NILAI-NILAI DASAR ASWAJA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Nahdlatul Ulama
didirikan sebagai Jam’iyah Diniyah Ijtima’iyah (organisasi keagamaan
kemasyarakatan) untuk menjadi wadah perjuangan para ulama dan pengikutnya.
Tujuan didirikannya NU ini diantaranya adalah : Memelihara, Melestarikan,
Mengembangkan dan Mengamalkan ajaran Islam Ahlu al-Sunnah Wal Jama’ah yang
manganut salah satu pola madzhab empat: Imam Hanafi, Imam Maliki,Imam Syafi’i
dan Imam Hanbali, Mempersatukan langkah para ulama dan pengikut-pengikutnya,
dan Melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan
masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat serta martabat manusia.
Kendala utama yang menghambat kemampuan umat melaksanakan amar ma’ruf nahi
mungkar dan menegakkan agama dan karena kemiskinan dan kelemahan dibidang
ekonomi. Maka, muktamar mengamanatkan PBNU untuk mengadakan gerakan penguatan
ekonomi warga. Para pemimpin NU waktu itu menyimpulkan bahwa kelemahan ekonomi
ini bermula dari lemahnya sumber daya manusianya (SDM). Mereka lupa meneladani
sikap Rasulullah sehingga kehilangan ketangguhan mental. Setelah diadakan
pengkajian, disimpulkan ada beberapa prinsip ajaran Islam yang perlu ditanamkan
kepada warga NU agar bermental kuat sebagai modal perbaikan sosial ekonomi
meliputi Mabadi Khaira Ummah, Khittah Nahdhiyah, dan UkhuwahNahdhiyah.
1.2
RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana konsep tentang Mabadi
Khaira Ummah ?
b. Bagaimana konsep tentang Khittah Nahdhiyah
?
c.
Bagaimana konsep tentang
Ukhuwah Nahdhiyah?
1.3
TUJUAN
PENULISAN
a.
Menjelaskan konsep
tentang Mabadi Khaira Ummah
b.
Menjelaskan konsep
tentang Khittah Nahdhiyah
c.
Menjelaskan konsep
tentang Ukhuwah Nahdhiyah
BAB II
PEMBAHASAN
NILAI-NILAI DASAR AN-NAHDLIYAH
2.1 Mabadi
Khaira Ummah
A. Pengertian
Mabadi Khaira Ummah
Mabadi Khaira
Ummah merupakan langkah awal pembentukan langkah awal pembentukan umat terbaik.
Gerakan Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan “umat terbaik”
(Khaira Ummah) yaitu suatu umat yang mampu melaksanakan tugas-tugas amar ma’ruf
nahi mungkar yang merupakan bagian terpenting dari kiprah NU karena kedua sendi
mutlak diperlukan untuk menopang terwujudnya tata kehidupan yang diridlai Allah
SWT. sesuai dengan cita-cita NU. Dan nahi mungkar adalah menolak dan mencegah
segala hal yang dapat merugikan,merusak dan merendahkan,nilai-nilai kehidupan
dan hanya dengan kedua sendi tersebut kebahagiaan lahiriyah dan bathiniyah
dapat tercapai.
B. Butir-butir
Mabadi Khaira Ummah dan pengertiannya
Perlu
dicermati perbedaan konteks zaman antara masa gerakan mabadi khaira ummah
pertama kali dicetuskan dan masa kini. Melihat besar dan
mendasarnya perubahan sosial yang terjadi dalam kurun sejarah tersebut,
tentulah perbedaan konteks itu membawa konsekuensi yang tidak kecil. Demikian
pula halnya denangan perkembangan kebutuhan interal NU sendiri. Oleh karena itu
perlu dilakukan beberapa penyesuaian dan pengembangan dari gerakan mabadi
khaira ummah yang pertama agar lebih jumbuh dalam konteks kekinian.Jika semula
mabadi khaira ummah tiga butir, maka dua butir perlu ditambahkan untuk
mengantisipasi persoalan kontemporer, yaitu ’adalah dan istiqamah,
yang dapat pula disebut dengan al-Mabadi al-Khamsah dengaan kerincian berikut
ini:
Ash-shidqu. Butir ini
mengandung arti kejujuran atau kebenaran, kesunguhann. Jujur dalam
arti satunya kata dengan perbuatan ucapan dengan pikiran. Apa yang diucapkan
sama dengan yang dibatin. Tidak memutarbalikkan fakta
dan meberikan informasi yang menyesatkan, jujur saat berpikir dan bertransaksi.
Mau mengakui dan menerima pendapat yang lebih baik.
Al-amanah wal wafa bil ‘ahdi. Yaitu melaksanakan
semua beban yang harus dilakukan terutama hal-hal yang sudah dijanjikan. Karena
itu kata tersebut juga diartikan sebagai dapat dipercaya dan setia dan tepat
pada janji, baik bersifat diniyah maupun ijtimaiyah. Semua ini untuk
menghindarkan berapa sikap buruk seperti manipulasi dan berkhianat. Manah ini
dilandasi kepatuhan dan ketaatan pada Allah.
Al’Adalah. Berarati bersikap
obyektif, proporsional dan taat asas, yang menuntut setiap orang menempatkan
segala sesuatu pada tempatnya, jauh dari pengaruh egoisme, emosi pribadi dan
kepentingan pribadi. Distorsi semacam itu bisa menjerumuskan orang pada
kesalahan dalam bertindak. Dengan sikap adil, proporsional dan obyektif relasi
sosial dan transaksi ekonomi akan berjalan lancar saling menguntungkan.
At–ta’awun. Tolong-menolong
merupakan sendi utama dalam tata kehidupan masyarakat, manusia tidak
dapat hidup sendiri tanpa bantuan pihak lain. Ta’awun berarti bersikap
setiakawan, gotongroyong dalam kebaikan dan dan taqwa. Ta’awaun mempunyai arti
timbal balik, yaitu memberi dan menerima. Oleh karena itu sikap ta’awun
mendorong orang untuk bersikap kreatif agar memiliki sesuatu untuk disumbangkan
pada yang lain untuk kepentingan bersama, yang ini juga berarti langkah untuk
mengkonsolidasi masyarakat.
Istiqamah, dalam pengertian
teguh, jejeg ajek dan konsisten. Tetap teguh dengan ketentuan Allah dan
Rasulnya dan tuntunan para salafus shalihin dan aturan main serta rencana yang
sudah disepakati bersama. Ini juga berarti kesinambungan dan keterkaitan antara
satu periode dengan periode berikutnya, sehingga kesemuanya
merupakan kesatuan yang saling menopang seperti sebuah bangunan. Ini juga
berarti bersikap berkelanjutan dalam sebuah proses maju yang tidak kenal henti
untuk mencapai tujuan.
Kebangkitan kembali prinsip mabadi khaira ummah ini didorong oleh
kebutuhan-kebutuhan dan tantangan nyata yang dihadapi oleh NU khususnya dan
bangsa Indonesia pada umumnya. Kemiskinan dan kelangkaan sumber daya manusia,
kemerosotan budaya dan mencairnya solidaritas sosial adalah keprihatinan yang
dihadapi bangsa Indonesia umumnya dan NU pada khususnya. Sebagai nilai-nilai
universal butir-butir mabadi khaira ummah dapat dijadikan sebagai jawaban
langsung bagi problem-problem sosial yang dihadapi masyarakat dan bangsa ini.
2.2 Khittah
Nahdliyah
A. Pengertian
Khittah Nahdiyah
Khittah artinya garis yang diikuti, garis yang biasa atau selalu
ditempuh. Kalau kata khittah dirangkai
dengan Nahdhatul Ulama’(selanjutnya disingkat
NU), maka artinya garis yang biasa ditempuh oleh orang
orang NU dalam kiprahnya mewujudkan cita cita yang dituntun oleh faham
keagamaannya sehingga membentuk kepribadian khas NU.
Jadi pengertian Khitthah NU adalah landasan berfikir, bersikap,
danbertindakwarga NU, secara individual maupun organisatoris. Landasan yang
dimaksud adalah fahamAhlussunnah wal
jama’ah yang diterapkan menurut kondisi masyarakat Indonesia.
Itulah
hakikat khittah NU yang kemudian dirumuskan dalam “Khittah NU” oleh Muktamar
ke-27 tahun 1984 di Situbondo.
B. Latar
Belakang Perumusan Khittah Nahdliyah
Gagasan untuk
merumuskan khittah NU baru muncul sekitar tahun 1975-an, ketika NU sudah
kembali menjadi jam'iyyah diniyah. (organisasi sosial keagamaan). Karena
sebelumnya NU memfusikan fungsi politik praktisnya ke dalam PPP, sebagai
tindak lanjut dari langkah penyederhanaan partai-partai di
Indonesia(1973).
Setelah kembali
menjadi jam’iyah diniyah, baru terasa bahwa NU kembali kepada garisnya yang semula, kepada khitthahnya.
Terasa sekali selama ini ada kesimpangsiuran. Ada kesemrawutan di dalam tubuh
dan gerak NU. Banyak yang berharap terutama kalangan ulama sepuh serta generasi
muda, bahwa akan tumbuh udara segar di dalam tubuh NU sehingga ada pembenahan
dalam bergerak.
Saat itulah
mulai terdengar kalimat kembali kepada semangat 1926, kembali pada
khitthah 1926 dan lain-lain. Makin lama gaung semboyan tersebut kian
kencang. Apalagi fakta menunjukkan sesudah berfusi politik ke dalam PPP,
kondisi NU bukan bertambah baik, justru kian semrawut dan terpuruk.
Tetapi gagasan
“kembali pada khitthah” itu terhadang oleh kesulitan tentang bagaimana
rumusannya. Apa saja yang termasuk unsur atau komponen khitthah danbagaimana
rumusan redaksionalnya. Orang sudah sering mengemukakan bahwa NU sudah memiliki
khitthah yang hebat. Tetapi bagaimana runtutnya dan bagaimana jluntrungnya
kehebatan itu, belum dapat diketahui, dipelajari dengan mudah dan cepat.
Adapun sebab
utama timbulnya kesulitan perumusan itu adalah: Pertama, Nahdliyyin melalui
ketauladanan dan petunjuk yang berangsur-angsur diberikan oleh para ulama,
dibanding dengan diberikan secara tertulis sekaligus legkap berupa risalah.
Kedua,
aktivitas tulis-menulis di kalangan para tokoh-tokoh NU belum membudaya,
masih lebih banyak merumuskan atau menyampaikan pesan secara lisan dan
kesulitan ketiga, kaum nahdliyyin umumnya belum biasa menerima pesan-pesan atau
pikiran- pikiran tertulis sebab budaya membaca belum tinggi.
Namun betapapun
sulitnya merumuskan Khitthah NU, perumusan harus dilakukan karena hal itu
sangat diperlukan. Sudah banyak generasi baru NU yang tidak sempat berguru
secara intensif kepada tokoh generasi pertama. Tidak salah kalau kemudian
pemahaman dan penghayatan mereka terhadap apa dan bagaimana NU secara benar,
kurang mendalam dan lengkap.
Padahal di antara mereka yang tidak
memiliki pengetahuan cukup memadai itu sudah banyak berperan
penting sebagai pengurus, wakil-wakil NU di berbagai lembaga dan lain-lain.
Pada sisi lain dokumen-dokumen yang
dapat dipergunakan sebagai sarana
pewarisan penghayatan khitthah sangat minim atau boleh dibilang tidak ada.
Pada tahun 1979
menjelang diselenggarakannya Muktamar di semarang, Kiai Achmad Siddiq yang tergolong
pemikir di antara para pemikir NU yang sedikit
jumlahnya, merintis rumusan
khitthah dengan menulis sebuah buku yang berjudul Khitthah Nahdliyyah. Cetakan
kedua dari buku tersebut terbit pada 1980 dan merupakan cikal bakal rumusan khitthah.
Pada 12 Mei
1983 di Hotel Hasta Jakarta, ada 24 orang yang mayoritas terdiri dari tokoh-
tokoh muda NU.
Mereka membicarakan kemelut
yang melanda NU dan bagaimanamengantisipasinya. Meskipun mereka
tidak memiliki otoritas apa-apa pada masa itu, namun kesungguhan mereka
ternyata mendatangkan hasil. Mula-mula mereka menginventariskan
gagasan-gagasan, kemudian membentuk ”tim tujuh untuk pemulihan khitthah” yang
bertugas merumuskan, mengembangkan dan memperjuangkan gagasan. Rumusannya
berjudul “Menatap NU di Masa Depan” yang kemudian “ditawarkan” kepada segenap
“kelompok” di dalam NU.
Pendekatan demi
pendekatan dilakukan. Hasil pertama ialah keberanian Rais Aam Kiai Haji Ali
Ma’sum beserta para ulama sepuh lainnya untuk mengadakan Musyswarah Nasional
Alim Ulama NU di Situbondo tepatnya di Pesantren Salafiyah
Syafi’iyah asuhan KH. As’ad
Syamsul Arifin tahun 1983. Panitia penyelenggara Munas adalah KH. Abdurrahman
Wahid dan kawan-kawan yang sebagian juga tokoh-tokoh Tim Tujuh atau juga
dikenal sebagai Majelis 24.
Ternyata Munas
Alim Ulama NU kali ini benar-benar monumental, memiliki arti sejarah penting
bagi NU, bahkan bagi tata kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Ada
dua keputusan yang sangat penting, yaitu: Pertama, penjernihan kembali
pandangan NU dan sikap NU dan Pancasila, yang dituangkan dalam dekralasi
tentang hubungan Pancasila dengan Islam dan Rancangan
Mukaddimah Anggaran Dasar NU. Kedua, pemantapan tekad kembali pada khatthah NU
yang dituangkan dalam pokok-pokok
pikiran tentang pemulihan khitthah NU 1926.
Dengan
keputusan-keputusannya, terutama dua keputusan tersebut, Munas Alim Ulama NU
1983 dapat menerobos kemacetan menuju penanggulangan kemelut internal NU,
sekaligus mengubah citra organisasi dalam pandangan hampir semua pihak di luar
NU, terutama pihak pemerintah. NU yang selama dasawarsa ini
“dijauhi”, sekarang “didekati” bahkan disanjung-sanjung.
Keberhasilan
Munas ini berlanjut dengan “rujuk internal” di Sepanjang, Sidoarjo (rumah alm.
KH. Hasyim Latif) beberapa waktu berselang. Dengan begitu Muktamar ke-27 setahun kemudian, dapat diselenggarakan
oleh PBNU dalam kondisi sudah utuh kembali. Ketika itu NU tidak
lagi dipandang sebagi
kelonpok eksklusif yang
sulit diajakbekerjesama, tetapi
sebagai kelompok yang positif konstruktif, tidak lagi sebagai kelompok yang “harus ditinggalkan” tetapi menjadi “pihak yang selalu diperlukan”.
Muktamar ke-27
yang diadakan di tempat yang sama pada 1984dan dibuka oleh presiden, mendapat
perhatian sangat besar dari semua pihak baik dalam maupun luar negeri, serta
tidak ketinggalan masyarakst pada umumnya. Seseorang karyawan televisi Jepang
menerangkan bahwa kunjungan massa sebanding dengan ketika pemakaman Presiden
Aquino di Filipina dan pemakaman Gamal Abdul Naser di Mesir. Perusahaannya
ingin menyuting dari udara. Tetapi sayang tidak diizinkan.
Dengan bekal
semangat dan tekad kembali kepada khitthah 1926 dan dengan modal cikal bakal
risalah Khitthah Nahdliyyah karya KH. Achmad Siddiq yang
dikembangkan dengan menatap NU
masa depan (Tim Tujuh untuk pemulihan Khitthah, 1983), serta dipadukan dengan
makalah “Pemulihan Khitthah NU 1926”. (KH. Achmad Siddiq pada Munas Alim Ulama
NU,1983) serta pokok-pokok pikiran tentang pemulihan khitthah NU 1926
(kesimpulan Munas), maka Muktamar ke-27 Nahdlatul Ulama pada tahun 1984 di
Situbondo menetapkan rumusan terakhir “Khitthah Nahdlatul Ulama”.
Di samping itu,
Muktamar juga menerima dan mengesahkan keputusan Munas Alim Ulama pada 1983, termasuk Deklarasi
Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam. Inilah perjalanan panjang tentang
Khitthah NU. Para pendahulu telah berusaha memberikan alternatif bagi
perjalanan NU pada masanya. Sekarang tugas generasi muda NU untuk meneruskan
prestasi para ulama terdahulu dengan tetap menjaga kemurnian NU sebagai sebuah jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah seperti
harapan pendiri dan para pendahulu.
C.Ikhtisar( ringkasan)Khitthah
1. Mukaddimah
a)
NU
didirikan atas kesadaran terhadap
perlunya bermasyarakat untuk memenuhi
kebutuhan dengan persatuan dan saling membantu.
b)
NU adalah
jam’iyyah diniyah, berfaham
Islam Ahlusunnah wal Jama’ah,berhaluan salah satu madzhab
empat.
c)
NU adalah
gerakan keagamaan, ikut membangun insan
dan masyarakat yang bertaqwa, berakhlak, cerdas, terampil,
adil, tentram, dan sejahtera.
d)
Ikhtiyar dan
faham keagamaan NU membentuk kepribadian
khas NU, yang kemudian disebut khitthah
NU.
2. Pengertian
1. Khitthah NU adalah landasan berfikir, bersikap, dan bertindak warga
NU, secara individual maupunorganisatoris.
2. Landasan itu adalah faham Ahlussunnah wal jama’ah yang diterapkan
menurut kondisi masyarakatIndonesia.
3. Khitthah itu juga digali dari sari sejarah perjuanganNU.
3.
Dasar Faham Keagamaan
Dasar-dasarfahamkeagamaanNU :
a.
Al-Qur’an
b.
Al-Hadits
c.
Al-ijma’
d.
Al-Qiyas
Di dalam penafsiran dasar-dasar tersebut dipergunakan jalan pendekatan
(madzhab);
a.
Dalam aqidah
mengikuti faham yang dipelopori oleh Imam Asy’ari dan ImamMaturidzi.
b.
Dalam Fiqh
mengikuti salah satu madzhabempat.
c.
Dalam tasawuf
mengikuti Imam Junaid al-Baghdadi, al-Ghozali dan sebagainya.
4.
Sikap Kemasyarakatan
a. A-tawassuth dan i’tidal yakni sikap tengah
dengan inti keadilan dalam keadilan.
b. At-tasamuh yakni toleran dalam perbedaan,
toleran dalam urusan kemasyarakatan dan kebudayaan.
c. At-tawazun, kesembangan antara beribadah
kepada Allah SWT, dan berkhidmah kepada sesama manusia serta keselarasan masa
lalu, masa kini dan masa depan.
d. Amar ma’ruf nahi munkar, mendorong perbuatan
baik dan mencegah hal yang merendahkan nilai-nilai kehidupan.
5.
Perilaku Keagamaan dan SikapKemasyarakatan
a.
|
Menjunjung tinggi norma atau nilai agama.
|
|
b.
|
Mendahulukan kepetingan bersama dari pada kepetingansendiri.
|
|
c.
|
Menjunjung tinggi keikhlasan dalam berkhidmah danberjuang.
|
|
d.
|
Menjunjung tinggi ukhuwwah,
ijtihad dan salingmengasihi.
|
|
e.
|
Meluhurkan akhlaq dan menjunjung tinggi kejujuran.
|
|
f.
|
Menjunjung tinggi kesetiaan kepada agama, negara danbangsa.
|
|
g.
|
Menjunjung tinggi nilai kerja dan prestasi, sebagian dariibadah.
|
|
h.
|
Menjunjung tinggi ilmu dan ahli ilmu.
|
|
i.
|
Siap menyesuaikan diri dengan perubahan yang bermanfaat
|
dan
|
bermaslahat.
|
||
j.
|
Menjunjung tinggi kepeloporan untuk mempercepat perkembangan.
|
k. Menjunjung tinggi kebersamaan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
6. Ikhtiyar
a. Silaturrahmi antarulama`
b. Kegiatan dibidangkeilmuan
c. Penyiaran Islam, pembangunan sarana peribadatan dan pelayanan sosial
7.
Fungsi Organisasi dan kepemimpinan Ulama
a. Menggunakan organisasi struktural untuk
mencapai tujuan.
b. Menempatkan ulama (sebagai mata rantai pembawa
faham Ahlussunnah wal jama`ah) pada kedudukan kepemimpinan yang amat dominan.
8. N.U dan kehidupan
bernegara
a. Dengan sadar mengambil posisi aktif
,menyatukan diri dalam perjuangan nasional.
b. Menjadi warga Negara RI yang menjunjung tinggi
Pancasila dan UUD 1945.
c. Memegang yeguh ukhuwwah dan tasamuh.
d. Menjadi warga Negara yang sadarakan hak dan
kewajiban ;tidak terikat secara teroganisatoris,dengan organisasi politik atau
organisasi kemasyarakatan manapun.
e. Warga yang tetap memiliki hak-hak politik.
f. Menggunakan hak politiknya secara bertanggung
jawab, untuk menumbuhkan sikap demokratis ,koinstitusional,taat hukum dan
mengembangkan mekanisme musyawarah.
9. Khotimah
a. Khittah NU merupakan landasan dan patokan
dasar.
b. Keberhasilan khithoh NU tergantung kepada
semangat dan amal para pemimpin serta seluruh warga NU , dengan seizin
Allah SWT.
D. Sosialisasi Khittah Nahdliyah
Harus diakui
secara jujur, bahwa sampai sekarang upaya sosialisasi Khitthah NU dikalangan
warga NU belum dilakukan secara serius, terencana, terarah,
dan terkoordinasi dengan baik.
Anehnya, sebagian tokoh dan kader NU merasa “sudah mengerti” Khitthah. Sehingga
memberikan penafsiran sendiri, tanpa “membaca
naskahnya”Sesungguhnya sosialisasi Khitthah NU adalah identik dengan
“kaderisasi NU” dibidang wawasan ke-NU-an. Kalau saja ada koordinasi antara
badan-badan otonom yang ada dengan lembaga-lembaga (lakpesdam,
RMI dan lain sebagainya) dan pesantren, Insya Allah hasilnya akan lumayan.
Sayang sosialisasi yang terkoordinasi ini tidak dilakukan. Akibat dari macetnya
upaya sosialisasi ini, Khitthah menjadi merana, hidup segan mati tak mau.
Betapa kacaunya pemahaman terhadap Khitthah
NU, dapat ditangkap oleh seorang kiai pengasuh
pesantren sebagai berikut: “Di era Khitthah selama 14 tahun ini, pesantren terputus
hubunganya dengan NU. Tokoh NU dilarang masuk pesantren ini. Kami hanya
berhubungan dengan PPP, sampai pesantren
ini dimusuhi oleh pemerintah
habis-habisan. Tetapi NU sekarang sudah punya
PKB secara total, tidak ada yang ketinggalan dari PPP
seorang pun”.
E. Mengamalkan Khittah Nahdliyah
Proses
perumusan khittah sangat panjang, melibatkan banyak pihak, mulai dari orang tua
(Munas Alim Ulama tahun 1983), sampai kepada yang muda(Majelis 24 dan Tim
Tujuh), sampai kepada yang formal struktural (Muktamar 1984) dan lain
sebagainya, sehingga patut dipercaya bahwa hasilnya sudah mantap, baik
substansinya maupun sistematikanya.
Tujuan
menjadikan Khitthah NU sebagai landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga
NU seperti yang disebutkan dalam naskah adalah untuk diamalkan dalam
kehidupan sehari hari warga NU. Tetapi sampai saat ini pengamalannya
masih jauh dari keinginan khittah itu sendiri. Meskipun pengamalannya merupakan
perjuangan berat tetapi warga NU harus
tetap berusaha semaksimal mungkin untuk
mengamalkannya..
Secara garis
besar, Khitthah NU yang harus direalisasikan oleh Nahdliyin, telah
terbingkai dalam fungsi dan missi NU itu sendiri, yaitu:
1. Sebagai Jam’iyyah diniyyah, wadah perjuangan
bagi ulama dan pengikutnya.
2. Sebagai gerakan keagamaan, ikut membangun
insane masyarakat yang bertakwa, cerdas, terampil, berakhlak, tentram, adil dan
sejahtera.
3. Sebagai bagian tak terpisahkan dari
keseluruhan bangsa dan senantiasa
menyatukan diri dengan perjuangan nasional.
4. Sebagai bagian tak terpisahkan dari umat Islam
Indonesia, memegang teguh prinsip
Ukkluwwah, toleransi dan hidup berdampingan, baik dengan sesama umat Islam
maupun dengan sesama warga Negara yang mempunyai keyakinan maupun Agama berbeda.
5. Sebagai Organisasi yang mempunyai fungsi
pendidikan, senantiasa berusaha menciptakan warga Negara yang menyadari hak
dan kewajibanya.
2.3 Ukhuwah
Nahdliyah NU
A. Pengertian
Ukhuwah Nahdliyah NU
Secara umum, ukhuwah dapat diartikan sebagai suatu
sikap yang ciderminkan rasapersaudaraan, kerukunan, persatuan, dan solidaritas
yang dilakukan oleh seseorang terhadaporang lain atau suatu kelompok kepada
kelompok lain, dalam interaksi sosial (Muamalahijtimaiyah). Sikap ukhuwah dalam
masyarakat biasanya timbul karena dua hal, yaitu :Adanya persamaan, dalam baik
masalah keyakinan/agama, wawasan, pengalaman,kepentingan, tempat tinggal maupun
cita-cita.
B. Sikap
yang mempengaruhi Ukhuwah
Adanya kebutuhan yang dirasakan hanya dapat dicapai dengan melalui kerja
sama,gotong royong dan persatuan. Keberlangsungan sikap ukhuwuwah dalam
realisasi kehidupansosial dipengaruhi oleh beberapa sikap dasar, antara lain :
1.
Saling mengenal (Ta’aruf)
2.
Saling menghargai dan menegangkan (tasamuh)
3.
Tolong menolong (ta’awun)
4.
Saling mendukung (tadlamun)
5.
Saling menyayangi (tarahum)
C. Sikap
yang dapat mengganggu Ukhuwah
Sebaliknya, ukhuwah akan terganggu kelestariannya apabila terjadi
sikap-sikapdestruktif (Muhlikat) yang bertentangan dengan etika sosial yang baik
(akhlakul karimah),seperti :
1.
Saling menghina (Assakhriyah)
2.
Saling mencela (allamzu)
3.
Berburuk sangka (suudhan)
4.
Suka mencemarkan nama baik (ghibah)
5.
Sikap curiga yang berlebihan (Tajassus)
6.
Sikap congkak (Takabbur)
D. Penjabaran
Konsep Ukhuwah Nadliyah
Dalam masalah sosial (ijtimaiyah), ukhuwah dapat dijabarkan dalam beberapa
kontek hubungan sebagai berikut :
1.
Persaudaraan nasioanal (ukhuwah
wathoyah) yang tumbuh dan berkembang karenapersamaan aqidah/keimanan, yang baik
di tingkat nasional maupaun internasional.
2.
Persatuan nasionak (ukhuwah
wahtoniyah) yang tumbuh dan berkembang atas dasarkesadaran berbangsa dan bernegara.
3.
Solidaritas kemanusiaan (ukhuwah wathiniyah) yang
tumbuh dan berkembang atasdasar rasa kemanusiaan yang bersifat universal.
Ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathoniyah (persatuan
nasional) merupakan duasikap yang saling
mendukung. Keduanya harus diupayakan keberadanaanya secara serentak,dan
tidak dipertentangkan antara satu dengan yang lain. Hubungan antara keduanya
adalah :Akomodatif dalam arti ada kesediaan untuk saling memahami pendapatan
aspirasi dankepentingan satu dengan yang lain.Akomodatif dalam arti kesediaan
untuk saling memahami pendapat aspirasi dankepentingan satu dengan yang
lain.Selektif, dalam arti ada kesediaan untuk menyelesaikan dalam menyelenggarakanberbagai
macam kepentingan dan aspirasi tersebut secara benar, adil, dan proposional.
Ukhuwah Islamiyah dan Ukhuwah Wathoniyah
merupakan landasan dan modal dasarbagi terwujudnya Ukhuwah Basyariyah
(hubungan kemanusiaan) yang universal.Ukhuwah Islamiyah dalam kehidupan sosial,
khususnya dalam kehidupan berbangsadan bernegara merupakan salah satu kondisi
yang diperlukan dalam kehidupan peroranganmaupun masyarakat, disamping mampu
memberikan kemantapan, ketentraman dankegairahan dalam mengenai berbagai
tantangan yang dapat mengganggu kehidupan sosialdan stabilitias nasional.
Kondisi yang masyarakat dalam proses pencapaian tujuan bersamadan pada giliran
selanjutnya dan batiniyah yang lebih mutu persatuan bangsa dalammenggalang
keutuhan umat dalam rangka stabilitas nasional dan solidaritas Islam, sertapengalaman agama yang bertujuan mencapai
kesejahteraan hidup dunia dan kebahagiaanhidup akhirat.Akan tetapi
proses pengembangan wawasan ukhuwah tersebut kerap kali
mengalamihambatan-hambatan yang disebabkan berbagai hal, seperti :Adanya kebanggaan kelompok yang berlebihan yang
mudah menumbuhkan sikapapriori dan fanatisme yang tidak berkontrol.
Sempitnya cakrawala berpikir, baik yang disebabkan oleh keterbatasan
tingkatpemahaman masalah keagamaan dan kemasyarakatan,
maupun yang kepemimpinan umatdalam mengembangkan budaya ukhuwah baik dalam
memberikan teladan pada bawahanmaupun dalam mengatasi gangguan kerukunan
yang timbul dalam kehidupan umat maupunorganisasi.
Menurut Nahdlatul Ulama, penerapan konsep dan wawasan ukhuwah,dapat
dilakukan melalui bermacam cara, antara lain :Ukhuwah Islamiyah seyogyanya
dimulai dari lingkungan yang paling kecil(keluarga), kelompok atau warga suatu
jamiyah, kemudian dikembangkan dalam lingkunganyang lebih luas (antar jamiyah, aliran,
dan bangsa).
Perlu adanya keteladanan yang baik (uswah hasanah) dari pimpinan umat,
dankhususnya bagi Nahdlatul Ulama di perlukan keteladanan dari para pengurus
untuk menampilkan sikap ukhuwah yang dapat dijadikan contoh oleh warganya
dan umat Islampada umumnya, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan
fungsionalnya.Mengembangkan perluasan cakrawala berpikir dalam masalah
keagamaankemasyarakatan, dalam rangka lebih meningkatkan pengertian dan saling
memahamiwawasan pihak lain dan mengembangkan sikap terbuka dalam menghadapi
masalah-masalah sosial.
Terbentuknya lembaga-lembaga atau pranata-pranata yang menumbukan
kerukunan,persatuan, dan solidaritas warga dan umat, seperti koperasi badan
pengembangan ekonomi,lembaga-lembaga bantuan, badan-badan dan konsultasi dan
lain sebagainya, sesuai denganperkembangan dan kerukunan umat.Mendayagunakan semua lembaga dan sarana yang
sudah tersedot yang diadakan olehpemerintah maupun oleh swadaya
masyarakat sendiri MUI, pesantren, sekolah, dan kampus Perguruan Tinggi,
sebagai pengembangan persaudaraan Islam dan persatuan nasional.Mendayagunakan
pesantren dan lemabaga-lembaga pendidikan lainnya dimiliki olehNahdlatul Ulama
Khususnya, agar lebih berperan pengambangan wawasan ukhuwah, baik melalui
program kurikuler, maupun ekstra kurikuler.Menciptakan
suatu mekanisme yang baik yang baik dan efektif dalam keluarga jamiah
Nahdlatul Ulama yang mampu berperan dalam menyelesaikan masalah jika
terjadiperbedaan pandapat dalam pergaulan interen pengurus atau mengatasi
perbedaan pandapatdengan pihak lain. Dalam hubungan ini difungsikan mekanisme
“Ishlahul Dzatil Bain”(arbritase) seoptimal mungkin.
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Mabadi Khaira Ummah merupakan
langkah awal pembentukan langkah awal pembentukan umat terbaik. Gerakan Mabadi
Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan “umat terbaik” (Khaira Ummah)
yaitu suatu umat yang mampu melaksanakan tugas-tugas amar ma’ruf nahi mungkar
yang merupakan bagian terpenting dari kiprah NU karena kedua sendi mutlak diperlukan
untuk menopang terwujudnya tata kehidupan yang diridlai Allah SWT. sesuai
dengan cita-cita NU.
Sedangkan Khittah
artinya garis yang diikuti, garis yang biasa atau selalu ditempuh. Kalau kata khittah dirangkai dengan Nahdhatul
Ulama’(selanjutnya disingkat NU), maka
artinya garis yang biasa ditempuh oleh orang orang NU dalam kiprahnya
mewujudkan cita cita yang dituntun oleh faham keagamaannya sehingga membentuk
kepribadian khas NU.
Sedangkan ukhuwah dapat diartikan sebagai suatu sikap yang ciderminkan
rasapersaudaraan, kerukunan, persatuan, dan solidaritas yang dilakukan oleh
seseorang terhadap orang lain atau suatu kelompok kepada kelompok lain, dalam
interaksi sosial (Muamalahijtimaiyah). Sikap ukhuwah dalam masyarakat biasanya
timbul karena dua hal, yaitu :Adanya persamaan, dalam baik masalah
keyakinan/agama, wawasan, pengalaman,kepentingan, tempat tinggal maupun
cita-cita.
Sumber:
Abdul Mun’im DZ (Editor), Piagam Perjuangan Kebangsaan, 2011 (Jakarta: Setjen
PBNU-NU Online)
http://aruljepara.blogspot.com/2015/06/makalah-aswaja-nahdliyah-disusun-guna.html?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar