HUJJAH
AMALIYAH NAHDLIYAH
Dosen
Pengampu :
NUR ROHMAN,
S.Pd., M.Si.
Disusun oleh:
1.
Septi
Velitasari N. (151120001587)
2.
Mukaromah (151120001588)
3.
Nidya
Fitriyani (151120001601)
4.
Windi Tyas Oktavia (151120001603)
PROGRAM
STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS
ISLAM NAHDLATUL ULAMA
TAHUN
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat,
karunia, taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Hujjah Amaliyah Nahdliyah ini dengan
baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Dan juga kami berterima kasih
kepada Bapak Nur Rohman,
S.Pd., M.Si. selaku Dosen mata kuliah Agama II
(Ahlussunnah Wal Jama’ah) yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini
dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai
Ahlussunnah Wal Jama’ah. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah
ini terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah
kami buat di masa yang akan datang, mengingat
tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami
bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah kami susun ini
dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami
mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.
Jepara, Juni 2016
Penyusun
1.1 Latar Belakang
Masalah
Tradisi adalah sesuatu yang terjadi
berulang-ulang dengan disengaja, dan bukan secara kebetulan. Banyak tradisi
yang telah berkembang di tengah-tengah masyarakat seperti, ngapati, mitoni,
tingkepan, tahlil, talqin, ziarah kubur, dan lain-lain. Tradisi tersebut tidak
terjadi secara kebetulan, namun terdapat hadits-hadits yang menguatkannya. Sebenarnya
tradisi yang berkembang di kalangan masyarakat Islam khususnya Ahlussunnah Wal
Jama’ah sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Namun banyak dari umat Muslim
tidak mengetahui sejarah adanya tradisi yang ada.
Untuk itu dalam makalah ini kami
akan membahas mengenai hadits-hadits yang membedah tradisi yang sudah menjadi
karakter dari Ahlussunnah Wal Jamaah. Hadits-hadits tersebut sebagai bukti
bahwa tradisi keagamaan yang telah disebutkan tadi sesuai dengan syariat Islam
dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Selain itu untuk memberikan
pengetahuan kepada umat Muslim supaya memahami asal mula adanya tradisi-tradisi
tersebut sehingga dapat membantah tuduhan dari kaum-kaum tertentu yang menyebut
bahwa apa yang dilakukan kaum Muslim Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah bid’ah.
1.2 Rumusan
Masalah
Bagaimana dasar hukum tradisi keagamaan yang ada di masyarakat menurut
syariat Islam :
·
Tradisi
Ngapati, Mitoni dan Tingkepan
·
Mengiringi
Jenazah dengan Bacaan Tahlil
·
Hukum Melakukan
Talqin Mayyit
·
Hukum Selametan
7 Hari Kematian
·
Jamuan Makan
Kepada Para Penta’ziyah
·
Tahlil Fida’
(Tebusan)
·
Membaca
Al-Qur’an di Kuburan
·
Dzikir Bersama
dan Mengeraskan Suara
·
Tradisi
Tahlilan
1.3 Tujuan
Untuk
mengetahui dasar hukum
tradisi keagamaan yang ada di masyarakat menurut syariat Islam tentang :
·
Tradisi
Ngapati, Mitoni dan
Tingkepan
·
Mengiringi
Jenazah dengan Bacaan Tahlil
·
Hukum Melakukan
Talqin Mayyit
·
Hukum Selametan
7 Hari Kematian
·
Jamuan Makan
Kepada Para Penta’ziyah
·
Tahlil Fida’
(Tebusan)
·
Membaca
Al-Qur’an di Kuburan
·
Dzikir Bersama dan
Mengeraskan Suara
·
Tradisi
Tahlilan
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Hujjah atau Hujjat berasal dari (bahasa Arab الحجة ) adalah istilah yang banyak digunakan dalam Al-Qur’an dan
literature Islam yang bermakna tanda, bukti, dalil, alasan, atau argumentasi.
sedangkan Amaliyah artinya berkaitan dengan amal, dan Nahdliyah artinya warga
NU. Jadi Hujjah Amaliyah Nahdliyah adalah tanda bukti yang berupa dalil yang
berkaitan dengan tradisi amalan kaum NU.
2.2 Membedah Tradisi
a.
Makna Sebuah Tradisi
Tradisi
merupakan sesuatu yang terjadi berulang-ulang dengan disengaja dan bukan
terjadi secara kebetulan. Sesuatu tradisi telah menjadi keputusan atas
pemikiran banyak orang dan diterima oleh orang-orang yang memiliki karakter
normal.
b.
Hukum Melanggar Tradisi
Masyarakat
Melanggar
tradisi masyarakat adalah hal yang tidak baik kecuali tradisi tersebut
diharamkan oleh agama. Dalam hal ini al-Imam Ibn Muflih al-Hanbali, berkata:
وَقَالَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي الْفُنُونِ لَا يَنْبَغِي
الْخُرُوجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاسِ إلَّا فِي الْحَرَامِ فَإِنَّ الرَّسُولَ صلى (لَوْلَا حِدْثَانُ قَوْمِكِ الْجَاهِلِيَّةَ)الله عليه وسلم تَرَكَ الْكَعْبَةَ وَقَال
وَقَالَ عُمَرُ لَوْلَا أَنْ يُقَالَ عُمَرُ زَادَ فِي
الْقُرْآنِ لَكَتَبْتُ آيَةَ الرَّجْم
. وَتَرَكَ أَحْمَدُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ لِإِنْكَارِ
النَّاسِ لَهَا، وَذَكَرَ فِي الْفُصُولِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ
وَفَعَلَ ذَلِكَ إمَامُنَا أَحْمَدُ ثُمَّ تَرَكَهُ بِأَنْ قَالَ رَأَيْت النَّاسَ
لَا يَعْرِفُونَهُ، وَكَرِهَ أَحْمَدُ قَضَاءَ الْفَوَائِتِ فِي مُصَلَّى الْعِيدِ
وَقَالَ: أَخَافُ أَنْ يَقْتَدِيَ بِهِ بَعْضُ مَنْ يَرَاهُ . (الإمام الفقيه ابن مفلح الحنبلي، الآداب الشرعية، ٢/٤٧)
“Imam Ibn ‘Aqil berkata dalam kitab
al-Funun, “Tidak baik keluar dari tradisi masyarakat, kecuali tradisi yang
haram, karena Rasulullah SAW telah membiarkan Ka’bah dan berkata, “Seandainya
kaummu tidak baru saja meninggalkan masa jahiliyah… “ Sayyidina Umar berkata:
“Seandainya orang-orang tidak akan berkata, Umar menambah al-Qur’an, aku akan
menulis ayat rajam didalamnya.”Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan dua raka’at
sebelum maghrib karena masyarakat mengingkarinya. Dalam kitab al-Fushul
disebutkan tentang dua raka’at sebelum maghrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hanbal
pada awalnya melakukannya, namun kemudian meninggalkannya, dan beliau berkata,
“Aku melihat orang-orang tidak mengetahuinya.”Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan
melakukan qadha’ shalat di mushalla pada waktu dilaksanakan shalat id (hari
raya). Beliau berkata, “Saya khawatir orang-orang yang melihatnya akan
ikut-ikutan melakukannya.”
(Al-Imam Ibn Muflih al-Hanbali, al-Adab al-Syar’iyyah,juz 2, hal. 47).
2.3 Macam-macam
Tradisi dan
dalilnya
a.
Tradisi Ngapati, Mitoni dan
Tingkepan
Ngapati atau
Ngupati adalah upacara selametan ketika kehamilan menginjak pada usia 4 bulan.
Sedangkan Mitoni atau Tingkepan adalah upacara selametan ketika kandungan
berusia 7 bulan. Upacara selametan tersebut dilakukan dengan tujuan agar janin
yang ada dalam kandungan nantinya lahir dalam keadaan sehat wal afiyat serta
menjadi anak yang salih.
Al-Qur’an
al-Karim menganjurkan kita agar selalu mendoakan anak cucu kita, kendatipun
mereka belum lahir. Dalam al-Qur’an dikisahkan tentang Nabi Ibrahim a.s yang
mendoakan anak cucunya yang masih belum lahir
رَبَّنَا
وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ.
“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua
orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di Antara anak cucu kami
umat yang tunduk patuh kepada Engkau.”(QS. Al-Baqarah:128).
Di
sisi lain, Nabi SWT juga mendoakan janin sebagian sahabat beliau.
“Anas bin Malik AS berkata: “Abu Thalhah memiliki seorang anak laki-laki
yang sedang sakit. Kemudian ia pergi meninggalkan keluarganya. Kemudian anak
kecil itu meninggal dunia. Setelah AbuThalhah pulang, beliau bertanya kepada
isterinya, Ummu Sulaim, “Bagaimana keadaan anak kita?” Ummu Sulaim menjawab,
“Dia sekarang dalam kondisi tenang sekali.” Kemudian Ummu Sulaim menyiapkan
makan malam, sehingga Abu Thalhah pun makan malam. Selain makan malam, keduanya
melakukan hubungan layaknya suami isteri. Setelah selesai, Ummu Sulaim menyuruh
orang-orang agar mengubur anak laki-lakinya itu. Pagi harinya, Abu Thalhah
mendatangi Rasulullah
saw dan
menceritakan kejadian malam harinya. Nabi sabertanya, “Tadi malam kalian tidur bersama?” Abu Thalhah
menjawab, “Ya.” Lalu Nabi saw
berdoa,
“Ya Allah, berkahilah keduanya.” Lalu Ummu Suliam melahirkan anak laki-laki.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Selain itu, para
ulama menganjurkan agar kita selalu bersedekah ketika mempunyai hajat yang kita
inginkan tercapai. Dalam hal ini al-Imam al-Hafizh al-Nawawi, seorang ulama
ahli hadits dan fikih madzhab al-Syafi’I, berkata:
وَقَال
أَصْحَابُنا: يُسْتَحَب اْلإِكْثَار مِن الصَّدَقَة عِنْداْلأُمُوْر الْمُهِمَّةَ(المجموع
شرح المهذب233\6)
“Para ulama kami berkata,’Disunnahkan memperbanyak
sedekah ketika menghadapi urusan-urusan yang penting.”(al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab,juz 6,
hal. 233)
Dari paparan di
atas dapat disimpulkan bahwa upacara selametan pada masa-masa kehamilan seperti
ngapati ketika kandungan berusia 4 bulan atau tingkepan ketika kandungan berusi
7 bulan, tidak dilarang oleh agama, dan substansinya dianjurkan dan pernah
dilakukan oleh keluarga al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali,
madzhab resmi kaum Wahabi di Saudi Arabia.
b.
Mengiringi Jenazah dengan
Bacaan Tahlil
Mengiringi
jenazah dengan bacaan tahlil adalah boleh, bahkan ada riwayat yang menyebutkan
bahwa hal tersebut dilakukan oleh Rasulullah saw. berdasarkan hadits berikut
ini:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: لَمْ يَكُنْ يُسْمَعُ
مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ يَمْشِي خَلْفَ
الْجِنَازَةِ، إلَّا قَوْلُ: لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، مُبْدِيًا، وَرَاجِعًا[1]
“Ibn Umar berkata, “Tidak pernah terdengar
dari Rasulullah saw. ketika mengantarkan jenazah kecuali ucapan La Ilaaha
Illallaah, pada waktu berangkat dan pulangnya.”
c.
Hukum Melakukan Talqin Mayit
Ada dua jenis
talqin yang dianjurkan dalam Islam, yaitu talqin saat sakaratul maut dan talqin
saat pemakaman jenazah. Penjelasan dan dalil masing-masing jenis talqin
tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Talqin saat sakaratul maut
Yakni mentalqin
orang yang akan meninggal dunia sebelum nafasnya sampai di tenggorokan, dan hal
itu disunnahkan. Berdasarkan hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim dan
lainnya:
“Dari Abi Sa’id al-Khudri, Rasulullah
saw. bersabda, “Talqinkanlah orang yang akan mati diantara kamu dengan ucapan
La ‘Ilaaha Illallah.”
(HR. Muslim [1523])
2. Talqin saat pemakaman jenazah
2. Talqin saat pemakaman jenazah
Imam al-Nawawi
dalam al-Aldzkar menjelaskan bahwa membaca talqin untuk mayit setelah
dimakamkan adalah perbuatan sunnah. Didasarkan pada sabda Nabi saw. yang
diriwayatkan oleh Abi Umamah:
“Dari Abi Umamah r.a. beliau
berkata,”Jika aku kelak telah meninggal dunia, maka perlakukanlah aku
sebagaimana Rasulullah saw. memperlakukan orang-orang yang wafat diantara kita.
Rasulullah saw. memerintahkan kita, seraya bersabda, “Ketika diantara kamu ada
yang meninggal dunia, lalu kamu meratakan tanah di atas kuburannya, maka
hendaklah salah satu diantara kamu berdiri pada bagian kepala kuburan itu
seraya berkata, “Wahai Fulan bin Fulanah”. Orang yang berada dalam kubur pasti
mendengar apa yang kamu ucapkan, namun mereka tidak dapat menjawabnya. Kemudian
(orang yang berdiri di kuburan) berkata lagi, “Wahai Fulan bin Fulanah”, ketika
itu juga si mayyit bangkit dan duduk dalam kuburannya. Orang yang berada di
atas kuburan itu berucap lagi, “Wahai Fulan bin Fulanah”, maka si mayyit
berucap, “Berilah kami petunjuk, dan semoga Allah akan selalu memberi rahmat
kepadamu. Namun kamu tidak merasakan (apa yang aku rasakan di sini).” (Karena
itu) hendaklah orang yang berdiri di atas kuburan itu berkata,”Ingatlah sewaktu
engkau keluar ke alam dunia, engkau telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah, dan Nabi Muhammad adalah hamba serta Rasul Allah. (Kamu juga telah
bersaksi) bahwa engkau akan selalu ridha menjadikan Allah sebagai Tuhanmu,
Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai Nabimu, dan al-Qur’an sebagai imam
(penuntun jalan)mu. (Setelah dibacakan talqin ini) malaikat Munkar dan Nakir
saling berpegangan tangan sambil berkata, “Marilah kita kembali, apa gunanya
kita duduk (untuk bertanya) di muka orang yang dibacakan talqin”. Abu Umamah
kemudian berkata, “Setelah itu ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah
saw. “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kita tidak mengenal ibunya?” Rasulullah
menjawab, “(Kalau seperti itu) dinisbatkan saja kepada ibu Hawa, “Wahai Fulan
bin Hawa.” (HR.
al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [7979], Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
juga mengutip hadits tersebut dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Mawt hal. 9 tanpa
ada komentar).
Mayoritas ulama
mengatakan bahwa hadits tentang talqin ini termasuk hadits dha’if, karena ada
seorang perawinya yang tidak cukup syarat untuk meriwayatkan hadits. Namun
dalam rangka fadha’il al-a’mal, hadits ini dapat digunakan.
Kaitannya
dengan firman Allah SWT :
وَمَا
أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ (٢٢)
“Dan engkau (wahai Muhammad) sekali-kali tiada sanggup menjadkan
orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (QS. Fathir:22).
Yang dimaksud dengan kata man fi al-qubur (orang
yang berada di dalam kubur) dalam ayat ini ialah orang-orang kafir yang
diserupakan orang mati karena sama-sama tidak menerima dakwah. Kata mati
tersebut adalah metaforis (bentuk majaz) dari hati mereka yang mati. (Tafsir
al-Khazin, juz V, hal. 347).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa orang yang
beriman itu di dalam kubur bisa mendengar suara orang yang membimbing talqin
tersebut dengan kekuasaan Allah SWT. Hal ini dapat diperkokoh dengan kebiasaan
Rasulullah SAW apabila berziarah kekuburan selalu mengucapkan salam. Seandainya
ahli kubur tidak mendengar salam Rasulullah SAW, tentu Rasulullah SAW tidak
melakukan sesuatu yang sia-sia, dan itu tidak mungkin.
Hadits tentang kesunnahan mentalqin mayyit juga
dikutip oleh Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani dalam Majmu’ al-Fatawa dan Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut. Hadits
yang diriwayatkan oleh al-Imam imam
al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan al-Imam Ibn Mandah tersebut adalah:
“Al-Thabarani
telah meriwayatkan dalam al-Mu’jam al-Kabir dan Ibn Mandah, dari Abu Umamah
dari Rasulullah SAW, Bersabda: “Apabila salah seorang saudara kamu meninggal
dunia, lalu kalian meratakan tanah diatas makamnya, maka hendaklah salah
seorang kamu berdiri di bagian kepalanya,dan katakanlah, “Wahai fulan bin
fulanah”, maka sesungguhnya ia mendengar dan menjawab panggilan itu. Kemudian
katakana, “Wahai fulan bin fulanah”, maka ia kan duduk dengan sempurna.
Kemudian katakana, “Wahai fulan bin fulanah”, maka sesungguhnya ia berkata ,
“Berilah kami petunjuk, semoga Allah mengasihimu”, tetapi kalian tidak
menyadarinya. Lalu katakanlah, “Ingatlah janji yang kamu pegang ketika keluar
dari dunia, yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, bahwa Muhammad utusan
Allah, bahwa kamu rela menerima Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama,
Muhammad sebagai Nabi dan al-Qur’an sebagai pemimpin.” Maka pada saat itu,
Malaikat Munkar dan Nakir akan saling berpegangan tangan dan berkata, “Mari
kita pergi. Kita tidak duduk di samping orang yang telah dituntun jawabannya.
“Nantinya Allah yang akan memberikan jawaban terhadap kedua Malaikat itu.”
Seorang laki-laki berkata bertanya “Wahai Rasulullah, jika ibu mayit itu tidak
diketahui?” Beliau menjawab, “Nisbatkan kepada Hawwa, “Wahai Fulan bin Hawwa.”
d.
Hukum Selamatan 7 Hari Kematian
Di kalangan masyarakat kita da tradisi, ketika ada
orang meninggal, maka pihak keluarga mengadakan selamatan selama 7 hari, yang
dihadiri para tetangga , kerabat dan handai taulan dengan ritual bacaan yang
pahalanya dihadiahkan kepada orang yang meninggal itu. Selamatan tersebut
dilakukan pula pada ke-40, 100, dan 1000 harinya. Lalu diadakan setiap tahunnya
yang diistilahkan dengan haul. berkaitan dengan tradisi selamatan selama 7
hari, ada atsar (riwayat) dari ulama
salaf berikut ini :
عَنْ سُفْيَانَ قَالَ طَاوُوْسُ إِنَّ الْمَوْتَى
يُفْتَنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُّطْعَمَ
عَنْهُمْ تِلْكَ الْاَيَّام
. (رواه
الإمام أحمد في كتاب الزهد, الحاوي للفتاوى, 2/178)
“Dari
Sufyan, berkata, “Imam Thawus berkata, “Sesungguhnya orang yang meninggal akan
diuji di dalam kubur selam tujuh hari, oleh karena itu mereka (kaum salaf)
mengajurkan bersedekah makanan untuk keluarga yang meninggal selama tujuh hari
tersebut.”
Syaikh Nawawi al-Bantani seorang ulama
mutaakhkhirin, menjelaskan penentuan sedekah melalui tradisi tahlil pada
hari-hari tertentu itu merupakan kebiasaan masyarakat (al-‘adah). Difatwakan
oleh Sayyid Ahmad Dahlan. “Sungguh telah berlaku di masyarakat adanya kebiasaan
bersedekah untuk mayyit pada hari ke tiga dari kematian, hari ke tujuh, dua
puluh dan ketika genap empat puluh hari serta seratus hari. Setelah itu
dilakukan setiap tahun pada hari kematiannya. Sebagaimana disampaikan oleh
Syaikh kita Yusuf al-Sunbulawini.”
Bahkan, menyikapi atsar Imam Thawus yang diriwayatkan
dari Sufyan tersebut daiatas, Imam Ahmad bin Hanbal r.a, dalam kitab al-Zuhd
menyatakan bahwa bersedekah selama tujuh hari itu adalah perbuatan sunnah. Lebih
lanjut, Imam al-Suyuthi menilai hal tersebut merupakan perbuatan sunnah yang
telah dilakukan secara turun temurun sejak masa sahabat.
“Kesunnahan
memberikan sedekan makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap
berlaku hingga sekarang (zaman Imam al-Suyuthi, abad X Hijriyah) di Mekkah dan
Madinah, Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat
Nabi SAW sampai sekarang saat ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf
sejak generasi pertama (masa sahabat SAW).
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kebiasaan masyarakat
tentang penentuan hari dalam tahlilan itu dapat dibenarkan.
e.
Jamuan Makan Kepada Para
Penta’ziyah
Dalam masyarakat kita da tradisi, ketika ada orang
meninggal, maka pihak keluarga menyiapkan hidangan makanan yang disuguhkan
kepada para penta’ziyah. Tradisi ini sesuai dengan atsar dari ulama salaf di
atas. Selain itu, juga sesuai dengan hadits mauquf dari Sayyidina Umar r.a
berikut ini :
“Al-Ahnaf
bin Qais berkata, “Aku pernah mendengar Umar r.a berkata: “Apabila seseorang
dari suku Quraisy memasuki satu pintu, pasti orang lain akan mengikutinya.” Aku
tidak mengerti perkataan ini, sampai akhirnya Umar r.a ditikam, lalu beliau
berwasiat agar Shuhaibyang menjadi Imam shalat selama tiga hari dan agar
menyuguhkan makanan pada orang-orang yang ta’ziyah. Setelah orang-orang pulang
dari mengantarkan jenazah (Umar r.a, ternyata hidangan makanan telah disiapkan,
tetapi mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang tengah menyelimuti
mereka.
Sealain itu, bolehnya menyuguhkan makanan kepada
orang yang bertakziah, didasarkan pada hadits:
“Dari
Abdullah bin Amr r.a, “Ada seseorang yang bertanya pada Nabi SAW, “Perbuatan
apakah yang paling baik?” Rasulullah SAW menjawab, “Menyuguhkan makanan dan
mengucapkan salam, baik kepada orang yang kamu kenal atau tidak.” (HR.
al-Bukhari [11]).
Lebih jelas lagi, menyuguhkan makanan kepada orang
yang bertakziyah itu dijelaskan dalam hadits Nabi SAW berikut ini:
“Diriwayatkan
oleh Ashim bin Khulayd dari ayahnya dari salah seorang sahabat Anshar, ia
berkata, “Saya pernah bersama Rasulullah SAW pulang, beliau diundang oleh
seorang perempuan (istri yang meninggal). Rasulullah SAW memenuhi undangannya, dan saya ikut bersama
beliau,. Ketika beliau datang, lalu makananpun dihidangkan. Rasulullah SAW
mulai makan dan diikuti oleh para undangan. Pada saat beliau akan mengunyah
makanan tersebut, beliau bersabda, “Aku merasa daging kambing ini diambil
dengan tanpa izin pemiliknya”. Kemudian perempuan tersebut bergegas menemui
Rasulullah SAW sembari berkata, “Wahai Rasulullah SAW saya sudah menyuruh orang
pergi ke Baqi”, (suatu tempat penjualan kambing), untuk membeli kambing, namun
tidak mendapatkannya. Kemudian saya menyuruhnya menemui tetangga saya yang
telah membeli kambing, agar kambing itu dijual kepada saya dengan harga yang
umum, akan tetapi ia tidak ada. Maka saya menyuruh menemui isterinya dan ia pun
mengirimkambingnya pada saya. Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Berikan
makanan ini pada para tawanan.”
Berdasarkan hadits inilah, Syaikh Ibrahim al-Halabi
berkata. “Hadits ini menunjukkan kebolehan keluarga mayit membuat makanan dan
mengundang orang untuk makan. Jika makanan itu disuguhkan kepada fakir miskin,
hal itu baik. Kecuali jika salah satu ahli warisnya ada yang masih kecil, maka
tidak boleh diambilkan dari harta waris si mayit.”
Mengenai keputusan Rasulullah SAW memberikan makanan
kepada para tawanan itu tidak dapat dijadikan alasan memgharamkan menyuguhkan
makanan kepada orang yang berta’ziyah. Rasulullah SAW menyuruh memberikan
makanan kepada para tawanan karena orang yang akan dimintai ridhanya atas
daging itu belum ditemukan sedangkan makanan itu takut basi. Maka sudah
semestinya jika Rasulullah SAW memberikan makanan tersebut kepada para tawanan.
Dan isteri mayit pun telah mengganti harga kambing yang disuguhkan tersebut.
f.
Tahlil Fida’ (Tebusan)
Ada tradisi di sebagian masyarakat kita, ketika ada
keluarga yang meninggal dunia, maka dibacakan tahlil (la ilaha illallah)
sebanyak 70.000 kali dan pahalanya dihadiahkan kepada mayit agar terbebas dari
siksa neraka. Hal tersebut diistilahkan dengan tahlil fida’ atau tebusan. Hal
demikian itu boleh dilakukan, sebagaiamana ditegaskan oleh Syaikh Ibn Taimiyah,
panutan utama kaum wahabi, dalam Majmu’ al-Fatawa-nya berikut ini:
وَسُئِلَ:
عَمَّنْ "هَلَّلَ سَبْعِيْنَ أَلْفَ مَرَّةٍ وَأَهْدَاهُ لِلْمَيِّتِ
يَكُوْنُ بَرَاءَةً لِلْمَيِّتِ مِنَ النَّارِ" حَدِيْثٌ
صَحِيْحٌ؟ أَمْ لاَ؟ وَاِذَا هَلَّلَ الْانْسَانُ وَاَهْدَاهُ إِلَى الْمَيِّتِ يَصِلُ
إِلَيْهِ ثَوَابُهُ اَمْ لَا؟ فَأَجَابَ: إِذَا هَلَّلَ الْاِنْسَانُ هَكَذَا:
سَبْعُوْنَ اَلْفًا اَوْ اَقَلَّ اَوْ اَكْثَرَ. وَاُهْدِيَتْ اِلَيْهِ نَفَعَهُ
اللهُ بِذَلِكَ وَلَيْسَ هَذَا حَدِيْثًا صَحِيْحًا وَلَا ضَعِيْفًا. وَاللهُ
أَعْلَمُ. (مجموع فتاوى ابن تيمية, 24/323).
“Syaikh Ibn Taimiyah ditanya,
tentang orang yang membaca tahlil 70.000 kali dan dihadiahkan kepada mayit,
agar menjadi tebusan baginya dari neraka, apakah hal itu hadits shahih atau
tidak? Dan
apabila seseorang membaca tahlil lalu dihadiahkan kepada mayit, apakah
pahalanya sampai atau tidak?” Beliau menjawab, “Apabila seseorang membaca
tahlil sekian, 70.000 atau kurang, dan atau lebih, lalu dihadiahkan kepada
mayit, maka hadiah tersebut bermanfaat baginya, dan ini bukan hadits shahih dan
bukan hadits dha’if. Wallahu a’lam.”
g.
Membaca Al-Qur’an di Kuburan
Menjelang bulan suci
Ramadhan maupun menjelang lebaran ada tradisi yang dilakukan kaum Muslimin,
yaitu ziarah kubur. Baik berziarah ke makan para wali atau tokoh terkenal lainnya
maupun makam orang tua atau sanak famili yang telah meninggal. Lalu mereka
membaca al-Qur’an di sisi makam tersebut. Hal itu diperbolehkan dan baik untuk
dilakukan. Membaca al-Qur’an di kuburan merupakan tradisi kaum salaf (sejak
generasi sahabat). Al-Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah murid terdekat Ibnu Taimiyah,
berkata:
“telah disebutkan dari sekelompok ulama salaf, bahwa
mereka berwasiat agar dibacakan al-Qur’an di sisi makam mereka ketika
pemakaman. Imam Abdul Haqq berkata, diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa beliau
berwasiat agar dibacakan surat al-Baqarah di sisi makamnya. Di
antara yang berpendapat demikian adalah al-Mu’alla bin Abdurrahman. Al-Khallal
berkata, “al-Hasan bin Ahmad al-Warraq mengabarkan kepadaku, “Ali bin Musa
al-Haddad mengabarkan kepadaku, dan dia seorang yang dipercaya. Ia berkata,
“aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah al-Jauhari, ketika
mendengar jenazah. Setelah mayit dimakamkan, seorang laki-laki tuna netra
membaca al-Qur’an di samping makam itu. Lalu Ahmad berkata kepadanya, “ Hai
laki-laki sesungguhnya membaca al-Qur’an di samping makam itu bid’ah.” Setelah
kami keluar dari makam, Muhammad bin Qudamah berkata kepada Ahmad bin Hanbal,
“wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapat Anda tentang Mubasysyir al-Halabi?” ia
menjawab, “dia perawi yang tsiqah (dapat dipercaya).” Muhammad bin Qudamah
berkata, “anda menulis riwayat darinya?” Ahmad menjawab, “ya.” Muhammad bin
Qudamah berkata, “Mubasysyir mengabarkan kepadaku, dari Abdurrahman bin
al-‘Ala’ al-Lajlaj, dari ayahnya, bahwasanya ia berwasiat, apabila ia
dimakamkan, agar dibacakan permulaan dan penutup surat al-Baqarah di sebelah
kepalanya. Ia berkata, “aku mendengar Ibn Umar berwasiat demikian.” Lalu Ahmad
berkata kepada Muhammad bin Qudamah, “kembalilah, dan katakan kepada laki-laki
tadi, agar membaca al-Qur’an di samping makam itu.” Al-Hasan bin al-Shabah bin
al-Za’farani berkata, “ aku bertanya kepada al-Syafi’I tentang membaca
al-Qur’an di samping kuburan, lalu ia menjawab, tidak apa-apa.” Al-Khallal
meriwayatkan dari al-Sya’bi yang berkata, “kaum Anshar apabila keluarga mereka
ada yang meninggal, maka mereka selalu mendatangi makamnya untuk membacakan
al-Qur’an di sampingnya.”
Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab juga menyampaikan beberapa riwayat membaca al-Qur’an
ketika di makam kaum Muslimin dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut berikut ini:
“Sa’ad al-Zanjani meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah
secara Marfu’: “barang siapa mendatangi kuburan lalu membaca surat al-Fatihah,
al-Ikhlas, dan al-Takatsur, kemudian mengatakan: “Ya Allah, aku hadiahkan
pahala bacaan al-Qur’an ini bagi kaum beriman laki-laki dan perempuan di
kuburan ini,” maka mereka akan menjadi penolongnya kepada Allah.” Abdul Aziz
–murid al-Imam al-Khallal-, meriwayatkan hadits dengan sanadnya dari Anas bin
Malik secara marfu’: “Barangsiapa mendatangani kuburan, lalu membaca surah
Yasin, maka Allah akan meringankan siksaan mereka, dan ia akan memperoleh pahala sebanyak orang-orang yang ada di
kuburan itu.”
h.
Dzikir Bersama dan Mengeraskan
Suara
Sebuah tradisi yang ada
di tengah-tengah masyarakat apabila berdzikir yaitu dilakukan secara
bersama-sama dan mengeraskan suara. Baik dzikir setelah shalat maupun dalam
acara tahlilan dan lain-lain. Hal tersebut tidak mengurangi pahala dzikir,
bahkan dianjurkan dan terus ditradisikan. Dalam kitab al-Ijtima’ala al-Dzikr wa al-Jahr bihi yang telah menyitir sekian
banyak ayat al-Qur’an tentang dzikir, al-Imam al-Syaukani berkata:
“ini adalah himpunan ayat-ayat al-Qur’an kekita melihat pertanyaan ini.
Dalam ayat-ayat tersebut tidak ada pembatasan dzikir dengan cara mengeraskan
atau memelankan, meninggikan atau merendahkan suara, bersama-sama atau
sendirian. Jadi ayat-ayat tersebut memberi pengertian anjuran dzikir dengan
semua cara tersebut.”
Bahkan berkaitan dengan
dzikir yang mengeraskan suara setelah shalat fardhu, ada hadis shahih berikut ini:
“Dari Abu Ma’bad, bahwa Ibn Abbas r.a
mengabarkan kepadanya, bahwa mengeraskan suara dalam berdzikir ketika selesai
shalat fardhu berjamaah terjadi pada zaman Nabi S.A.W. Ibn Abbas berkata, “aku
mengetahui selesainya shalat fardhu itu, ketika aku mendengar suara keras
mereka dalam berdzikir.” (HR.
al-Bukhari dan Muslim).
Berkaitan dengan dzikir
secara berjamaah, ada sekian banyak hadits yang menganjurkannya, antara lain
hadits berikut ini:
“Syaddad bin Aus
r.a berkata, “kami bersama Rasulullah SAW tiba-tiba beliau berkata, “apakah di
antara kalian ada orang asing (ahli
kitab)?” kami menjawab, “tidak ada wahai Rasulullah.” Lalu beliau memerintahkan
agar mengunci pintu dan berkata, “angkatlah tangan kalian, lalu katakan La
ilaha illallah!” kami mengangkat tangan beberapa saat, kemudian Rasulullah
meletakkan tangannya. Lalu bersabda, “Alhamdulillah. Ya Allah sesungguhnya
Engkau mengutusku membawa kalimat tauhid ini, Engkau memerintahkannya kepadaku
dan menjanjikanku surga karenanya, sesungguhnya Engkau tidak akan menyalahi
janji.” Kemudain beliau bersabda, “bergembiralah,
sesungguhnya Allah telah mengampuni kalian.” (HR. Ahmad, al-Hakim, al-Tabarani dan al-Bazzar).
i.
Tradisi Tahlilan
Tahlilan merupakan
tradisi yang telah diamalkan secara turun temurun oleh mayoritas umat Islam
Indonesia. Meskipun format acaranya tidak diajarkan secara langsung oleh
Rasulullah SAW, namun kegiatan tersebut dibolehkan karena tidak ada unsur yang
bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya pembacaan surat Yasin, Tahlil, Tahmid, Tasbih, dan semacamnya. Oleh karena itu,
pelaksanaan tahlilan secara esensial merupakan perwujudan dari tuntutan
Rasulullah SAW.
Imam
al-Syaukani mengatakan bahwa setiap perkumpulan yang di dalamnya dilaksanakan
kebaikan, misalnya membaca al-Qur’an, dzikir, dan doa itu adalah perbuatan yang
dibenarkan meskipun tidak pernah dilaksanakan pada masa Rasulullah SAW. Begitu
pula tidak ada larangan untuk meghadiahkan pahala membaca al-Qur’an atau
lainnya kepada orang yang telah meninggal. Bahkan ada beberapa jenis bacaan
yang didasarkan pada hadits shahih seperti, hadits “Bacalah surat Yasin kepada
orang mati di antara kamu.” Tidak ada perbedaan baik dilakukan secara
bersama-sama di dekat mayit atau di dekat kuburannya, dan membaca al-Qur’an
secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di Masjid atau di rumah.
Kesimpulan al-Syaukani
ini memang didukung oleh banyak hadits Nabi SAW. Di antaranya adalah:
عن ابي سعيد الخدري قال ول الله صلّى الله عليه سلّم: لا يقعد
قوم يذكرون الله عزوجلّ الاّخفَّتهم الملائكة وغشيتهم الرحمة ونزلت عليهم السكينة
وذكرهم الله فيمن عنده (رواه مسلم4868)
“Dari Abi Sa’id al-Khudri, ia berkata, Rasulullah
bersabda “Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada Allah, kecuali
mereka akan dikelilingi malaikat, dan Allah akan memberikan rahmat-Nya kepada
mereka, memberikan ketenangan hati dan memujinya di hadapan makhluk yang ada di
sisi-Nya.” (HR. Al-Muslim
[4868]).
Imam al-Syafi’i memang pernah menyatakan :
“Dan ku tidak senang pada “ma’tam” yakni adanya perkumpulan, karena hal itu
akan mendatangkan kesusahan dan menambah beban.”
Perkataaan Imam al-Syafi’i ini sering
dijadikan dasar melarang acara tahlilan, karena dianggap sebagai salah satu
bentuk ma’tam yang dilarang tersebut. Padahal apa yang dimaksud dengan ma’tam
itu tidak sama dengan tahlilan. Ma’tam adalah perkumpulan untuk meratapi mayit
yang dapat menambah kesusahan dan kesedihan keluarga yang ditinggalkan.
Ma’tam yang tidak disenangi oleh Imam al-Syafi’i adalah
perkumpulan untuk meratapi kepergian mayit, yang mencerminkan kesedihan
mendalam karena ditinggal oleh orang yang dicintai. Seolah-olah tidak diterima
terhadap apa yang telah diputuskan oleh Allah. Dan itu sama sekali tidak
terjadi bagi orang yang melakukan tahlilan yang di dalamnya terdapat dzikir dan
doa untuk orang yang meninggal dunia. Sehingga tepat jika tahlilan itu disebut
sebagai majlis al-dzikir.
Bagi shahibul mushibah (orang yang
terkena musibah), tahlilan itu merupakan pelipur lara dan penghapus duka karena
ditinggal mati oleh orang yang mereka sayangi, bukan penambah kesusahan dan
derita. Sebagai bukti, semakin banyak orang yang tahlil, maka tuan rumah
semakin senang. Justru tuan rumah akan kecewa dan tambah bersedih jika yang
datang untuk tahlilan sangat sedikit.
Dari sisi sosial, keberadaan tradisi tahlilan
mempunyai manfaat yang sangat besar untuk menjalin ukhuwah antar anggota
masyarakat. Dalam sebuah penelitan ilmiah yang dilakukan oleh Zainuddin Fananie
MA dan Atiqo Sabardila MA dosen Universitas Muhammadiyyah Surakarta didapat
kesimpulan bahwa tahlil merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam
kehidupan keagamaan. Di samping itu tahlil juga merupakan salah satu alat
mediasi (perantara) yang paling memenuhi syarat yang bisa dipakai sebagai
komunikasi keagamaan dan pemersatu umat serta mendatangkan ketenangan jiwa.
Terkait susunan tahlil, sebagaimana maklum,
terdiri darin beberapa ayat Al-Qur’an, tahlil, tasbih, tahmid, shalawat dan
lain-lain. Komposisi bacaan tahlilan yang terdiri dari beragam dzikir ini telah
berlangsung sejak berabad-abad yang lalu. Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani, ulama
panutan utama kaum Wahabi, pernah ditanya tentang ritual seperti
tahlilan tersebut, dan beliau membenarkan serta menganjurkannya. Dalam hal ini
Ibn Taimiyah berkata :
“Ibn Taimiyah ditanya, tentang seseorang yang memprotes
ahli dzikir (berjamaah) dengan berkata kepada mereka, “Dzikir kalian bid’ah,
mengeraskan suara yang kalian lakukan juga bid’ah.” Mereka memulai dan menutup
dzikirnya dengan al-Qur’an, lalu mendoakan kaum Muslimin yang masih hidup
maupun yang sudah meninggal. Mereka mengumpulkan antara tasbih, tahmid, tahlil,
takbir, hauqalah (laa haula wa laa quwwata illaa billaah) dan shalawat kepada
Nabi”. “Lalu Ibn Taimiyah menjawab : “Berjamaah dalam
berdzikir, mendengarkan al-Qur’an dan berdoa adalah amal shaleh, termasuk
qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu. Dalam Shahih
al-Bukhari, Nabi bersabda, “sesungguhnya Allah memiliki banyak Malaikat yang
selalu berpergian di muka bumi. Apabila mereka bertemu dengan sekumpulan orang
yang berdzikir kepada Allah, maka mereka memanggil, “silahkan sampaikan hajat
kalian”, lanjutan hadits tersebut terdapat redaksi, “kami menemukan mereka
bertasbih dan bertahmid kepada-Mu” … Adapun memelihara rutinitas aurad
(bacaan-bacaan wirid) seperti shalat,
membaca al-Qur’an, berdzikir atau berdoa, setiap pagi dan sore serta pada
sebagian waktu malam dan lain-lain, hal ini merupakan tradisi Rasulullah dan
hamba-hamba Allah yang salih, zaman dulu dan sekarang”.(Majmu’ Fatawa Ibn
Taimiyah, Juz 22, hal 520).
Pertanyaan Syaikh Ibn Taimiyah di atas
memberikan kesimpulan bahwa dzikir berjamaah dengan komposisi bacaan yang
beragam antara ayat al-Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil, shalawat, dan lain-lain
seperti yang terdapat dalam tradisi tahlilan adalah amal shaleh dan termasuk qurbahdan
ibadah yang paling utama dalam setiap waktu.
Dalam tradisi tahlilan, tuan rumah biasanya
menyuguhkan makanan setelah doa dipanjatkan. Dilihat dari sisi sedekah, bahwa
dalam bentuk apapun, hal ini merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan. Memberikan
makanan kepada orang lain adalah perbuatan yang sangat terpuji. Sabda Nabi :
“Dari Amr bin Abasah, ia berkata, saya mendatangi
Rasulullah kemudian saya bertanya, “Wahai Rasul, apakah Islam itu ?” Rasul
menjawab, “ Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan makanan.” (HR. Ahmad [18617]).
Kaitannya dengan sedekah untuk mayit, pada
masa Rasulullah, jangankan makanan, kebun pun (harta yang sangat berharga)
disediakan dan pahalanya diberikan kepada si mayit. Dalam sebuah hadits shahih
disebutkan :
“Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki
bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah
ada manfaatnya jika aku bersedekah untuknya ?” Rasulullah menjawab, “Ya”.
Laki-laki itu berkata, “Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan
kepadamu bahwa aku akan mempersedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku”. (Ibnu al-Qayyim, al-Ruh, hal 142).
Ibnu Qayyim al-Jawziyah dengan tegas
mengatakan bahwa sebaik-baiknya amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah
memerdekakan budak, sedekah, istighfar, doa, dan haji. Adapun pahala membaca
al-Qur’an secara sukarela dan pahalanya diberikan kepada mayit, juga akan
sampai kepada mayit tersebut. Sebagaimana pahala puasa dan haji. (Ibnu
al-Qayyim, al-Ruh, hal. 142).
Jika kemudian perbuatan tersebut dikaitkan
dengan usaha untuk memberikan penghormatan kepada para tamu, maka itu merupakan
perbuatan yang dianjurkan dalam Islam. Sabda Rasulullah :
“Dari Abi Hurairah, ia berkata, “Rasulullah bersabda,
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah
menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaklah ia berkata dengan kebaikan atau (jika tidak bisa), diam.” (HR. Muslim [5559]).
Seorang tamu yang keperluannya hanya urusan
bisnis atau sekedar ngobrol dan main catur harus diterima dan dijamu dengan
baik, apabila tamu yang datang untuk mendoakan keluarga kita di akhirat, sudah
seharusnya lebih dihormati dan diperhatikan.
Hanya saja, kemampuan ekonomi harus tetap
menjadi pertimbangan utama. Tidak boleh memaksakan diri untuk melakukan acara
tahlilan dengan berhutang ke sana sini atau sampai mengambil harta anak yatim
dan ahli waris yang lain. Hal tersebut jelas tidak dibenarkan. Dalam kondisi
seperti ini, sebaiknya perjamuan itu diadakan ala kadarnya.
Lain halnya jika memiliki kemampuan ekonomi
yang sangat memungkinkan. Selama tidak israf (berlebih-lebihan dan
menghamburkan harta) atau sekedar menjaga gengsi, suguhan istimewa yang
dihidangkan, dapat diperkenankan sebagai suatau bentuk penghormatan serta
kecintaan kepada keluarga yang telah meninggal dunia.
Dan yang tak klaah pentingnya masyarakat yang
melakukan tahlilan hendaknya menata niat di dalam hati bahwa apa yang dilakukan
itu semata-mata karena Allah. Dan jika ada bagian dari ucapan tahlil itu yang
menyimpang dari ketentuan syara’ maka tugas para ulama untuk meluruskannya
dengan penuh bijaksana.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Tradisi ngapati, mitoni dan tingkepan, mengiringi jenazah dengan bacaan tahlil, hukum melakukan talqin mayyit, hukum selametan
7 hari kematian, jamuan makan
kepada para penta’ziyah, tahlil fida’
(tebusan), membaca
al-qur’an di kuburan, dzikir bersama
dan mengeraskan suara, dan tradisi
tahlilan merupakan ciri khas dari Ahlussunnah Wal Jama’ah yang
tidak bertentangan dengan syariat Islam karena dapat dibuktikan dengan
dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits.
3.2 Saran
Melalui makalah ini diharapkan pembaca dapat memahami
dasar hukum tradisi kaum NU yang berada di tengah-tengah masyarakat sehingga
dapat membantah berbagai argumen dari golongan-golongan tertentu yang
menyatakan bahwa tradisi-tradisi yang dilakukan kaum NU adalah Bid’ah. Serta
diharapkan pembaca dapat melestarikan tradisi-tradisi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar