon keliling di
rumah-rumah. Kajian ini sebenarnya sudah ada sejak lama dan sempat vakum ketika
gempa 2006 lalu. Dengan maraknya dakwah Wahabi, sejumlah orang yang sudah
sejak awal setia dengan amaliyah NU ini merasa perlu mengaktifkan lagi dan
diisi dengan kajian kitab Aswaja. Bila sebelumnya kegiatan ini hanya berupa mujahadah,
namun sekarang justru ditambah dengan kajian kitab. Sedangkan
di kalangan
ibu-ibu, kegiatan-kegiatan shalawatan justru sekarang semakin semarak. Setiap
RT di desa Sitimulyo kini memiliki kelompok shalawatan yang dilantunkan oleh
ibu-ibu muslim desa itu. Mereka berkelilig dari satu rumah ke rumah lainnya untuk melantunkan
nyanyian berisi puji-pujian
kepada Nabi Muhamamd
SAW ini. Begitu
pula di kalangan
pemuda dan pemudi
desa Sitimulyo, shalawatan kini sudah
menjadi “magnet” yang
mampu mempertemukan mereka
dalam forum-forum yang
sebelumnya tidak mereka
lakukan. Bila sebelumnya
tradisi
shalawatan
ini hanya dilakukan oleh kaum ibu-ibu, dalam dua tahun terakhir ini Implikasi Gerakan
Anti-Wahabisme NU terhadap
Deradikalisasi derajat (dignity) kemanusiaan. Sedangkan derajat manusia
itu tidak akan pernah bisa terangkat
dengan pola-pola kekerasan
dan penghinaan terhadap
nilainilai kemanusiaan. Sehingga
dengan demikian, deradikalisasi pendidikan
Islam sebenarnya adalah
sebuah ikhtiyar yang
cukup mulia karena
hal itu berusaha mengembalikan pendidikan
pada khittahnya sebagai
instrumen, yang menurut bahasa
Freire disebutnya sebagai usaha memanusiakan manusia (humanisasi). Sampai di
sini jelaslah bagi
kita bahwa gerakan
anti-Wahabisme yang dilancarkan oleh
NU sebenarnya bukan
dalam rangka memusuhi
mereka yang digolongkan
sebagai pengikut Muhammad bin Abdul Wahab, melainkan justru NU hendak
mengkikis anasir-anasir radikalisme yang dibawa oleh doktrin dan ajaran Wahabisme.
Doktrin Wahabisme yang mengkafirkan hampir semua amaliyah NU ini
jelas sebuah bentuk kekerasan dan aksi radikalisme dalam wajahnya yang paling subtil
sekaligus vulgar. Karena doktrin takfir, tadbi’ dan tasyrik yang dilemparkan oleh
kaum Wahabi ini bukan semata-mata bersifat diskursif melainkan berimplikasi pada status
keislaman seseorang. Karena
bila seseorang sudah
dinilai kafir atau
musyrik oleh
kaum Wahabi, maka
darah orang tersebut
dihukumi halal.46 Bila
tindakan yang semacam ini dibiarkan maka bukan tidak mustahil pertumpahan darah
dan kekerasan bisa terjadi.
Oleh
sebab itu, deradikalisasi pendidikan Islam sebenarnya tidak harus dilihat dalam
bentuknya yang bersifat formal semacam penguatan kurikulum deradikalisasi di satuan
lembaga pendidikan, bukan
pula harus diwujudkan
dalam bentuk semacam sekolah
atau pelatihan tertentu
yang bermuatan materi
deradikalisasi Islam, melainkan
lebih dari itu
sebuah upaya apapun
yang secara substansial diarahkan untuk
menghilangkan anasir-anasir radikalisme
dan kekerasan, entah
wujudnya
dalam bentuk halaqah atau pengajian atau bahkan perbincangan santai, namun
itu mengarah pada gerakan perdamaian dan nir-kekerasan, maka hal itu juga
bisa berkontribusi pada deradikalisasi pendidikan Islam. Gerakan
anti-Wahabisme yang digalakkan oleh komunitas NU Yogyakarta dalam
beberapa tahun belakangan ini tampak cukup nyata sekali telah berimplikasi positif terhadap
meningkatnya kesadaran warga
NU akan ajaran
Islam yang damai
dan toleran pada satu sisi dan pada sisi yang lain mereka juga akhirnya bisa mengetahui bahaya-bahaya
radikalisme Islam yang
sebagian besar nilai-nilainya disumbang
oleh doktrin-doktrin Wahabi. sehingga bagi NU, akar-akar radikalisme Islam ini
sebenarnya, antara lain,
bersumber dalam doktrin
dan ajaran yang Pendidikan
Islam Setelah kita
menyimak secara seksama
terhadap sejumlah gerakan
yang dilakukan
oleh komnitas NU Yogyakarta di atas, khususnya yang terkait dengan responnya
terhadap menguatnya gerakan Wahabi, maka dapat kita tarik benang merah
yang cukup lurus dan serasi dengan agenda deradikalisasi pendidikan Islam yang
belakangan ini juga cukup digalakkan di negeri kita. Karena pada prinsipnya, apa
yang selama ini disebut sebagai deradikalisasi (pendidikan) Islam sebenarnya adalah sebuah
upaya untuk meminimalisir
atau bahkan justru
mengkikis habis anasir-anasir radikalisme
yang menyusup dalam
paradigma, sistem dan
kultur yang
berkembang dalam pendidikan Islam.Karena pada dasarnya, pendidikan Islam,
sebagaimana juga pendidikan-pendidikan dari kultur agama lainnya, tidak pernah
mengajarkan bentuk-bentuk radikalisme atau jenis-jenis kekerasan lainnya. Semua
paradigma dan sisitem pendidikan tentu saja pasti berusaha mengangkat warga NU
BAB
III
PENUTUP
1.1 KESIMPULAN
Terkait dengan agenda
deradikalisasi pendidikan Islam
yang cukup kuat
digalakkan di negeri kita dalam beberapa tahun belakangan ini, ternyata
dapat kita
jumpai keragaman bentuk, strategi dan instrumen yang dipilih dan digunakan
oleh
sejumlah individu dan atau kelompok dalam masyarakat. Apa yang ditunjukkan
oleh komunitas NU
Yogyakarta di atas,
seperti instensifikasi kajian
aswaja dan
ke-NU-an adalah salah satu bentuk dari upaya komunitas NU Yogyakarta, baik
yang berposisi di tingkat struktur atau kepengurusan maupun yang berada di
jalur
kultural, dalam upayanya membendung arus radikalisme keagamaan yang semakin
menguat di negeri
ini. Dengan menjadikan
momentum “perlawanan” terhadap
ekspansi Wahabisme yang dinilainya sebagai embrio dari gerakan radikalisme
Islam,
komunitas NU Yogyakarta secara tidak langsung bisa dikatakan telah
berkontribusi
terhadap upaya deradikalisasi pendidikan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber:
Abdul Mun’im DZ (Editor), Piagam Perjuangan Kebangsaan, 2011 (Jakarta: Setjen
PBNU-NU Online)
http://aruljepara.blogspot.com/2015/06/makalah-aswaja-nahdliyah-disusun-guna.html?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar