Selasa, 12 Juli 2016

NILAI-NILAI DASAR ASWAJA

NILAI-NILAI DASAR ASWAJA



BAB I
PENDAHULUAN

1.1       LATAR BELAKANG

Nahdlatul Ulama didirikan sebagai Jam’iyah Diniyah Ijtima’iyah (organisasi keagamaan kemasyarakatan) untuk menjadi wadah perjuangan para ulama dan pengikutnya. Tujuan didirikannya NU ini diantaranya adalah : Memelihara, Melestarikan, Mengembangkan dan Mengamalkan ajaran Islam Ahlu al-Sunnah Wal Jama’ah yang manganut salah satu pola madzhab empat: Imam Hanafi, Imam Maliki,Imam Syafi’i dan Imam Hanbali, Mempersatukan langkah para ulama dan pengikut-pengikutnya, dan Melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat serta martabat manusia. Kendala utama yang menghambat kemampuan umat melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar dan menegakkan agama dan karena kemiskinan dan kelemahan dibidang ekonomi. Maka, muktamar mengamanatkan PBNU untuk mengadakan gerakan penguatan ekonomi warga. Para pemimpin NU waktu itu menyimpulkan bahwa kelemahan ekonomi ini bermula dari lemahnya sumber daya manusianya (SDM). Mereka lupa meneladani sikap Rasulullah sehingga kehilangan ketangguhan mental. Setelah diadakan pengkajian, disimpulkan ada beberapa prinsip ajaran Islam yang perlu ditanamkan kepada warga NU agar bermental kuat sebagai modal perbaikan sosial ekonomi meliputi Mabadi Khaira Ummah, Khittah Nahdhiyah, dan UkhuwahNahdhiyah.


1.2         RUMUSAN MASALAH

a.       Bagaimana konsep tentang  Mabadi Khaira Ummah ?
b.       Bagaimana konsep tentang  Khittah Nahdhiyah ?
c.        Bagaimana konsep  tentang  Ukhuwah Nahdhiyah?

1.3         TUJUAN PENULISAN

a.         Menjelaskan konsep tentang  Mabadi Khaira Ummah
b.        Menjelaskan konsep tentang  Khittah Nahdhiyah
c.         Menjelaskan konsep tentang  Ukhuwah Nahdhiyah

BAB II
PEMBAHASAN
NILAI-NILAI DASAR AN-NAHDLIYAH
2.1 Mabadi Khaira Ummah
A. Pengertian Mabadi Khaira Ummah
Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan langkah awal pembentukan umat terbaik. Gerakan Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan “umat terbaik” (Khaira Ummah) yaitu suatu umat yang mampu melaksanakan tugas-tugas amar ma’ruf nahi mungkar yang merupakan bagian terpenting dari kiprah NU karena kedua sendi mutlak diperlukan untuk menopang terwujudnya tata kehidupan yang diridlai Allah SWT. sesuai dengan cita-cita NU. Dan nahi mungkar adalah menolak dan mencegah segala hal yang dapat merugikan,merusak dan merendahkan,nilai-nilai kehidupan dan hanya dengan kedua sendi tersebut kebahagiaan lahiriyah dan bathiniyah dapat tercapai.
B. Butir-butir Mabadi Khaira Ummah dan pengertiannya
Perlu dicermati perbedaan konteks zaman antara masa gerakan mabadi khaira ummah pertama kali dicetuskan dan masa kini. Melihat  besar dan mendasarnya  perubahan sosial yang terjadi dalam kurun sejarah tersebut, tentulah perbedaan konteks itu membawa konsekuensi yang tidak kecil. Demikian pula halnya denangan perkembangan kebutuhan interal NU sendiri. Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa penyesuaian dan pengembangan dari gerakan mabadi khaira ummah yang pertama agar lebih jumbuh dalam konteks kekinian.Jika semula mabadi khaira ummah tiga butir, maka dua butir perlu ditambahkan untuk mengantisipasi persoalan kontemporer, yaitu ’adalah dan istiqamah, yang dapat pula disebut dengan al-Mabadi al-Khamsah dengaan kerincian berikut ini:
Ash-shidqu. Butir ini mengandung arti kejujuran  atau  kebenaran, kesunguhann. Jujur dalam arti satunya kata dengan perbuatan ucapan dengan pikiran. Apa yang diucapkan sama dengan  yang dibatin. Tidak memutarbalikkan fakta dan meberikan informasi yang menyesatkan, jujur saat berpikir dan bertransaksi. Mau mengakui dan menerima pendapat yang lebih baik.
Al-amanah wal wafa bil ‘ahdi. Yaitu melaksanakan semua beban yang harus dilakukan terutama hal-hal yang sudah dijanjikan. Karena itu kata tersebut juga diartikan sebagai dapat dipercaya dan setia dan tepat pada janji, baik bersifat diniyah maupun ijtimaiyah. Semua ini untuk menghindarkan berapa sikap buruk seperti manipulasi dan berkhianat. Manah ini dilandasi kepatuhan dan ketaatan pada Allah.
Al’Adalah. Berarati bersikap obyektif, proporsional dan taat asas, yang menuntut setiap orang menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, jauh dari pengaruh egoisme, emosi pribadi dan kepentingan pribadi. Distorsi semacam itu bisa menjerumuskan orang pada kesalahan dalam bertindak. Dengan sikap adil, proporsional dan obyektif relasi sosial dan transaksi ekonomi akan berjalan lancar saling menguntungkan.
At–ta’awun. Tolong-menolong  merupakan  sendi utama dalam tata kehidupan masyarakat, manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan pihak lain. Ta’awun berarti bersikap setiakawan, gotongroyong dalam kebaikan dan dan taqwa. Ta’awaun mempunyai arti timbal balik, yaitu memberi dan menerima. Oleh karena itu sikap ta’awun mendorong orang untuk bersikap kreatif agar memiliki sesuatu untuk disumbangkan pada yang lain untuk kepentingan bersama, yang ini juga berarti langkah untuk mengkonsolidasi masyarakat.

Istiqamah, dalam pengertian teguh, jejeg ajek dan konsisten. Tetap teguh dengan ketentuan Allah dan Rasulnya dan tuntunan para salafus shalihin dan aturan main serta rencana yang sudah disepakati bersama. Ini juga berarti kesinambungan dan keterkaitan antara satu periode dengan periode berikutnya, sehingga kesemuanya  merupakan  kesatuan yang saling menopang seperti sebuah bangunan. Ini juga berarti bersikap berkelanjutan dalam sebuah proses maju yang tidak kenal henti untuk mencapai tujuan.
Kebangkitan kembali prinsip mabadi khaira ummah ini didorong oleh kebutuhan-kebutuhan dan tantangan nyata yang dihadapi oleh NU khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Kemiskinan dan kelangkaan sumber daya manusia, kemerosotan budaya dan mencairnya solidaritas sosial adalah keprihatinan yang dihadapi bangsa Indonesia umumnya dan NU pada khususnya. Sebagai nilai-nilai universal butir-butir mabadi khaira ummah dapat dijadikan sebagai jawaban langsung bagi problem-problem sosial yang dihadapi masyarakat dan bangsa ini.
2.2 Khittah Nahdliyah
A. Pengertian Khittah Nahdiyah
Khittah artinya garis yang diikuti, garis yang biasa atau selalu ditempuh. Kalau  kata khittah dirangkai dengan Nahdhatul Ulama’(selanjutnya disingkat  NU),  maka  artinya garis yang biasa ditempuh oleh orang orang NU dalam kiprahnya mewujudkan cita cita yang dituntun oleh faham keagamaannya sehingga membentuk kepribadian khas NU.
Jadi pengertian Khitthah NU adalah landasan berfikir, bersikap, danbertindakwarga NU, secara individual maupun organisatoris. Landasan yang dimaksud  adalah fahamAhlussunnah wal jama’ah yang diterapkan menurut kondisi masyarakat  Indonesia.
Itulah hakikat khittah NU yang kemudian dirumuskan dalam “Khittah NU” oleh Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo.


B. Latar Belakang Perumusan Khittah Nahdliyah
Gagasan untuk merumuskan khittah NU baru muncul sekitar tahun 1975-an, ketika NU sudah kembali menjadi jam'iyyah diniyah. (organisasi sosial keagamaan). Karena sebelumnya NU memfusikan fungsi politik praktisnya ke dalam PPP,  sebagai  tindak lanjut dari langkah penyederhanaan partai-partai di Indonesia(1973).
Setelah kembali menjadi jam’iyah diniyah, baru terasa bahwa NU kembali kepada  garisnya yang semula, kepada khitthahnya. Terasa sekali selama ini ada kesimpangsiuran. Ada kesemrawutan di dalam tubuh dan gerak NU. Banyak yang berharap terutama kalangan ulama sepuh serta generasi muda, bahwa akan tumbuh udara segar di dalam tubuh NU sehingga ada pembenahan dalam bergerak.  
Saat itulah mulai terdengar kalimat kembali kepada semangat 1926, kembali  pada  khitthah 1926 dan lain-lain. Makin lama gaung semboyan tersebut kian kencang. Apalagi fakta menunjukkan sesudah berfusi politik ke dalam PPP, kondisi NU bukan bertambah baik, justru kian semrawut dan terpuruk.
Tetapi gagasan “kembali pada khitthah” itu terhadang oleh kesulitan tentang bagaimana rumusannya. Apa saja yang termasuk unsur atau komponen khitthah danbagaimana rumusan redaksionalnya. Orang sudah sering mengemukakan bahwa NU sudah memiliki khitthah yang hebat. Tetapi bagaimana runtutnya dan bagaimana jluntrungnya kehebatan itu, belum dapat diketahui, dipelajari dengan mudah dan cepat.
Adapun sebab utama timbulnya kesulitan perumusan itu adalah: Pertama, Nahdliyyin melalui ketauladanan dan petunjuk yang berangsur-angsur diberikan oleh para ulama, dibanding dengan diberikan secara tertulis sekaligus legkap berupa  risalah.
Kedua, aktivitas tulis-menulis di kalangan para tokoh-tokoh NU belum  membudaya,  masih lebih banyak merumuskan atau menyampaikan pesan secara lisan dan kesulitan ketiga, kaum nahdliyyin umumnya belum biasa menerima pesan-pesan atau pikiran- pikiran tertulis sebab budaya membaca belum tinggi.
Namun betapapun sulitnya merumuskan Khitthah NU, perumusan harus dilakukan karena hal itu sangat diperlukan. Sudah banyak generasi baru NU yang tidak sempat berguru secara intensif kepada tokoh generasi pertama. Tidak salah kalau kemudian pemahaman dan penghayatan mereka terhadap apa dan bagaimana NU secara  benar,  kurang  mendalam dan lengkap. Padahal di antara mereka yang tidak  memiliki  pengetahuan  cukup memadai itu sudah banyak berperan penting sebagai pengurus, wakil-wakil NU di berbagai lembaga dan lain-lain. Pada sisi lain dokumen-dokumen yang  dapat  dipergunakan sebagai sarana pewarisan penghayatan khitthah sangat minim atau boleh dibilang tidak ada.
Pada tahun 1979 menjelang diselenggarakannya Muktamar di semarang, Kiai Achmad Siddiq yang tergolong pemikir di antara para pemikir NU yang sedikit  jumlahnya,  merintis rumusan khitthah dengan menulis sebuah buku yang berjudul Khitthah Nahdliyyah. Cetakan kedua dari buku tersebut terbit pada 1980 dan merupakan cikal  bakal rumusan khitthah.
Pada 12 Mei 1983 di Hotel Hasta Jakarta, ada 24 orang yang mayoritas terdiri dari tokoh- tokoh  muda  NU.  Mereka  membicarakan  kemelut  yang  melanda  NU  dan   bagaimanamengantisipasinya. Meskipun mereka tidak memiliki otoritas apa-apa pada masa itu, namun kesungguhan mereka ternyata mendatangkan hasil. Mula-mula mereka menginventariskan gagasan-gagasan, kemudian membentuk ”tim tujuh untuk pemulihan khitthah” yang bertugas merumuskan, mengembangkan dan memperjuangkan gagasan. Rumusannya berjudul “Menatap NU di Masa Depan” yang kemudian “ditawarkan” kepada segenap “kelompok” di dalam NU.
Pendekatan demi pendekatan dilakukan. Hasil pertama ialah keberanian Rais Aam Kiai Haji Ali Ma’sum beserta para ulama sepuh lainnya untuk mengadakan Musyswarah Nasional Alim Ulama NU di Situbondo tepatnya di Pesantren  Salafiyah  Syafi’iyah  asuhan KH. As’ad Syamsul Arifin tahun 1983. Panitia penyelenggara Munas adalah KH. Abdurrahman Wahid dan kawan-kawan yang sebagian juga tokoh-tokoh Tim Tujuh atau juga dikenal sebagai Majelis 24.
Ternyata Munas Alim Ulama NU kali ini benar-benar monumental, memiliki arti sejarah penting bagi NU, bahkan bagi tata kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Ada dua keputusan yang sangat penting, yaitu: Pertama, penjernihan kembali pandangan NU dan sikap NU dan Pancasila, yang dituangkan dalam dekralasi tentang  hubungan  Pancasila dengan Islam dan Rancangan Mukaddimah Anggaran Dasar NU. Kedua, pemantapan tekad kembali pada khatthah NU yang dituangkan dalam pokok-pokok  pikiran tentang pemulihan khitthah NU 1926.
Dengan keputusan-keputusannya, terutama dua keputusan tersebut, Munas Alim Ulama NU 1983 dapat menerobos kemacetan menuju penanggulangan kemelut internal NU, sekaligus mengubah citra organisasi dalam pandangan hampir semua pihak di luar NU, terutama pihak pemerintah. NU yang selama dasawarsa  ini  “dijauhi”,  sekarang  “didekati” bahkan disanjung-sanjung.
Keberhasilan Munas ini berlanjut dengan “rujuk internal” di Sepanjang, Sidoarjo (rumah alm. KH. Hasyim Latif) beberapa waktu berselang. Dengan begitu Muktamar  ke-27 setahun kemudian, dapat diselenggarakan oleh PBNU dalam kondisi sudah utuh kembali. Ketika  itu  NU  tidak  lagi  dipandang  sebagi  kelonpok  eksklusif  yang  sulit  diajakbekerjesama, tetapi sebagai kelompok yang positif konstruktif, tidak lagi sebagai  kelompok yang “harus ditinggalkan”  tetapi menjadi “pihak yang selalu  diperlukan”.

Muktamar ke-27 yang diadakan di tempat yang sama pada 1984dan dibuka oleh presiden, mendapat perhatian sangat besar dari semua pihak baik dalam maupun luar negeri, serta tidak ketinggalan masyarakst pada umumnya. Seseorang karyawan televisi Jepang menerangkan bahwa kunjungan massa sebanding dengan ketika pemakaman Presiden Aquino di Filipina dan pemakaman Gamal Abdul Naser di Mesir. Perusahaannya ingin menyuting dari udara. Tetapi sayang tidak diizinkan.
Dengan bekal semangat dan tekad kembali kepada khitthah 1926 dan dengan modal cikal bakal risalah Khitthah Nahdliyyah karya KH. Achmad Siddiq  yang  dikembangkan  dengan menatap NU masa depan (Tim Tujuh untuk pemulihan Khitthah, 1983), serta dipadukan dengan makalah “Pemulihan Khitthah NU 1926”. (KH. Achmad Siddiq pada Munas Alim Ulama NU,1983) serta pokok-pokok pikiran tentang pemulihan khitthah NU 1926 (kesimpulan Munas), maka Muktamar ke-27 Nahdlatul Ulama pada tahun 1984 di Situbondo menetapkan rumusan terakhir “Khitthah Nahdlatul Ulama”.
Di samping itu, Muktamar juga menerima dan mengesahkan keputusan Munas  Alim Ulama pada 1983, termasuk Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam. Inilah perjalanan panjang tentang Khitthah NU. Para pendahulu telah berusaha memberikan alternatif bagi perjalanan NU pada masanya. Sekarang tugas generasi muda NU untuk meneruskan prestasi para ulama terdahulu dengan tetap menjaga kemurnian NU sebagai sebuah  jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah seperti harapan pendiri dan para  pendahulu.

C.Ikhtisar( ringkasan)Khitthah

1. Mukaddimah

a)      NU didirikan  atas kesadaran terhadap perlunya  bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan dengan persatuan dan saling membantu.
b)      NU  adalah  jam’iyyah  diniyah,  berfaham  Islam  Ahlusunnah  wal Jama’ah,berhaluan salah satu madzhab empat.
c)      NU adalah gerakan  keagamaan, ikut membangun insan dan  masyarakat  yang bertaqwa, berakhlak, cerdas, terampil, adil, tentram, dan  sejahtera.
d)     Ikhtiyar dan faham keagamaan NU membentuk  kepribadian khas NU, yang kemudian disebut  khitthah NU.

2. Pengertian

1.      Khitthah NU adalah landasan berfikir, bersikap, dan bertindak warga NU, secara individual maupunorganisatoris.
2.      Landasan itu adalah faham Ahlussunnah wal jama’ah yang diterapkan menurut kondisi masyarakatIndonesia.
3.      Khitthah itu juga digali dari sari sejarah perjuanganNU.

3.     Dasar Faham Keagamaan
Dasar-dasarfahamkeagamaanNU :
a.       Al-Qur’an
b.      Al-Hadits
c.       Al-ijma’
d.      Al-Qiyas
Di dalam penafsiran dasar-dasar tersebut dipergunakan jalan pendekatan (madzhab);

a.    Dalam aqidah mengikuti faham yang dipelopori oleh Imam Asy’ari  dan ImamMaturidzi.
b.    Dalam Fiqh mengikuti salah satu madzhabempat.
c.    Dalam tasawuf mengikuti Imam Junaid al-Baghdadi, al-Ghozali dan sebagainya.

4.                 Sikap Kemasyarakatan

a.  A-tawassuth dan i’tidal yakni sikap tengah dengan inti keadilan dalam keadilan.
b.  At-tasamuh yakni toleran dalam perbedaan, toleran dalam urusan kemasyarakatan dan kebudayaan.
c.  At-tawazun, kesembangan antara beribadah kepada Allah SWT, dan berkhidmah kepada sesama manusia serta keselarasan masa lalu, masa kini dan masa depan.
d.  Amar ma’ruf nahi munkar, mendorong perbuatan baik dan mencegah hal yang merendahkan nilai-nilai kehidupan.

5.               Perilaku Keagamaan dan SikapKemasyarakatan
a.
Menjunjung tinggi norma atau nilai agama.

b.
Mendahulukan kepetingan bersama dari pada kepetingansendiri.
c.
Menjunjung tinggi keikhlasan dalam berkhidmah danberjuang.
d.
Menjunjung tinggi ukhuwwah, ijtihad dan salingmengasihi.
e.
Meluhurkan akhlaq dan menjunjung tinggi kejujuran.
f.
Menjunjung tinggi kesetiaan kepada agama, negara danbangsa.
g.
Menjunjung tinggi nilai kerja dan prestasi, sebagian dariibadah.
h.
Menjunjung tinggi ilmu dan ahli ilmu.
i.
Siap menyesuaikan diri dengan perubahan     yang bermanfaat
dan

bermaslahat.

j.
Menjunjung tinggi kepeloporan untuk mempercepat  perkembangan.

k.   Menjunjung tinggi kebersamaan dalam kehidupan berbangsa dan  bernegara.

6.                Ikhtiyar

a.  Silaturrahmi antarulama`
b. Kegiatan dibidangkeilmuan
c.  Penyiaran Islam, pembangunan sarana peribadatan dan pelayanan sosial

7.                Fungsi Organisasi dan kepemimpinan Ulama

a.  Menggunakan organisasi struktural untuk mencapai tujuan.
b.  Menempatkan ulama (sebagai mata rantai pembawa faham Ahlussunnah wal jama`ah) pada kedudukan kepemimpinan yang amat  dominan.

8.       N.U dan kehidupan bernegara
a.  Dengan sadar mengambil posisi aktif ,menyatukan diri dalam perjuangan nasional.
b.  Menjadi warga Negara RI yang menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945.
c.  Memegang yeguh ukhuwwah dan tasamuh.
d.  Menjadi warga Negara yang sadarakan hak dan kewajiban ;tidak terikat secara teroganisatoris,dengan organisasi politik atau organisasi kemasyarakatan manapun.
e.  Warga yang tetap memiliki hak-hak politik.
f.  Menggunakan hak politiknya secara bertanggung jawab, untuk menumbuhkan sikap demokratis ,koinstitusional,taat hukum dan mengembangkan mekanisme musyawarah.
9.       Khotimah
a.  Khittah NU merupakan landasan dan patokan dasar.
b.  Keberhasilan khithoh NU tergantung kepada semangat dan amal para pemimpin serta seluruh warga NU , dengan seizin Allah  SWT.
                                                                                         
D.      Sosialisasi Khittah Nahdliyah

Harus diakui secara jujur, bahwa sampai sekarang upaya sosialisasi Khitthah NU dikalangan warga NU belum dilakukan secara serius, terencana,  terarah,  dan  terkoordinasi dengan baik. Anehnya, sebagian tokoh dan kader NU merasa “sudah mengerti” Khitthah. Sehingga memberikan penafsiran sendiri, tanpa “membaca  naskahnya”Sesungguhnya sosialisasi Khitthah NU adalah identik dengan “kaderisasi NU” dibidang wawasan ke-NU-an. Kalau saja ada koordinasi  antara  badan-badan  otonom  yang ada dengan lembaga-lembaga (lakpesdam, RMI dan lain sebagainya) dan pesantren, Insya Allah hasilnya akan lumayan. Sayang sosialisasi yang terkoordinasi ini tidak dilakukan. Akibat dari macetnya upaya sosialisasi ini, Khitthah menjadi merana, hidup segan mati tak mau. Betapa kacaunya pemahaman terhadap Khitthah  NU,  dapat  ditangkap oleh seorang kiai pengasuh pesantren sebagai berikut: “Di era Khitthah selama 14 tahun ini, pesantren terputus hubunganya dengan NU. Tokoh NU dilarang masuk pesantren ini. Kami hanya berhubungan dengan PPP,  sampai  pesantren  ini  dimusuhi oleh pemerintah habis-habisan. Tetapi NU sekarang sudah punya  PKB  secara  total, tidak ada yang ketinggalan dari PPP seorang pun”.

E.        Mengamalkan Khittah Nahdliyah

Proses perumusan khittah sangat panjang, melibatkan banyak pihak, mulai dari orang tua (Munas Alim Ulama tahun 1983), sampai kepada yang muda(Majelis 24 dan Tim Tujuh), sampai kepada yang formal struktural (Muktamar 1984) dan lain sebagainya, sehingga patut dipercaya bahwa hasilnya sudah mantap, baik substansinya maupun  sistematikanya.
Tujuan menjadikan Khitthah NU sebagai landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU seperti yang disebutkan dalam naskah adalah untuk diamalkan  dalam  kehidupan sehari hari warga NU. Tetapi sampai saat ini pengamalannya masih jauh dari keinginan khittah itu sendiri. Meskipun pengamalannya merupakan perjuangan berat tetapi warga  NU harus tetap berusaha semaksimal mungkin untuk  mengamalkannya..
Secara garis besar, Khitthah NU yang harus direalisasikan oleh Nahdliyin,  telah  terbingkai dalam fungsi dan missi NU itu sendiri, yaitu:

1.  Sebagai Jam’iyyah diniyyah, wadah perjuangan bagi ulama dan  pengikutnya.
2.  Sebagai gerakan keagamaan, ikut membangun insane masyarakat yang bertakwa, cerdas, terampil, berakhlak, tentram, adil dan sejahtera.
3.  Sebagai bagian tak terpisahkan dari keseluruhan bangsa dan senantiasa  menyatukan diri dengan perjuangan nasional.
4.  Sebagai bagian tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia, memegang teguh  prinsip Ukkluwwah, toleransi dan hidup berdampingan, baik dengan sesama umat Islam maupun dengan sesama warga Negara yang mempunyai keyakinan maupun Agama berbeda.
5.  Sebagai Organisasi yang mempunyai fungsi pendidikan, senantiasa berusaha menciptakan warga Negara yang menyadari hak dan  kewajibanya.


2.3 Ukhuwah Nahdliyah NU
A. Pengertian Ukhuwah Nahdliyah NU
Secara umum, ukhuwah dapat diartikan sebagai suatu sikap yang ciderminkan rasapersaudaraan, kerukunan, persatuan, dan solidaritas yang dilakukan oleh seseorang terhadaporang lain atau suatu kelompok kepada kelompok lain, dalam interaksi sosial (Muamalahijtimaiyah). Sikap ukhuwah dalam masyarakat biasanya timbul karena dua hal, yaitu :Adanya persamaan, dalam baik masalah keyakinan/agama, wawasan, pengalaman,kepentingan, tempat tinggal maupun cita-cita.

B. Sikap yang mempengaruhi Ukhuwah

Adanya kebutuhan yang dirasakan hanya dapat dicapai dengan melalui kerja sama,gotong royong dan persatuan. Keberlangsungan sikap ukhuwuwah dalam realisasi kehidupansosial dipengaruhi oleh beberapa sikap dasar, antara lain :
1.      Saling mengenal (Ta’aruf)
2.      Saling menghargai dan menegangkan (tasamuh)
3.      Tolong menolong (ta’awun)
4.      Saling mendukung (tadlamun)
5.      Saling menyayangi (tarahum)


C. Sikap yang dapat mengganggu Ukhuwah

Sebaliknya, ukhuwah akan terganggu kelestariannya apabila terjadi sikap-sikapdestruktif (Muhlikat) yang bertentangan dengan etika sosial yang baik (akhlakul karimah),seperti :
1.      Saling menghina (Assakhriyah)
2.      Saling mencela (allamzu)
3.      Berburuk sangka (suudhan)
4.      Suka mencemarkan nama baik (ghibah)
5.      Sikap curiga yang berlebihan (Tajassus)
6.      Sikap congkak (Takabbur)

 
D. Penjabaran Konsep Ukhuwah Nadliyah

Dalam masalah sosial (ijtimaiyah), ukhuwah dapat dijabarkan dalam beberapa kontek hubungan sebagai berikut :
1.      Persaudaraan nasioanal (ukhuwah wathoyah) yang tumbuh dan berkembang karenapersamaan aqidah/keimanan, yang baik di tingkat nasional maupaun internasional.
2.      Persatuan nasionak (ukhuwah wahtoniyah) yang tumbuh dan berkembang atas dasarkesadaran berbangsa dan bernegara.
3.     Solidaritas kemanusiaan (ukhuwah wathiniyah) yang tumbuh dan berkembang atasdasar rasa kemanusiaan yang bersifat universal.

Ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathoniyah (persatuan nasional) merupakan duasikap yang saling mendukung. Keduanya harus diupayakan keberadanaanya secara serentak,dan tidak dipertentangkan antara satu dengan yang lain. Hubungan antara keduanya adalah :Akomodatif dalam arti ada kesediaan untuk saling memahami pendapatan aspirasi dankepentingan satu dengan yang lain.Akomodatif dalam arti kesediaan untuk saling memahami pendapat aspirasi dankepentingan satu dengan yang lain.Selektif, dalam arti ada kesediaan untuk menyelesaikan dalam menyelenggarakanberbagai macam kepentingan dan aspirasi tersebut secara benar, adil, dan proposional.
Ukhuwah Islamiyah dan Ukhuwah Wathoniyah merupakan landasan dan modal dasarbagi terwujudnya Ukhuwah Basyariyah (hubungan kemanusiaan) yang universal.Ukhuwah Islamiyah dalam kehidupan sosial, khususnya dalam kehidupan berbangsadan bernegara merupakan salah satu kondisi yang diperlukan dalam kehidupan peroranganmaupun masyarakat, disamping mampu memberikan kemantapan, ketentraman dankegairahan dalam mengenai berbagai tantangan yang dapat mengganggu kehidupan sosialdan stabilitias nasional. Kondisi yang masyarakat dalam proses pencapaian tujuan bersamadan pada giliran selanjutnya dan batiniyah yang lebih mutu persatuan bangsa dalammenggalang keutuhan umat dalam rangka stabilitas nasional dan solidaritas Islam, sertapengalaman agama yang bertujuan mencapai kesejahteraan hidup dunia dan kebahagiaanhidup akhirat.Akan tetapi proses pengembangan wawasan ukhuwah tersebut kerap kali mengalamihambatan-hambatan yang disebabkan berbagai hal, seperti :Adanya kebanggaan kelompok yang berlebihan yang mudah menumbuhkan sikapapriori dan fanatisme yang tidak berkontrol.

Sempitnya cakrawala berpikir, baik yang disebabkan oleh keterbatasan tingkatpemahaman masalah keagamaan dan kemasyarakatan, maupun yang kepemimpinan umatdalam mengembangkan budaya ukhuwah baik dalam memberikan teladan pada bawahanmaupun dalam mengatasi gangguan kerukunan yang timbul dalam kehidupan umat maupunorganisasi.
Menurut Nahdlatul Ulama, penerapan konsep dan wawasan ukhuwah,dapat dilakukan melalui bermacam cara, antara lain :Ukhuwah Islamiyah seyogyanya dimulai dari lingkungan yang paling kecil(keluarga), kelompok atau warga suatu jamiyah, kemudian dikembangkan dalam lingkunganyang lebih luas (antar jamiyah, aliran, dan bangsa).
Perlu adanya keteladanan yang baik (uswah hasanah) dari pimpinan umat, dankhususnya bagi Nahdlatul Ulama di perlukan keteladanan dari para pengurus untuk menampilkan sikap ukhuwah yang dapat dijadikan contoh oleh warganya dan umat Islampada umumnya, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan fungsionalnya.Mengembangkan perluasan cakrawala berpikir dalam masalah keagamaankemasyarakatan, dalam rangka lebih meningkatkan pengertian dan saling memahamiwawasan pihak lain dan mengembangkan sikap terbuka dalam menghadapi masalah-masalah sosial.
Terbentuknya lembaga-lembaga atau pranata-pranata yang menumbukan kerukunan,persatuan, dan solidaritas warga dan umat, seperti koperasi badan pengembangan ekonomi,lembaga-lembaga bantuan, badan-badan dan konsultasi dan lain sebagainya, sesuai denganperkembangan dan kerukunan umat.Mendayagunakan semua lembaga dan sarana yang sudah tersedot yang diadakan olehpemerintah maupun oleh swadaya masyarakat sendiri MUI, pesantren, sekolah, dan kampus Perguruan Tinggi, sebagai pengembangan persaudaraan Islam dan persatuan nasional.Mendayagunakan pesantren dan lemabaga-lembaga pendidikan lainnya dimiliki olehNahdlatul Ulama Khususnya, agar lebih berperan pengambangan wawasan ukhuwah, baik melalui program kurikuler, maupun ekstra kurikuler.Menciptakan suatu mekanisme yang baik yang baik dan efektif dalam keluarga jamiah Nahdlatul Ulama yang mampu berperan dalam menyelesaikan masalah jika terjadiperbedaan pandapat dalam pergaulan interen pengurus atau mengatasi perbedaan pandapatdengan pihak lain. Dalam hubungan ini difungsikan mekanisme “Ishlahul Dzatil Bain”(arbritase) seoptimal mungkin.


 
BAB III
PENUTUP
3.1  KESIMPULAN

Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan langkah awal pembentukan umat terbaik. Gerakan Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan “umat terbaik” (Khaira Ummah) yaitu suatu umat yang mampu melaksanakan tugas-tugas amar ma’ruf nahi mungkar yang merupakan bagian terpenting dari kiprah NU karena kedua sendi mutlak diperlukan untuk menopang terwujudnya tata kehidupan yang diridlai Allah SWT. sesuai dengan cita-cita NU.
Sedangkan Khittah artinya garis yang diikuti, garis yang biasa atau selalu ditempuh. Kalau  kata khittah dirangkai dengan Nahdhatul Ulama’(selanjutnya disingkat  NU),  maka  artinya garis yang biasa ditempuh oleh orang orang NU dalam kiprahnya mewujudkan cita cita yang dituntun oleh faham keagamaannya sehingga membentuk kepribadian khas NU.
Sedangkan ukhuwah dapat diartikan sebagai suatu sikap yang ciderminkan rasapersaudaraan, kerukunan, persatuan, dan solidaritas yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain atau suatu kelompok kepada kelompok lain, dalam interaksi sosial (Muamalahijtimaiyah). Sikap ukhuwah dalam masyarakat biasanya timbul karena dua hal, yaitu :Adanya persamaan, dalam baik masalah keyakinan/agama, wawasan, pengalaman,kepentingan, tempat tinggal maupun cita-cita.


DAFTAR PUSTAKA
Sumber: Abdul Mun’im DZ (Editor), Piagam Perjuangan Kebangsaan, 2011 (Jakarta: Setjen PBNU-NU Online)
http://aruljepara.blogspot.com/2015/06/makalah-aswaja-nahdliyah-disusun-guna.html?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar