Selasa, 12 Juli 2016

HUJJAH AMALIYAH NAHDLIYAH

HUJJAH AMALIYAH NAHDLIYAH
Dosen Pengampu :
NUR ROHMAN, S.Pd., M.Si.

Disusun oleh:
1.      Septi Velitasari N.                          (151120001587)
2.      Mukaromah                                    (151120001588)
3.      Nidya Fitriyani                               (151120001601)
4.      Windi  Tyas Oktavia                      (151120001603)


PROGRAM STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA
TAHUN 2016






KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia, taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Hujjah Amaliyah Nahdliyah ini dengan baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Dan juga kami berterima kasih kepada Bapak Nur Rohman, S.Pd., M.Si. selaku Dosen mata kuliah Agama II (Ahlussunnah Wal Jama’ah) yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Ahlussunnah Wal Jama’ah. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang,  mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
 Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah kami susun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.
                                                                                                                                
Jepara, Juni 2016
Penyusun


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tradisi adalah sesuatu yang terjadi berulang-ulang dengan disengaja, dan bukan secara kebetulan. Banyak tradisi yang telah berkembang di tengah-tengah masyarakat seperti, ngapati, mitoni, tingkepan, tahlil, talqin, ziarah kubur, dan lain-lain. Tradisi tersebut tidak terjadi secara kebetulan, namun terdapat hadits-hadits yang menguatkannya. Sebenarnya tradisi yang berkembang di kalangan masyarakat Islam khususnya Ahlussunnah Wal Jama’ah sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Namun banyak dari umat Muslim tidak mengetahui sejarah adanya tradisi yang ada.
Untuk itu dalam makalah ini kami akan membahas mengenai hadits-hadits yang membedah tradisi yang sudah menjadi karakter dari Ahlussunnah Wal Jamaah. Hadits-hadits tersebut sebagai bukti bahwa tradisi keagamaan yang telah disebutkan tadi sesuai dengan syariat Islam dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Selain itu untuk memberikan pengetahuan kepada umat Muslim supaya memahami asal mula adanya tradisi-tradisi tersebut sehingga dapat membantah tuduhan dari kaum-kaum tertentu yang menyebut bahwa apa yang dilakukan kaum Muslim Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah bid’ah.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana dasar hukum tradisi keagamaan yang ada di masyarakat menurut syariat Islam :
·         Tradisi Ngapati, Mitoni dan Tingkepan
·         Mengiringi Jenazah dengan Bacaan Tahlil
·         Hukum Melakukan Talqin Mayyit
·         Hukum Selametan 7 Hari Kematian
·         Jamuan Makan Kepada Para Penta’ziyah
·         Tahlil Fida’ (Tebusan)
·         Membaca Al-Qur’an di Kuburan
·         Dzikir Bersama dan Mengeraskan Suara
·         Tradisi Tahlilan
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui dasar hukum tradisi keagamaan yang ada di masyarakat menurut syariat Islam tentang :
·         Tradisi Ngapati, Mitoni dan Tingkepan
·         Mengiringi Jenazah dengan Bacaan Tahlil
·         Hukum Melakukan Talqin Mayyit
·         Hukum Selametan 7 Hari Kematian
·         Jamuan Makan Kepada Para Penta’ziyah
·         Tahlil Fida’ (Tebusan)
·         Membaca Al-Qur’an di Kuburan
·         Dzikir Bersama dan Mengeraskan Suara
·         Tradisi Tahlilan
                                            


BAB II
PEMBAHASAN
2.1     Pengertian
Hujjah atau Hujjat berasal dari (bahasa Arab الحجة ) adalah istilah yang banyak digunakan dalam Al-Qur’an dan literature Islam yang bermakna tanda, bukti, dalil, alasan, atau argumentasi. sedangkan Amaliyah artinya berkaitan dengan amal, dan Nahdliyah artinya warga NU. Jadi Hujjah Amaliyah Nahdliyah adalah tanda bukti yang berupa dalil yang berkaitan dengan tradisi amalan kaum NU.

2.2 Membedah Tradisi
a.      Makna Sebuah Tradisi
Tradisi merupakan sesuatu yang terjadi berulang-ulang dengan disengaja dan bukan terjadi secara kebetulan. Sesuatu tradisi telah menjadi keputusan atas pemikiran banyak orang dan diterima oleh orang-orang yang memiliki karakter normal.
     b.   Hukum Melanggar Tradisi Masyarakat
Melanggar tradisi masyarakat adalah hal yang tidak baik kecuali tradisi tersebut diharamkan oleh agama. Dalam hal ini al-Imam Ibn Muflih al-Hanbali, berkata:
وَقَالَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي الْفُنُونِ لَا يَنْبَغِي الْخُرُوجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاسِ إلَّا فِي الْحَرَامِ فَإِنَّ الرَّسُولَ صلى (لَوْلَا حِدْثَانُ قَوْمِكِ الْجَاهِلِيَّةَ)الله عليه وسلم تَرَكَ الْكَعْبَةَ وَقَال
وَقَالَ عُمَرُ لَوْلَا أَنْ يُقَالَ عُمَرُ زَادَ فِي الْقُرْآنِ لَكَتَبْتُ آيَةَ الرَّجْم
. وَتَرَكَ أَحْمَدُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ لِإِنْكَارِ النَّاسِ لَهَا، وَذَكَرَ فِي الْفُصُولِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَفَعَلَ ذَلِكَ إمَامُنَا أَحْمَدُ ثُمَّ تَرَكَهُ بِأَنْ قَالَ رَأَيْت النَّاسَ لَا يَعْرِفُونَهُ، وَكَرِهَ أَحْمَدُ قَضَاءَ الْفَوَائِتِ فِي مُصَلَّى الْعِيدِ وَقَالَ: أَخَافُ أَنْ يَقْتَدِيَ بِهِ بَعْضُ مَنْ يَرَاهُ . (الإمام الفقيه ابن مفلح الحنبلي، الآداب الشرعية، ٢/٤٧)
“Imam Ibn ‘Aqil berkata dalam kitab al-Funun, “Tidak baik keluar dari tradisi masyarakat, kecuali tradisi yang haram, karena Rasulullah SAW telah membiarkan Ka’bah dan berkata, “Seandainya kaummu tidak baru saja meninggalkan masa jahiliyah… “ Sayyidina Umar berkata: “Seandainya orang-orang tidak akan berkata, Umar menambah al-Qur’an, aku akan menulis ayat rajam didalamnya.”Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan dua raka’at sebelum maghrib karena masyarakat mengingkarinya. Dalam kitab al-Fushul disebutkan tentang dua raka’at sebelum maghrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hanbal pada awalnya melakukannya, namun kemudian meninggalkannya, dan beliau berkata, “Aku melihat orang-orang tidak mengetahuinya.”Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan melakukan qadha’ shalat di mushalla pada waktu dilaksanakan shalat id (hari raya). Beliau berkata, “Saya khawatir orang-orang yang melihatnya akan ikut-ikutan melakukannya.” (Al-Imam Ibn Muflih al-Hanbali, al-Adab al-Syar’iyyah,juz 2, hal. 47).
2.3 Macam-macam Tradisi  dan dalilnya
a.      Tradisi Ngapati, Mitoni dan Tingkepan
Ngapati atau Ngupati adalah upacara selametan ketika kehamilan menginjak pada usia 4 bulan. Sedangkan Mitoni atau Tingkepan adalah upacara selametan ketika kandungan berusia 7 bulan. Upacara selametan tersebut dilakukan dengan tujuan agar janin yang ada dalam kandungan nantinya lahir dalam keadaan sehat wal afiyat serta menjadi anak yang salih.
Al-Qur’an al-Karim menganjurkan kita agar selalu mendoakan anak cucu kita, kendatipun mereka belum lahir. Dalam al-Qur’an dikisahkan tentang Nabi Ibrahim a.s yang mendoakan anak cucunya yang masih belum lahir
رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ.
“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di Antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau.”(QS. Al-Baqarah:128).
Di sisi lain, Nabi SWT juga mendoakan janin sebagian sahabat beliau.
“Anas bin Malik  AS berkata:  “Abu Thalhah memiliki seorang anak laki-laki yang sedang sakit. Kemudian ia pergi meninggalkan keluarganya. Kemudian anak kecil itu meninggal dunia. Setelah AbuThalhah pulang, beliau bertanya kepada isterinya, Ummu Sulaim, “Bagaimana keadaan anak kita?” Ummu Sulaim menjawab, “Dia sekarang dalam kondisi tenang sekali.” Kemudian Ummu Sulaim menyiapkan makan malam, sehingga Abu Thalhah pun makan malam. Selain makan malam, keduanya melakukan hubungan layaknya suami isteri. Setelah selesai, Ummu Sulaim menyuruh orang-orang agar mengubur anak laki-lakinya itu. Pagi harinya, Abu Thalhah mendatangi Rasulullah saw dan menceritakan kejadian malam harinya. Nabi sabertanya, “Tadi malam kalian tidur bersama?” Abu Thalhah menjawab, “Ya.” Lalu Nabi saw berdoa, “Ya Allah, berkahilah keduanya.” Lalu Ummu Suliam melahirkan anak laki-laki.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Selain itu, para ulama menganjurkan agar kita selalu bersedekah ketika mempunyai hajat yang kita inginkan tercapai. Dalam hal ini al-Imam al-Hafizh al-Nawawi, seorang ulama ahli hadits dan fikih madzhab al-Syafi’I, berkata:
وَقَال أَصْحَابُنا: يُسْتَحَب اْلإِكْثَار مِن الصَّدَقَة عِنْداْلأُمُوْر الْمُهِمَّةَ(المجموع شرح المهذب233\6)
“Para ulama kami berkata,’Disunnahkan memperbanyak sedekah ketika menghadapi urusan-urusan yang penting.”(al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab,juz 6, hal. 233)
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa upacara selametan pada masa-masa kehamilan seperti ngapati ketika kandungan berusia 4 bulan atau tingkepan ketika kandungan berusi 7 bulan, tidak dilarang oleh agama, dan substansinya dianjurkan dan pernah dilakukan oleh keluarga al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali, madzhab resmi kaum Wahabi di Saudi Arabia.
b.      Mengiringi Jenazah dengan Bacaan Tahlil
Mengiringi jenazah dengan bacaan tahlil adalah boleh, bahkan ada riwayat yang menyebutkan bahwa hal tersebut dilakukan oleh Rasulullah saw. berdasarkan hadits berikut ini:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: لَمْ يَكُنْ يُسْمَعُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ يَمْشِي خَلْفَ الْجِنَازَةِ، إلَّا قَوْلُ: لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، مُبْدِيًا، وَرَاجِعًا[1]
Ibn Umar berkata, “Tidak pernah terdengar dari Rasulullah saw. ketika mengantarkan jenazah kecuali ucapan La Ilaaha Illallaah, pada waktu berangkat dan pulangnya.”
c.       Hukum Melakukan Talqin Mayit
Ada dua jenis talqin yang dianjurkan dalam Islam, yaitu talqin saat sakaratul maut dan talqin saat pemakaman jenazah. Penjelasan dan dalil masing-masing jenis talqin tersebut adalah sebagai berikut.
     1.         Talqin saat sakaratul maut
Yakni mentalqin orang yang akan meninggal dunia sebelum nafasnya sampai di tenggorokan, dan hal itu disunnahkan. Berdasarkan hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim dan lainnya:
“Dari Abi Sa’id al-Khudri, Rasulullah saw. bersabda, “Talqinkanlah orang yang akan mati diantara kamu dengan ucapan La ‘Ilaaha Illallah.” (HR. Muslim [1523]) 
2.      Talqin saat pemakaman jenazah
Imam al-Nawawi dalam al-Aldzkar menjelaskan bahwa membaca talqin untuk mayit setelah dimakamkan adalah perbuatan sunnah. Didasarkan pada sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Abi Umamah:
“Dari Abi Umamah r.a. beliau berkata,”Jika aku kelak telah meninggal dunia, maka perlakukanlah aku sebagaimana Rasulullah saw. memperlakukan orang-orang yang wafat diantara kita. Rasulullah saw. memerintahkan kita, seraya bersabda, “Ketika diantara kamu ada yang meninggal dunia, lalu kamu meratakan tanah di atas kuburannya, maka hendaklah salah satu diantara kamu berdiri pada bagian kepala kuburan itu seraya berkata, “Wahai Fulan bin Fulanah”. Orang yang berada dalam kubur pasti mendengar apa yang kamu ucapkan, namun mereka tidak dapat menjawabnya. Kemudian (orang yang berdiri di kuburan) berkata lagi, “Wahai Fulan bin Fulanah”, ketika itu juga si mayyit bangkit dan duduk dalam kuburannya. Orang yang berada di atas kuburan itu berucap lagi, “Wahai Fulan bin Fulanah”, maka si mayyit berucap, “Berilah kami petunjuk, dan semoga Allah akan selalu memberi rahmat kepadamu. Namun kamu tidak merasakan (apa yang aku rasakan di sini).” (Karena itu) hendaklah orang yang berdiri di atas kuburan itu berkata,”Ingatlah sewaktu engkau keluar ke alam dunia, engkau telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah hamba serta Rasul Allah. (Kamu juga telah bersaksi) bahwa engkau akan selalu ridha menjadikan Allah sebagai Tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai Nabimu, dan al-Qur’an sebagai imam (penuntun jalan)mu. (Setelah dibacakan talqin ini) malaikat Munkar dan Nakir saling berpegangan tangan sambil berkata, “Marilah kita kembali, apa gunanya kita duduk (untuk bertanya) di muka orang yang dibacakan talqin”. Abu Umamah kemudian berkata, “Setelah itu ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kita tidak mengenal ibunya?” Rasulullah menjawab, “(Kalau seperti itu) dinisbatkan saja kepada ibu Hawa, “Wahai Fulan bin Hawa.” (HR. al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [7979], Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab juga mengutip hadits tersebut dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Mawt hal. 9 tanpa ada komentar).
Mayoritas ulama mengatakan bahwa hadits tentang talqin ini termasuk hadits dha’if, karena ada seorang perawinya yang tidak cukup syarat untuk meriwayatkan hadits. Namun dalam rangka fadha’il al-a’mal, hadits ini dapat digunakan.
Kaitannya dengan firman Allah SWT :
وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ (٢٢)
“Dan engkau  (wahai Muhammad) sekali-kali tiada sanggup menjadkan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (QS. Fathir:22).
Yang dimaksud dengan kata man fi al-qubur (orang yang berada di dalam kubur) dalam ayat ini ialah orang-orang kafir yang diserupakan orang mati karena sama-sama tidak menerima dakwah. Kata mati tersebut adalah metaforis (bentuk majaz) dari hati mereka yang mati. (Tafsir al-Khazin, juz V, hal. 347).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa orang yang beriman itu di dalam kubur bisa mendengar suara orang yang membimbing talqin tersebut dengan kekuasaan Allah SWT. Hal ini dapat diperkokoh dengan kebiasaan Rasulullah SAW apabila berziarah kekuburan selalu mengucapkan salam. Seandainya ahli kubur tidak mendengar salam Rasulullah SAW, tentu Rasulullah SAW tidak melakukan sesuatu yang sia-sia, dan itu tidak mungkin.
Hadits tentang kesunnahan mentalqin mayyit juga dikutip oleh Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani dalam Majmu’ al-Fatawa dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut. Hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam  imam al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan al-Imam Ibn Mandah tersebut adalah:
“Al-Thabarani telah meriwayatkan dalam al-Mu’jam al-Kabir dan Ibn Mandah, dari Abu Umamah dari Rasulullah SAW, Bersabda: “Apabila salah seorang saudara kamu meninggal dunia, lalu kalian meratakan tanah diatas makamnya, maka hendaklah salah seorang kamu berdiri di bagian kepalanya,dan katakanlah, “Wahai fulan bin fulanah”, maka sesungguhnya ia mendengar dan menjawab panggilan itu. Kemudian katakana, “Wahai fulan bin fulanah”, maka ia kan duduk dengan sempurna. Kemudian katakana, “Wahai fulan bin fulanah”, maka sesungguhnya ia berkata , “Berilah kami petunjuk, semoga Allah mengasihimu”, tetapi kalian tidak menyadarinya. Lalu katakanlah, “Ingatlah janji yang kamu pegang ketika keluar dari dunia, yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, bahwa Muhammad utusan Allah, bahwa kamu rela menerima Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi dan al-Qur’an sebagai pemimpin.” Maka pada saat itu, Malaikat Munkar dan Nakir akan saling berpegangan tangan dan berkata, “Mari kita pergi. Kita tidak duduk di samping orang yang telah dituntun jawabannya. “Nantinya Allah yang akan memberikan jawaban terhadap kedua Malaikat itu.” Seorang laki-laki berkata bertanya “Wahai Rasulullah, jika ibu mayit itu tidak diketahui?” Beliau menjawab, “Nisbatkan kepada Hawwa, “Wahai Fulan bin Hawwa.”
d.      Hukum Selamatan 7 Hari Kematian
Di kalangan masyarakat kita da tradisi, ketika ada orang meninggal, maka pihak keluarga mengadakan selamatan selama 7 hari, yang dihadiri para tetangga , kerabat dan handai taulan dengan ritual bacaan yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang meninggal itu. Selamatan tersebut dilakukan pula pada ke-40, 100, dan 1000 harinya. Lalu diadakan setiap tahunnya yang diistilahkan dengan haul. berkaitan dengan tradisi selamatan selama 7 hari, ada atsar  (riwayat) dari ulama salaf berikut ini :
عَنْ سُفْيَانَ قَالَ طَاوُوْسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُّطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْاَيَّام
. (رواه الإمام أحمد في كتاب الزهد, الحاوي للفتاوى, 2/178)
“Dari Sufyan, berkata, “Imam Thawus berkata, “Sesungguhnya orang yang meninggal akan diuji di dalam kubur selam tujuh hari, oleh karena itu mereka (kaum salaf) mengajurkan bersedekah makanan untuk keluarga yang meninggal selama tujuh hari tersebut.”
Syaikh Nawawi al-Bantani seorang ulama mutaakhkhirin, menjelaskan penentuan sedekah melalui tradisi tahlil pada hari-hari tertentu itu merupakan kebiasaan masyarakat (al-‘adah). Difatwakan oleh Sayyid Ahmad Dahlan. “Sungguh telah berlaku di masyarakat adanya kebiasaan bersedekah untuk mayyit pada hari ke tiga dari kematian, hari ke tujuh, dua puluh dan ketika genap empat puluh hari serta seratus hari. Setelah itu dilakukan setiap tahun pada hari kematiannya. Sebagaimana disampaikan oleh Syaikh kita Yusuf al-Sunbulawini.”
Bahkan, menyikapi atsar Imam Thawus yang diriwayatkan dari Sufyan tersebut daiatas, Imam Ahmad bin Hanbal r.a, dalam kitab al-Zuhd menyatakan bahwa bersedekah selama tujuh hari itu adalah perbuatan sunnah. Lebih lanjut, Imam al-Suyuthi menilai hal tersebut merupakan perbuatan sunnah yang telah dilakukan secara turun temurun sejak masa sahabat.
“Kesunnahan memberikan sedekan makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman Imam al-Suyuthi, abad X Hijriyah) di Mekkah dan Madinah, Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi SAW sampai sekarang saat ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (masa sahabat SAW).
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kebiasaan masyarakat tentang penentuan hari dalam tahlilan itu dapat dibenarkan.
e.       Jamuan Makan Kepada Para Penta’ziyah
Dalam masyarakat kita da tradisi, ketika ada orang meninggal, maka pihak keluarga menyiapkan hidangan makanan yang disuguhkan kepada para penta’ziyah. Tradisi ini sesuai dengan atsar dari ulama salaf di atas. Selain itu, juga sesuai dengan hadits mauquf dari Sayyidina Umar r.a berikut ini :
“Al-Ahnaf bin Qais berkata, “Aku pernah mendengar Umar r.a berkata: “Apabila seseorang dari suku Quraisy memasuki satu pintu, pasti orang lain akan mengikutinya.” Aku tidak mengerti perkataan ini, sampai akhirnya Umar r.a ditikam, lalu beliau berwasiat agar Shuhaibyang menjadi Imam shalat selama tiga hari dan agar menyuguhkan makanan pada orang-orang yang ta’ziyah. Setelah orang-orang pulang dari mengantarkan jenazah (Umar r.a, ternyata hidangan makanan telah disiapkan, tetapi mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang tengah menyelimuti mereka.
Sealain itu, bolehnya menyuguhkan makanan kepada orang yang bertakziah, didasarkan pada hadits:
“Dari Abdullah bin Amr r.a, “Ada seseorang yang bertanya pada Nabi SAW, “Perbuatan apakah yang paling baik?” Rasulullah SAW menjawab, “Menyuguhkan makanan dan mengucapkan salam, baik kepada orang yang kamu kenal atau tidak.” (HR. al-Bukhari [11]).
Lebih jelas lagi, menyuguhkan makanan kepada orang yang bertakziyah itu dijelaskan dalam hadits Nabi SAW berikut ini:
“Diriwayatkan oleh Ashim bin Khulayd dari ayahnya dari salah seorang sahabat Anshar, ia berkata, “Saya pernah bersama Rasulullah SAW pulang, beliau diundang oleh seorang perempuan (istri yang meninggal). Rasulullah SAW memenuhi undangannya, dan saya ikut bersama beliau,. Ketika beliau datang, lalu makananpun dihidangkan. Rasulullah SAW mulai makan dan diikuti oleh para undangan. Pada saat beliau akan mengunyah makanan tersebut, beliau bersabda, “Aku merasa daging kambing ini diambil dengan tanpa izin pemiliknya”. Kemudian perempuan tersebut bergegas menemui Rasulullah SAW sembari berkata, “Wahai Rasulullah SAW saya sudah menyuruh orang pergi ke Baqi”, (suatu tempat penjualan kambing), untuk membeli kambing, namun tidak mendapatkannya. Kemudian saya menyuruhnya menemui tetangga saya yang telah membeli kambing, agar kambing itu dijual kepada saya dengan harga yang umum, akan tetapi ia tidak ada. Maka saya menyuruh menemui isterinya dan ia pun mengirimkambingnya pada saya. Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Berikan makanan ini pada para tawanan.”
Berdasarkan hadits inilah, Syaikh Ibrahim al-Halabi berkata. “Hadits ini menunjukkan kebolehan keluarga mayit membuat makanan dan mengundang orang untuk makan. Jika makanan itu disuguhkan kepada fakir miskin, hal itu baik. Kecuali jika salah satu ahli warisnya ada yang masih kecil, maka tidak boleh diambilkan dari harta waris si mayit.”
Mengenai keputusan Rasulullah SAW memberikan makanan kepada para tawanan itu tidak dapat dijadikan alasan memgharamkan menyuguhkan makanan kepada orang yang berta’ziyah. Rasulullah SAW menyuruh memberikan makanan kepada para tawanan karena orang yang akan dimintai ridhanya atas daging itu belum ditemukan sedangkan makanan itu takut basi. Maka sudah semestinya jika Rasulullah SAW memberikan makanan tersebut kepada para tawanan. Dan isteri mayit pun telah mengganti harga kambing yang disuguhkan tersebut.
f.       Tahlil Fida’ (Tebusan)
Ada tradisi di sebagian masyarakat kita, ketika ada keluarga yang meninggal dunia, maka dibacakan tahlil (la ilaha illallah) sebanyak 70.000 kali dan pahalanya dihadiahkan kepada mayit agar terbebas dari siksa neraka. Hal tersebut diistilahkan dengan tahlil fida’ atau tebusan. Hal demikian itu boleh dilakukan, sebagaiamana ditegaskan oleh Syaikh Ibn Taimiyah, panutan utama kaum wahabi, dalam Majmu’ al-Fatawa-nya berikut ini:
وَسُئِلَ: عَمَّنْ "هَلَّلَ سَبْعِيْنَ أَلْفَ مَرَّةٍ وَأَهْدَاهُ لِلْمَيِّتِ يَكُوْنُ بَرَاءَةً لِلْمَيِّتِ مِنَ النَّارِ" حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ؟ أَمْ لاَ؟ وَاِذَا هَلَّلَ الْانْسَانُ وَاَهْدَاهُ إِلَى الْمَيِّتِ يَصِلُ إِلَيْهِ ثَوَابُهُ اَمْ لَا؟ فَأَجَابَ: إِذَا هَلَّلَ الْاِنْسَانُ هَكَذَا: سَبْعُوْنَ اَلْفًا اَوْ اَقَلَّ اَوْ اَكْثَرَ. وَاُهْدِيَتْ اِلَيْهِ نَفَعَهُ اللهُ بِذَلِكَ وَلَيْسَ هَذَا حَدِيْثًا صَحِيْحًا وَلَا ضَعِيْفًا. وَاللهُ أَعْلَمُ. (مجموع فتاوى ابن تيمية, 24/323).
“Syaikh Ibn Taimiyah ditanya, tentang orang yang membaca tahlil 70.000 kali dan dihadiahkan kepada mayit, agar menjadi tebusan baginya dari neraka, apakah hal itu hadits shahih atau tidak? Dan apabila seseorang membaca tahlil lalu dihadiahkan kepada mayit, apakah pahalanya sampai atau tidak?” Beliau menjawab, “Apabila seseorang membaca tahlil sekian, 70.000 atau kurang, dan atau lebih, lalu dihadiahkan kepada mayit, maka hadiah tersebut bermanfaat baginya, dan ini bukan hadits shahih dan bukan hadits dha’if. Wallahu a’lam.”
g.      Membaca Al-Qur’an di Kuburan
Menjelang bulan suci Ramadhan maupun menjelang lebaran ada tradisi yang dilakukan kaum Muslimin, yaitu ziarah kubur. Baik berziarah ke makan para wali atau tokoh terkenal lainnya maupun makam orang tua atau sanak famili yang telah meninggal. Lalu mereka membaca al-Qur’an di sisi makam tersebut. Hal itu diperbolehkan dan baik untuk dilakukan. Membaca al-Qur’an di kuburan merupakan tradisi kaum salaf (sejak generasi sahabat). Al-Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah murid terdekat Ibnu Taimiyah, berkata:
“telah disebutkan dari sekelompok ulama salaf, bahwa mereka berwasiat agar dibacakan al-Qur’an di sisi makam mereka ketika pemakaman. Imam Abdul Haqq berkata, diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa beliau berwasiat agar dibacakan surat al-Baqarah di sisi makamnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Mu’alla bin Abdurrahman. Al-Khallal berkata, “al-Hasan bin Ahmad al-Warraq mengabarkan kepadaku, “Ali bin Musa al-Haddad mengabarkan kepadaku, dan dia seorang yang dipercaya. Ia berkata, “aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah al-Jauhari, ketika mendengar jenazah. Setelah mayit dimakamkan, seorang laki-laki tuna netra membaca al-Qur’an di samping makam itu. Lalu Ahmad berkata kepadanya, “ Hai laki-laki sesungguhnya membaca al-Qur’an di samping makam itu bid’ah.” Setelah kami keluar dari makam, Muhammad bin Qudamah berkata kepada Ahmad bin Hanbal, “wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapat Anda tentang Mubasysyir al-Halabi?” ia menjawab, “dia perawi yang tsiqah (dapat dipercaya).” Muhammad bin Qudamah berkata, “anda menulis riwayat darinya?” Ahmad menjawab, “ya.” Muhammad bin Qudamah berkata, “Mubasysyir mengabarkan kepadaku, dari Abdurrahman bin al-‘Ala’ al-Lajlaj, dari ayahnya, bahwasanya ia berwasiat, apabila ia dimakamkan, agar dibacakan permulaan dan penutup surat al-Baqarah di sebelah kepalanya. Ia berkata, “aku mendengar Ibn Umar berwasiat demikian.” Lalu Ahmad berkata kepada Muhammad bin Qudamah, “kembalilah, dan katakan kepada laki-laki tadi, agar membaca al-Qur’an di samping makam itu.” Al-Hasan bin al-Shabah bin al-Za’farani berkata, “ aku bertanya kepada al-Syafi’I tentang membaca al-Qur’an di samping kuburan, lalu ia menjawab, tidak apa-apa.” Al-Khallal meriwayatkan dari al-Sya’bi yang berkata, “kaum Anshar apabila keluarga mereka ada yang meninggal, maka mereka selalu mendatangi makamnya untuk membacakan al-Qur’an di sampingnya.”
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab juga menyampaikan beberapa riwayat membaca al-Qur’an ketika di makam kaum Muslimin dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut berikut ini:
“Sa’ad al-Zanjani meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah secara Marfu’: “barang siapa mendatangi kuburan lalu membaca surat al-Fatihah, al-Ikhlas, dan al-Takatsur, kemudian mengatakan: “Ya Allah, aku hadiahkan pahala bacaan al-Qur’an ini bagi kaum beriman laki-laki dan perempuan di kuburan ini,” maka mereka akan menjadi penolongnya kepada Allah.” Abdul Aziz –murid al-Imam al-Khallal-, meriwayatkan hadits dengan sanadnya dari Anas bin Malik secara marfu’: “Barangsiapa mendatangani kuburan, lalu membaca surah Yasin, maka Allah akan meringankan siksaan mereka, dan ia akan memperoleh  pahala sebanyak orang-orang yang ada di kuburan itu.”
h.      Dzikir Bersama dan Mengeraskan Suara
Sebuah tradisi yang ada di tengah-tengah masyarakat apabila berdzikir yaitu dilakukan secara bersama-sama dan mengeraskan suara. Baik dzikir setelah shalat maupun dalam acara tahlilan dan lain-lain. Hal tersebut tidak mengurangi pahala dzikir, bahkan dianjurkan dan terus ditradisikan. Dalam kitab al-Ijtima’ala al-Dzikr wa al-Jahr bihi yang telah menyitir sekian banyak ayat al-Qur’an tentang dzikir, al-Imam al-Syaukani berkata:
ini adalah himpunan ayat-ayat al-Qur’an kekita melihat pertanyaan ini. Dalam ayat-ayat tersebut tidak ada pembatasan dzikir dengan cara mengeraskan atau memelankan, meninggikan atau merendahkan suara, bersama-sama atau sendirian. Jadi ayat-ayat tersebut memberi pengertian anjuran dzikir dengan semua cara tersebut.”
Bahkan berkaitan dengan dzikir yang mengeraskan suara setelah shalat fardhu, ada hadis shahih berikut ini:
Dari Abu Ma’bad, bahwa Ibn Abbas r.a mengabarkan kepadanya, bahwa mengeraskan suara dalam berdzikir ketika selesai shalat fardhu berjamaah terjadi pada zaman Nabi S.A.W. Ibn Abbas berkata, “aku mengetahui selesainya shalat fardhu itu, ketika aku mendengar suara keras mereka dalam berdzikir.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Berkaitan dengan dzikir secara berjamaah, ada sekian banyak hadits yang menganjurkannya, antara lain hadits berikut ini:
“Syaddad bin  Aus r.a berkata, “kami bersama Rasulullah SAW tiba-tiba beliau berkata, “apakah di antara  kalian ada orang asing (ahli kitab)?” kami menjawab, “tidak ada wahai Rasulullah.” Lalu beliau memerintahkan agar mengunci pintu dan berkata, “angkatlah tangan kalian, lalu katakan La ilaha illallah!” kami mengangkat tangan beberapa saat, kemudian Rasulullah meletakkan tangannya. Lalu bersabda, “Alhamdulillah. Ya Allah sesungguhnya Engkau mengutusku membawa kalimat tauhid ini, Engkau memerintahkannya kepadaku dan menjanjikanku surga karenanya, sesungguhnya Engkau tidak akan menyalahi janji.” Kemudain beliau bersabda, “bergembiralah, sesungguhnya Allah telah mengampuni kalian.” (HR. Ahmad, al-Hakim, al-Tabarani dan al-Bazzar).
i.        Tradisi Tahlilan
Tahlilan merupakan tradisi yang telah diamalkan secara turun temurun oleh mayoritas umat Islam Indonesia. Meskipun format acaranya tidak diajarkan secara langsung oleh Rasulullah SAW, namun kegiatan tersebut dibolehkan karena tidak ada unsur yang bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya pembacaan surat Yasin, Tahlil, Tahmid, Tasbih, dan semacamnya. Oleh karena itu, pelaksanaan tahlilan secara esensial merupakan perwujudan dari tuntutan Rasulullah SAW.
Imam al-Syaukani mengatakan bahwa setiap perkumpulan yang di dalamnya dilaksanakan kebaikan, misalnya membaca al-Qur’an, dzikir, dan doa itu adalah perbuatan yang dibenarkan meskipun tidak pernah dilaksanakan pada masa Rasulullah SAW. Begitu pula tidak ada larangan untuk meghadiahkan pahala membaca al-Qur’an atau lainnya kepada orang yang telah meninggal. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadits shahih seperti, hadits “Bacalah surat Yasin kepada orang mati di antara kamu.” Tidak ada perbedaan baik dilakukan secara bersama-sama di dekat mayit atau di dekat kuburannya, dan membaca al-Qur’an secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di Masjid atau di rumah.
Kesimpulan al-Syaukani ini memang didukung oleh banyak hadits Nabi SAW. Di antaranya adalah:
عن ابي سعيد الخدري قال ول الله صلّى الله عليه سلّم: لا يقعد قوم يذكرون الله عزوجلّ الاّخفَّتهم الملائكة وغشيتهم الرحمة ونزلت عليهم السكينة وذكرهم الله فيمن عنده (رواه مسلم4868)
“Dari Abi Sa’id al-Khudri, ia berkata, Rasulullah bersabda “Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada Allah, kecuali mereka akan dikelilingi malaikat, dan Allah akan memberikan rahmat-Nya kepada mereka, memberikan ketenangan hati dan memujinya di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya.” (HR. Al-Muslim [4868]).
Imam al-Syafi’i memang pernah menyatakan : “Dan ku tidak senang pada “ma’tam” yakni adanya perkumpulan, karena hal itu akan mendatangkan kesusahan dan menambah beban.”
Perkataaan Imam al-Syafi’i ini sering dijadikan dasar melarang acara tahlilan, karena dianggap sebagai salah satu bentuk ma’tam yang dilarang tersebut. Padahal apa yang dimaksud dengan ma’tam itu tidak sama dengan tahlilan. Ma’tam adalah perkumpulan untuk meratapi mayit yang dapat menambah kesusahan dan kesedihan keluarga yang ditinggalkan.
Ma’tam yang tidak disenangi oleh Imam al-Syafi’i adalah perkumpulan untuk meratapi kepergian mayit, yang mencerminkan kesedihan mendalam karena ditinggal oleh orang yang dicintai. Seolah-olah tidak diterima terhadap apa yang telah diputuskan oleh Allah. Dan itu sama sekali tidak terjadi bagi orang yang melakukan tahlilan yang di dalamnya terdapat dzikir dan doa untuk orang yang meninggal dunia. Sehingga tepat jika tahlilan itu disebut sebagai majlis al-dzikir.
Bagi shahibul mushibah (orang yang terkena musibah), tahlilan itu merupakan pelipur lara dan penghapus duka karena ditinggal mati oleh orang yang mereka sayangi, bukan penambah kesusahan dan derita. Sebagai bukti, semakin banyak orang yang tahlil, maka tuan rumah semakin senang. Justru tuan rumah akan kecewa dan tambah bersedih jika yang datang untuk tahlilan sangat sedikit.
Dari sisi sosial, keberadaan tradisi tahlilan mempunyai manfaat yang sangat besar untuk menjalin ukhuwah antar anggota masyarakat. Dalam sebuah penelitan ilmiah yang dilakukan oleh Zainuddin Fananie MA dan Atiqo Sabardila MA dosen Universitas Muhammadiyyah Surakarta didapat kesimpulan bahwa tahlil merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan keagamaan. Di samping itu tahlil juga merupakan salah satu alat mediasi (perantara) yang paling memenuhi syarat yang bisa dipakai sebagai komunikasi keagamaan dan pemersatu umat serta mendatangkan ketenangan jiwa.
Terkait susunan tahlil, sebagaimana maklum, terdiri darin beberapa ayat Al-Qur’an, tahlil, tasbih, tahmid, shalawat dan lain-lain. Komposisi bacaan tahlilan yang terdiri dari beragam dzikir ini telah berlangsung sejak berabad-abad yang lalu. Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani, ulama panutan utama kaum Wahabi, pernah ditanya tentang ritual seperti tahlilan tersebut, dan beliau membenarkan serta menganjurkannya. Dalam hal ini Ibn Taimiyah berkata :
“Ibn Taimiyah ditanya, tentang seseorang yang memprotes ahli dzikir (berjamaah) dengan berkata kepada mereka, “Dzikir kalian bid’ah, mengeraskan suara yang kalian lakukan juga bid’ah.” Mereka memulai dan menutup dzikirnya dengan al-Qur’an, lalu mendoakan kaum Muslimin yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Mereka mengumpulkan antara tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah (laa haula wa laa quwwata illaa billaah) dan shalawat kepada Nabi”. “Lalu Ibn Taimiyah menjawab : “Berjamaah dalam berdzikir, mendengarkan al-Qur’an dan berdoa adalah amal shaleh, termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu. Dalam Shahih al-Bukhari, Nabi bersabda, “sesungguhnya Allah memiliki banyak Malaikat yang selalu berpergian di muka bumi. Apabila mereka bertemu dengan sekumpulan orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka memanggil, “silahkan sampaikan hajat kalian”, lanjutan hadits tersebut terdapat redaksi, “kami menemukan mereka bertasbih dan bertahmid kepada-Mu” … Adapun memelihara rutinitas aurad (bacaan-bacaan wirid) seperti shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir atau berdoa, setiap pagi dan sore serta pada sebagian waktu malam dan lain-lain, hal ini merupakan tradisi Rasulullah dan hamba-hamba Allah yang salih, zaman dulu dan sekarang”.(Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, Juz 22, hal 520).
Pertanyaan Syaikh Ibn Taimiyah di atas memberikan kesimpulan bahwa dzikir berjamaah dengan komposisi bacaan yang beragam antara ayat al-Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil, shalawat, dan lain-lain seperti yang terdapat dalam tradisi tahlilan adalah amal shaleh dan termasuk qurbahdan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu.
Dalam tradisi tahlilan, tuan rumah biasanya menyuguhkan makanan setelah doa dipanjatkan. Dilihat dari sisi sedekah, bahwa dalam bentuk apapun, hal ini merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan. Memberikan makanan kepada orang lain adalah perbuatan yang sangat terpuji. Sabda Nabi :
“Dari Amr bin Abasah, ia berkata, saya mendatangi Rasulullah kemudian saya bertanya, “Wahai Rasul, apakah Islam itu ?” Rasul menjawab, “ Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan makanan.” (HR. Ahmad [18617]).
Kaitannya dengan sedekah untuk mayit, pada masa Rasulullah, jangankan makanan, kebun pun (harta yang sangat berharga) disediakan dan pahalanya diberikan kepada si mayit. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan :
“Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada manfaatnya jika aku bersedekah untuknya ?” Rasulullah menjawab, “Ya”. Laki-laki itu berkata, “Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan mempersedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku”. (Ibnu al-Qayyim, al-Ruh, hal 142).
Ibnu Qayyim al-Jawziyah dengan tegas mengatakan bahwa sebaik-baiknya amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, istighfar, doa, dan haji. Adapun pahala membaca al-Qur’an secara sukarela dan pahalanya diberikan kepada mayit, juga akan sampai kepada mayit tersebut. Sebagaimana pahala puasa dan haji. (Ibnu al-Qayyim, al-Ruh, hal. 142).
Jika kemudian perbuatan tersebut dikaitkan dengan usaha untuk memberikan penghormatan kepada para tamu, maka itu merupakan perbuatan yang dianjurkan dalam Islam. Sabda Rasulullah :
“Dari Abi Hurairah, ia berkata, “Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata dengan kebaikan atau (jika tidak bisa), diam.” (HR. Muslim [5559]).
Seorang tamu yang keperluannya hanya urusan bisnis atau sekedar ngobrol dan main catur harus diterima dan dijamu dengan baik, apabila tamu yang datang untuk mendoakan keluarga kita di akhirat, sudah seharusnya lebih dihormati dan diperhatikan.
Hanya saja, kemampuan ekonomi harus tetap menjadi pertimbangan utama. Tidak boleh memaksakan diri untuk melakukan acara tahlilan dengan berhutang ke sana sini atau sampai mengambil harta anak yatim dan ahli waris yang lain. Hal tersebut jelas tidak dibenarkan. Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya perjamuan itu diadakan ala kadarnya.
Lain halnya jika memiliki kemampuan ekonomi yang sangat memungkinkan. Selama tidak israf (berlebih-lebihan dan menghamburkan harta) atau sekedar menjaga gengsi, suguhan istimewa yang dihidangkan, dapat diperkenankan sebagai suatau bentuk penghormatan serta kecintaan kepada keluarga yang telah meninggal dunia.
Dan yang tak klaah pentingnya masyarakat yang melakukan tahlilan hendaknya menata niat di dalam hati bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata karena Allah. Dan jika ada bagian dari ucapan tahlil itu yang menyimpang dari ketentuan syara’ maka tugas para ulama untuk meluruskannya dengan penuh bijaksana.


BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan
Tradisi ngapati, mitoni dan tingkepan, mengiringi jenazah dengan bacaan tahlil, hukum melakukan talqin mayyit, hukum selametan 7 hari kematian, jamuan makan kepada para penta’ziyah, tahlil fida’ (tebusan), membaca al-qur’an di kuburan, dzikir bersama dan mengeraskan suara, dan tradisi tahlilan merupakan ciri khas dari Ahlussunnah Wal Jama’ah yang tidak bertentangan dengan syariat Islam karena dapat dibuktikan dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits.
           
3.2 Saran
Melalui makalah ini diharapkan pembaca dapat memahami dasar hukum tradisi kaum NU yang berada di tengah-tengah masyarakat sehingga dapat membantah berbagai argumen dari golongan-golongan tertentu yang menyatakan bahwa tradisi-tradisi yang dilakukan kaum NU adalah Bid’ah. Serta diharapkan pembaca dapat melestarikan tradisi-tradisi tersebut.



DAFTAR PUSTAKA
(Buku Risalah Ahlussunnah Wal-Jama'ah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar