Selasa, 12 Juli 2016

PERJALANAN ASWAJA KE NUSANTARA

PERJALANAN ASWAJA KE NUSANTARA
Pengampu : Bapak Nur Rohman

 
Disusun oleh :
1.     NILA KRISTANTI                         (151120001623)
2.     SISKA NOFITA HARDIYATI       (151120001629)
3.     TRI HANDAYANI                          (151120001677)
Prodi Akuntansi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara
Jln.Taman Siswa (pekeng) Tahunan Jepara Telp.(0291)595477
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam pemahaman masuknya Aswaja ke Nusantara ini.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh karena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Jepara,27 Maret 2016
Penyusun


 

BAB I
PENDAHULUAN
Wali Songo adalah ulama yang sangat berjasa dalam penyebaran agama Islam di Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Siapapun tahu bahwa mereka adalah ulama-ulama penganut faham Ahlussunnah wal Jama'ah yang telah berhasil menanamkan  ajaran Islam mengikuti faham Ahlussunnah wal Jama'ah dalam dada masyarakat muslim Indonesia.
Fakta bahwa mayoritas umat Islam Indonesia sejak dulu hingga sekarang menganut faham Ahlussunnah wal Jama'ah, dengan mengikuti madzhab Syafi’i dalam bidang fiqh.  Sudah tentu mereka mendapatkan faham tersebut dari ulama dan para da'i yang mengajak dan mengajarkan tentang agama Islam kepada mereka. Sesuatu yang sangat mustahil jika orang yang menyebarkannya tidak menganut faham Aswaja sementara yang diajak adalah penganut setia faham Ahlussunnah wal Jama'ah.
Di sisi lain semua sepakat bahwa da'i yang menyebarkan agama Islam ke Nusantara khususnya di pulau Jawa adalah wali songo. Karena itu dapat dikatakan bahwa wali songo adalah penganut Aswaja, kecuali jika ada fakta sejarah yang menunjukkan bahwa ajaran Aswaja masuk ke Indonesia dan mengubah faham keagamaan yang telah berkembang terlebih dahulu. Tetapi kenyataannya, tidak ada data sejarah yang menjelaskan hal tersebut."Kata Sunan adalah sebutan mulia yang diperuntukkan bagi para raja dan para tokoh da'i Islam di Jawa. Dan akan dijelaskan nasab mereka hingga bersambung sampai ke Imam al-Muhajir. Dan sungguh telah kami fahami dari apa yang mereka ajarkan, bahwa mereka semua adalah ulama pengikut madzhab Syafi'i dan sunni dasar dan aqidah keagamaannya. Mereka kemudian lebih terkenal dengan sebutan "wali songo." (Al-Imam al-Muhajir,174).
Materi yang akan kami bahas dalam makalah ini yaitu:
1.Momen-momen berasejarah dalam penyebaran Islam
2.Penyebaran Islam Masa Pra-Walisongo
3.Penyebaran Islam Masa Walisongo
 4.Penyebaran Islam Masa Pasca Walisongo


BAB II
PEMBAHASAN
                
A.  Momen-momen bersejarah dalam penyebaran Islam
   Ada kesinambungan antara alur geosospol dengan sejarah Islam di Nusantara. Memang banyak perdebatan tentanga waktu kedatangan Islam di Indonesia ada yang berpendapat abad ke-18 dan ke-13 M. Namun yang pasti tonggak kehadiran Islam di Indonesia sangat tergantung kepada dua hal yaitu pertama kesultanan pasai di Aceh yang terdiri sekitar abad ke 13 dan kedua walisongo di Jawa yang mulai hadir pada akhir abad ke 15 bersamaan dengan runtuhnya Majapahit. Namun dalam perkembangan Islam selanjutnya yang lebih berpengaruh adalah walisanga yang Dakwah Islamnya tidak hanya terbatas di wilayah Jawa saja tetapi menggurita di seluruh pelosok Nusantara yang penting untuk dicatat pula semua sejarawan sepakat bahwa Walisangalah yang dengan cukup brilian mengkonteskan Aswaja dengan kebudayaan masyarakat Indonesia, sehingga lahirlah Aswaja yang khas Indonesia yang sampai hari ini menjadi basis bagi golongan tradisionalis.
              
No
Periode
Momensejarah
1
Islam awal prawalisanga
Masyarakat muslim bercorak maritim pedagang berbasis di wilayah pesisir.
Mendapat hak istemewa dari kerajaan Hindu yang pengaruhnya semakin kecil.
Fleksibelitas politik.
Dakwah dilancarkan kepada para elit penguasa setempat.
2
Walisanga
Konsolidasi kekuatan pedagang muslim membentuk konsorsium bersama membidangi berdirinya kerajaan Demak dengan egalitarianisme Aswaja sebagai dasar Negara.
Sistem kasta secara bertahap dihapus.
Islamisasi dengan media kebudayaan.
Tercipta asimilasi dan pembauran Islam dengan kebudayaan lokal bercorak Hindu Budha.
Usaha mengusir Portugis gagal.
3
Pasca-walisanga-kolonialisme
Penyatuan Jawa oleh Trenggana menyebabkan dikuasainya jalur laut Nusantara oleh Portugis, kekuatan Islam masuk ke pedalaman.
Kerajaan Mataram melahirkan corak baru Islam Nusantara yang bersifat agraris sinkkretik.
Mulai terbentuknya struktur masyarakat feodal yang berkelindan dengan struktur kolonial mengembalikan struktur kasta dengan gaya baru.
Kekuatan tradisionalister pecah belah akibat banyaknya pesantren yang menjadi miniatur kerajaan feodal.
Kekuatan orisinil Aswaja hadir dalam bentuk perlawanan agama rakyat dan perjuangan menentang penjajahan.
Arus pembaruan Islam muncul di Minangkabau melalui perang Padri.
Politiketis melahirkan kalangan terpelajar pribumi, ide nasionalisme mengemuka.
Kekuatan islam mulai terkonsolidir dalam serikat islam (SI).
Muhammadiyah berdiri sebagai basis muslim modernis.

B.Masa Pra-Walisongo
1.Zaman Abu Mansur Al Maturidy
            Nama lengkap beliau Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al samarqandi Al Maturidi Al Hanafi.Beliau lahir di Maturid sebuah kota kecil di Samarkand.Nama Almaturidi nisbatkan dari dari tempat kelahirannya Maturid. Maturid adalah sebuah kota kecil di wilayah Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Usbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abadke-3 Hijriyah. Gurunya dalam bidang Fiqih dan teologi adalah Nasyr bin Yahya Al Balakhi. Al Maturidi hidup pada masa khalifah Al Mutawakil yang memerintah tahun 232 – 274/847 – 861 M. Al Maturidi Wafat tahun 333 H, 9 tahun setelah Wafatnya Imam Asy’ari.
Karir pendidikan Al Maturidi lebih dikosentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada Fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pemahaman terhadap teologi yang banyak berkembang di masyarakat pasa saat itu. Teologi-teologi yang berkembang pada saat itu lebih banyak yang tidak sesuai dengan kaidah yang benar sesuai dengan akal dan syara’.
Al Maturidy mendasarkan fikiran-fikirannya dalam soal-soal kepercayaan kepada fikiran-fikiran imam abu hanifah yang tercantum dalam kitabnya “al fiqh al akbar” dan “al fiqh al absat”. Pengikut Maturidi juga adalah orang-orang hanafiah. Sebagai pengikut Abu hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaannya, Al Maturidi banyak pula memakai akal dalam system teologinya.
Pemikiran-pemikiran Al Maturidi banyak dituangkan dalam bentuk tulisan, diantaranya ialah Kitab Tauhid, Ta’wil Al Quran, Makhaz Asy-Syara’I, Al Jadl, Al Ushul fi Ushul ad Din, Maqalat fi Al Ahkam Radd Awa’il Al Abdillah li Al Ka’bi, Radd Al Ushul Al Khamisah li Abu Muhammad Al Bahili, Radd Al Imamah li Al Ba’ad Ar Rawafid, dan Kitab Radd ‘ala Al qaramatah. Selain itu ada pula karangan-karangan yang diduga ditulis oleh Al Maturidi, yaituRisalah fi Al ‘Aqaid dan Syarh Fiqh Al Akbar.
Ø  Sejarah lahirnya aliran maturidiyyah
Al-Maturidiyah merupakan salah satu aliran sunni yang dinisbatkan kepada penggagasnya bernama Muhammad bin Muhammad bin Mahmud, yang dikenal dikalangan masyarakat dengan nama Abu Mansur Al Maturidy. Belum ada catatan yang dapat menunjukkan dengan pasti kapan tokoh ini lahir, tapi para ulama banyak yang berpendapat bahwa beliau lahir pada pertengana abad ke tiga di daerah samarkand dan wafat pada tahun 333 H.. Abu mansur merupakan salah seorang ulama yang mempelajari Usulul Fiqh hanafi. Pada masa itu terjadi pergolakan pemikiran khususnya seputar fiqh wa usuluhu khususnya antara Hanafiyah dan Syafi’iyah. Di saat badai perdebatan terjadi di antara para fuqaha dan muhadditsin, serta ulama-ulama mu’tazilah baik dalam bidang ilmu kalam ataupun fiqh dan usulnya pada kondisi itulah Abu Mansur Al Maturidy hidup. Beliau dikenal sebagai ulama yang beraliran madzhab Hanafi. Sebagaina disebutkan oleh kalangan ulama hanafiah, bahwa Abu Mansur memiliki arus pemikiran teologi yang sama persis dengan Abu Hanifah.
Abu Mansur Al-Maturidy yang terkenal dengan julukan Imâm Al Huda. Pernyataan ini membuktikan begitu besar pengaruh beliau dalam masyarakat yang heterogen dengn segudang pendapat dan aliran dalam beragama. Untuk memperkokoh kedudukannya dibidang teologi beliau banyak menulis,diatanranya adalah Kitab Ta’wil Al- Qur’an, Kitab Ma’khud As Syarâ’I, Kitab Al Jidal, Kitab Al Ushul fi Usul Ad Din, Kitab Al Maqâlât fi Al Kalâm, Kitab At Tauhîd dan masih banyak lagi kitab yang lainnya.
Latar belakang lahirnya aliran ini, hampir sama dengan aliran Al-Asy’ariyah, yaitu sebagai reaksi penolakan terhadap ajaran dari aliran Mu’tazilah, walaupun sebenarnya pandangan keagamaan yang dianutnya hampir sama dengan pandangan Mu’tazilah yaitu lebih menonjolkan akal dalam sistem teologinya.
Pemahaman teologi yang muncul pada saat itu membuat Al Maturidi lebih mendalami teologi. Apalagi pada ajaran-ajaran dari aliran Mu’tazilah yang menurutnya mulai nampak keburukan-keburkannya dan tidak sesuai dengan jalan pemikirannya, kendatipun demikian Al Maturidi juga masih mengikuti ajaran mu’tazilah meskipun tidak utuh.
Sejarah menunjukkan peranan dan pengaruh mu’tazilah mulai menurun setelah khalifah Mutawakil membatalkan aliran mu’tazilah sebagai mazhab negara. Posisi mu’tazilah dimusuhi penguasa dan mayoritas umat. Sehingga lahirlah teolog yang diterima oleh masyarakat banyak yang berpegang pada Al Quran dan hadits dan kaum mayoritas. Inilah yang dimaksud dengan ahlusunnah wal jama’ah.
Ø  Pokok-pokok pemikiran Imam Al Maturidi
Abu Mansur Al Maturidy hidup sejaman dengan Abu Hasan Al- Asy Arie, keduanya sama-sama berupaya menegaggak panji Ah Lussunnah Wal jamaah ditengah kabutn pertikaian ideologi antar sekte dan aliran Islam. Meskipun pada saat itu derah abu Mansur tidak sepanas Basrah dalam pergolakan pemikiran antar sekte, akan tetapi di Samarkand juga ada berberapa ulama yang berkiblat pada Muktazilah di Irak, merekalah yang menuai hantaman pemikiran dari al Maturidi.
Perbedaan antara pemikiran Al- Asy Arie dengan Al Maturidy akan tetapi perbedaan itu sangat sedikit sekali, bahkan dapat dikatakan bahwa antara Al Asyarie dan Al Maturidy nyaris meiliki kesamaan kalau tidak bisa di sebut sama. Bahkan Muhammad Abduh mengatakan bahwa perbedaan antara Al Maturidiyah dan Al Asyariyah tidak lebih dari sepuluh permasalahan dan perbedaan di dalamnya pun hanyalah perbedaan kata-kata (al  Khilâf Al Lafdziyu). Akan tetapi ketika kita mengkaji lebih dalam aliran asy- Ariyah dan Maturidiyah maka perbedaan-berdeakan tersebut semakin terlihat wujudnya. Tak dapat dipungkiri bahwa keduanya berupaya menentukan akidah berdasarkan ayat-ayat tuhan yang terangkum dalam al- Qur’an secara rasional dan logis. Keduanya memberikan porsi besar pada akal dalam menginterpretasikan al- Qur’an dibandingkan yang lainnya. Menurut Al-Asyariyah untuk mengetahui Allah wajib dengan syar’i sedangkan Maturidiyah sependapat dengan Abu Hanifah bahwa akal berperan penting dalam konteks tersebut. Hal itu merupakan salah satu contoh perbedaan keduanya.
Metodologi yang diterapkan Maturidiyah meletakkan akal dengan porsi besar, sedangkan asyariyah lebih berpegang pada naql, sehingga para pengkaji mengklaim bahwa Asyariyah berada pada titik antara Muktazilah dan Ahlul Fiqh wal Hadist, adapun Maturidiah barada pada posisi antara Muktazilah dan Al Asyariyah. Maka dengan demikian ada sekte Muktazilah, Ahlul Hadist, kemudian Muktazilah Maturidiyah dan Al Muhadtsun Al Asyairah.
Sekte Maturidiyah berpegang pada akal berdasarkan petunjuk dari syariat, berbeda dengan Ahlul Fiqh dan Hadist yang berpegang teguh pada naql tidak yang lain, khawatir terjadi kesalahan pada pandangan akal sehingga dapat menyesatkan. Pendapat Ahlul Hadist ini hantam dengan hujjah dalam kitab tauhid bahwa ini merupkan gaungguan syaithan. Urgensi analisa tidak bisa diganggu gugat, bagaimana mungkin mengingkari akal yang berfungsi untuk menganalisa, sedangkan Allah menyeru hambanya untuk selalu berfikir, bertafakkur dalam melihat dan menganalisa seluruh apa yng terjadi di alam ini, maka ini adalah bukti konkret bahwa berfikir dan bertafakkur adalah sumber ilmu. Merkipun demikian maturidiah mengambil hukum berdasarkan akal yang tidak bertentangan dengan syariat, jikalau terjadi pertentangan antar keduanya maka yang diambil adalah hukum syariat. Jelas meskipun akal dijadikan landasan berpikir dalam menentukan hukum akan tetapi semua itu harus bermuara dari nash.
Al Maturidiyah berpendapat bahwa segala sesuatu pasti memiliki value, maka akal tentu dapat membedaan mana nilai yang baik (good value) atau buruk (bad value) dari sesuatu itu. Menurut mereka materi itu ada tiga. Pertama, yang mengandung nilai baik (good value), kedua, mengandung nilai buruk (bad value) dan yang ketiga, mengandung nilai baik maupun buruk, adapun syariat menjadi penentu utama dalam menentukan bad value atau good value itu. Pendapat ini seirama dengan Muktazilah, hanya saja muktazilah condong lebih tegas, mereka menyatakan bahwa good value yang diketahui oleh akan menjadi suatu kewajiban yang harus dilakukan begitupun dengan bad value yang diakui akal harus ditinggalkan. Jadi yang paling menentukan di sini menurut Muktazilah adalah akal. Sedangkan Maturiyah sedikit “malu” berpendapat sejelas Muktazilah, murut mereka jika akal mengetahui bahwa sesuatu itu adalah benar salah maka yang menentukan hal itu harus dilakukan atau tidak adalah syariat bukan akal, karena akal tidakbisa menentukan syariat agama, yang menentuka syariat agama hanyalah Allah yang Maha Tahu. Pendapat maturidiah ini tentu bersebrangan dengan keyakinan Asy Ariayah, menurut mereka kebenaran itu dengan syariat berupa perintah dan keburukan itu dengan syariat berupa larangan. Kebaikan adalah suatu kebaikan karena Allah memerintah untuk melakukannya dan keburukan tetaplah menjadi keburukan karena allah melarang untuk melakukannya. Dengan demikian maka pendapat Maturidiah menengahi pendapat Muktazilah dan Al Asyariyah.
2.Zaman  Al-Asy’ari

                                      Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari,seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.

Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/935 M, ketika berusia lebih dari 40 tahun. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.

Al-Asy’ari yang semula berpaham Mu’tazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).

Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.

Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusaha 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah masjid bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya. Menurut Ibn Asakir, yang melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah adalah mengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu Rasulullah Saw. sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu, Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.

Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.

Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.

Madzhab Asy’ari bertumpu pada al-Qur’an dan al-sunnah.Mereka mata teguh memegangi al-ma’sur.”Ittiba”lebih baik dari pada ibtida’ (Membuat bid’ah).

Dalam mensitir ayat dan hadist yang hendak di jadikan argumentasi, kaum Asy’ariah bertahap, yang ini merupakan pola sebelumnya sudah di terapkan oleh Asy’ariah. Biasanya mereka mengambil makna lahir dari anas (Teks al-quran dan al-Hadist), mereka berhati-hati tidak menolak penakwilan sebab memang ada nas-nas tertentu yang memiliki pengertian sama yang tidak bias di ambil dari makna lahirnya, tetapi harus di takwilkan untuk mengetahui pengertian yang di maksud.

Kaum asy’ariah juga tidak menolak akal, karena bagaimana mereka akan menolak akal padahal Allah menganjurkan agar Ummat islam melakukan kajian rasional.

Pada prinsipnya kaum Asy’ariah tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti yang di lakukan kaum mu’tazilah, sehingga mereka tidak memenangkan dan menempatka akal di dalam naql (teks agama).akal dan nql saling membutuhkan.naql bagaikan matahari sedangkan akal laksana mata yang sehat.dengan akal kita akan bias meneguhkan naql dan membela agama.

C. Masa Walisongo
Dalam catatan sejarah, islam disiarkan ke Indonesia oleh dua petugas, yaitu para pedagang dan para sufi yang datang dari Gujarat. Sebagai pedagang, tentu bukan hanya kontak jual beli barang yang bisa dilakukan. Dalam saling hubungan, disampng berdagang sering ada waktu sela yang bisa dimanfaatkan. Misalnya, memanfaatkan waktu untuk menunaikan shalat atau kewajiban agama lain termasuk menyiarkan agama yang dipeluknya kepada pihak lain.
Menurut pemberitaan di Tiongkok, pada tahun 1416 itu di tanah Jawa sudah banyak didatangi orang islam. Para pendatang Islam itu bukan penduduk asli tanah Jawa atau Nusantara, melainkan berasal dari luar, yaitu orang-orang Gujarat yang berasal dari India sebelah barat.
Maulana Malik Ibrahim adalah seseorang yang diduga keras berasal dari Gambay di Gujarat yang hidup hingga tahun 822 H atau tahun 1419. Yang berarti dia hidup dan menyebarkan agama islam di Jawa khususnya Jawa Timur di kalangan para sultan, menteri, rakyat yang fakir dan miskin, hingga sekitar tahun 1419 itu. Kalau Islam dimasa sekarang sudah menjadi mayoritas penduduk di Jawa, maka itu tidak lepas dari jasa Malik Ibrahim sebagai salah seorang dari Walisongo.
Islam masuk ke tanah Jawa melalui para wali, yang kemudian dikenal dengan sebutan walisongo. Penyiarannya berlangsung dengan suasana yang damai. Ajaran Islam tidak disebarkan dengan pertumpahan darah, melainkan didakwahkan secara bijaksana oleh para wali.
Adapun sebab-sebab yang membawa islam dapat disebarkan dalam suasana damai, antara lain sebagai berikut :
1.      Penyiar-penyiar Islam yang datang mula-mula adalah terdiri dari para pedagang dan sufi.
2.      Metode penyampaian dakwah Islam adalah sudah sejalan dengan ketentuan ajaran Al-Quran. Yaitu agar disampaikan dengan cara hikmah (bijaksana), dengan cara memberi pengajaran yang baik, serta dengan cara bertukar pikiran secara sebaik-baiknya.
3.      Kebijaksanaan para mubaligh yang datang, yang telah dapat menyelami dan memahami watak bangsa Indonesia.
Walaupun demikian, perjuangan para walisongo di Jawa dalam penyebaran dan penyiaran agama islam mengalami periode perjuangan, yaitu :
1.      Periode Gresik, yaitu periode yang berupa menyampaikan ajaran-ajaran islam kepada masyarakat luas dan mempergiat pembentukan kader-kader.
2.      Periode Demak, yaitu periode yang segala tenaga dan pikiran telah dicurahkan utuk menyusun kekuatan dan kekuasaan.
Kedua dari periode diatas, berlangsung dalam waktu yang lama. Artinya, keduanya berlangsung dengan memakan waktu yang tidak sekaligus. Dikedua periode ini, dakwah islam disampaikan dengan memakan waktu yang puluhan tahun. Penyiaran dan penyebaran Islam di Jawa pada zaman dahulu dipelopori oleh para wali. Namun yang sangat dikenal dalam peloporan penyiaran agama islam dari sekian banyak wali tersebut dikenal dengan sebutan Walisongo, yaitu wali yang berjumlah sembilan. Walisongo tersebut adalah sebagai berikut :
a.      Maulana Malik Ibrahim ( Sunan Gresik )
Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan nama Maulana Maghribi atau Syekh Maghribi. Silsilah keturunannya berasal dari Zainul Abidin bin Sayyidina Hasan bin Sayyidina Ali bin Abu Thalib menantu dari Nabi Muhammad SAW. Maulana Malik Ibrahim datang ke Indonesia pada tahun 750 H/1379 M, bersama rombongan untuk mengislamkan raja Majapahit dan masyarakatnya. Raja Majapahit waktu itu adalah Hayam Wuruk, menerima dengan baik kedatangan rombongan Maulana Malik Ibrahim. Ia diterima sebagaimana layaknya tamu kerajaaan. Setelah berada di kerajaan Majapahit, Maulana Malik Ibrahim mengenalkan agama Islam kepada para raja Majapahit. Namun karena raja Majapahit sangat fanatik terhadap agama Hindu, dan di Jawa raja dianggap keturunan dewa yang harus dijunjung tinggi dan ditaati, maka usaha Maulana Malik Ibrahim mengislamkan raja Majapahit tidak berhasil. Tetapi hal tersebut tidak menjadi penghalang bagi Maulana Malik Ibrahim karena ia malah dipersilahkan untuk tetap tinggal di Majapahit dan di beri kebebasan untuk berdakwah menyebarkan agama islam.
Maulana Malik Ibrahim mengambil daerah Jawa Timur, tepatnya di gresik untuk menetap dan sebagai tempat untuk tinggal dan mengembangkan agama islam. Langkah pertama yang diambil adalah ikut bersama-sama masyarakat berdagang. Melalui perdagangan inilah ia sedikit demi sedikit memperkenalkan agama islam kepada masyarakat. Dari waktu ke waktu, pemeluk agama islam semakin bertambah, sehingga ia menganggap perlu untuk membangun tempat peribadahan dan lembaga pendidikan. Ia mendirikan masjid dan pondok pesantren. Melalui masjid dan pondok pesantren inilah ia dapat mengembangkan agama islam kepada santri-santrinya yang berasal dari Gresik sendiri ataupun yang berasal dari daerah lain.
b.      Raden Rahmat ( Sunan Ampel )
Raden Rahmat lahir di Champa pada tahun 753 H/1401 M. Setelah berusia 20 tahun oleh ayahnya, Ibrahim Asmarakandi, ia diperintahkan pergi ke Majapahit untuk mengislamkan Raja Majapahit yang masih saudara sepupunya. Dalam perjalan, Raden Rahmat singgah di palembang yang diperintah oleh Adipati Arya Damar. Sesampainya di Majapahit, ia mengajak raja Majapahit untuk masuk islam. Sekalipun raja tidak mau masuk islam Raden Rahmat diterima dengan baik dan diberi ijin untuk menyiarkan agama islam lalu diberi tempat di Ampel Denta yang waktu itu masih merupakan rawa-rawa.
Di Ampel inilah Raden Rahmat mendirikan pesantren untuk mendalami ilmu-ilmu agama dan sebagai tempat berdakwah. Dan Raden Rahmat inilah yang menjadi sesepuh Walisongo. Ia juga menjadi penasehat kerajaan islam. Bahkan ia ikut serta membangun masjid Demak tahun 1479 dan menjadi penganjur berdirinya kerajaaan Demak. Karena itu, Raden Rahmat mendapat gelar “ Sunan Ampel “.
c.       Raden Paku ( Sunan Giri)
Sunan Giri adalah salah seorang diantara Walisongo, yang hidup pada abad ke-15 Masehi. Nama aslinya adalah Raden Paku. Ada juga yang menyebutnya dengan Prabu Satmata, atau Sultan Abdul Fakih. Jadi, Sunan Giri itu memiliki tiga buah nama.
Raden Paku ini diberi gelar dengan Sunan Giri, sebab jasa-jasanya dalam mendirikan pesantren dan mengajar santri di daerah Giri, Gresik. Dalam upaya memperoleh ilmu agama, ia mengusahakannya dengan tekun belajar. Mula-mula ia memperoleh dari ayahnya sendiri, Maulana Ishak, kemudian ia belajar dari Sunan Ampel, serta belajar dari beberapa ulama didaerah Pasai (Aceh) dan tanah suci Makkah. Dalam penyebaran agama islam, Sunan Giri mengirimkan beberapa muridnya untuk menyebarkan agama islam seperti ke Sulawesi, Maluku, Madura, dan Nusa Tenggara. Sebagai penyebar agama islam ke tengah-tengah masyarakat, Sunan Giri dikenal sangat sabar dan telaten pada berbagai kalangan. Bahkan dalam menyampaikan tugas-tugas sucinya, ia sering memanfaatkan kreativitasnya dalam menciptakan lagu-lagu ke tengah-tengah masyarakat.
d.      Raden Maulana Makdum Ibrahim ( Sunan Bonang )
Nama asli Sunan Bonang adalah Raden Maulana Makdum Ibrahim, dan sering disebut Raden Makdum. Ia putra Sunan Ampel (Raden Rahmat )dari perkawinannya dengan Dewi Candrawati. Sunan Bonang menerima pendidikan agama islam pertama kali dari orang tuanya sendiri, yaitu Sunan Ampel. Setelah menginjak dewasa da dasar-dasar ilmu agama yang diajarkan oleh orang tuanya dianggap sudah memadai, ia dikirim oleh orang tuanya bersama Raden Paku, putera Maulana Ishak, untuk belajar ke Pasai ( Aceh ), dan selanjutnya ke Mekkah, disampng untuk menunaiakan ibadah haji.
Setelah beberapa tahun lamanya mendalami berbagai ilmu agama islam di Makkah, ia kembali ke tanah air dan mengembangkan ajaran agama islam kepada masyarakat di Jawa Timur. Ia mengambil daerah Tuban untuk tempat tinggal dan tempat dakwahnya. Sebagaimana ayahandanya, Sunan Ampel, ia mendirikan pondok pesantren sebagai tempat pendidikan bagi orang yang hendak menuntut ilmu pengetahuan agama islam kepadanya dan juga ia mendirikan masjid untuk tempat ibadah shalat santri-santrinya.
Ada salah satu kitab hasil karyanya bernama Suluk Sunan Bonang yang berisikan pelajaran agama islam yang ditulis dengan prosa Jawa Tengahan. Kepribadian yang luhur dan kedalaman ilmunya membuat nama Sunan Bonang dikenal dimana-mana.
e.       Syekh Ja’far Shadiq ( Sunan Kudus )
Nama Sunan Kudus adalah Syekh Ja’far Shadiq. Nama aslinya Raden Amir Haji putera Raden Usman Haji ( Sunan Ngudung ) penghulu dan panglima perang kerajaan Demak. Pada masa mudanya, Raden Amir Haji pernah menjabat panglima perang kerajaan Demak, menggantikan ayahnya. Semasa kecilnya, ia sudah terdidik di lingkungan yang patuh menjalankan agama dan rajin mempelajari ajaran islam. Maka ketika berhenti dari jabatan panglima perang, ia langsung bergerak dalam dunia dakwah.
Ia mengajarkan agama islam di sekitar daerah Kudus dan Jawa Tengah pesisir utara. Sebagai guru dan Ulama Besar yang mengajarkan ilmu Tauhid, hadist, usul, sastra, mantiq terutama ilmu hukum islam ( syariat ) dan peradilan.
Cara Sunan Kudus menyiarkan agama islam, juga seperti yang dilakukan wali-wali lainnya. Yaitu dengan cara yang bijaksana. Ia pernah mengikat seekor lembu yang sangata dihormati orang hindu. Lembu itu diikat disekitar masjid. Sehingga banyak rakyat yang masih memeluk agama hindu waktu itu berbondong-bondong. Setelah mereka hadir, lalu Sunan Kudus bertabligh. Dengan cara ini banyak diantara mereka yang memeluk agama islam.
f.        Raden Mas Syahid ( Sunan Kalijaga )
Sunan Kalijaga adalah salah seorang Walisongo yang cukup terkenal. Ia terkenal karena lima kelebihan utama, yaitu berjiwa besar, toleran, berpandangan tajam, budayawan dan seniman, serta pujangga.Atas kemampuan yang dimiliki Sunan Bonang, ia kemudian berkeinginan kuat untuk menjadi muridnya. Drai pernyataan keinginannya, Sunan Bonang hanya mau menerimanya menjadi murid ika ia sanggup menjaga tongkat yang ia tancapkan di tepi sungai. Kemudian terjalinlah  hubungan Guru-Murid antara Sunan Bonang dan Raden Mas Syahid (Sunan Kalijaga).Dengan setianya, selaku murid, Raden Mas Syahid menaati janjinya dala menjaga tongkat ditepi sungai itu. Dari waktu ke waktu dijagalah tongkat itu dengan setia sehingga ia memenuhi persyaratan yang diminta sang guru. Diisnilah ada dua istilah penting yaitu “Kali” dan “Jaga”. Kali adalah Sungai dan Jaga adalah penjaga. Jika ditambah  dengan Sunan akan menjadi sunan penjaga (tongkat dekat) kali.
Waktu itu ia termasuk salah seorang wali yang berkewajiban menyediakan salah satu tiang dari empat tiang pokok (Sakaguru). Tiang tersebut ia buat dari tatal yaitu serpihan dari kayu sisa. Dari situlah Sunan Kalijaga itu mempunyai peranan yang sangat penting dalam pendirian masjid Demak itu.
Sebagai tokoh yang kuat rasa toleran dan berpandangan tajam,Dakwah Sunan Kalijaga adalah khas.Menurut pendapatnya, menyampaikan ajaran islam perlu disesuaikan dengan keadaan setempat, dan sedikit demi sedikit. Kepercayaan, adat istiadat, dan kebudayaan lama tidak harus dihapuskan, tetapi diisi dengan unsur keislaman.Dikemudian hari ada kesepakatan pendekatan dakwah, bahwa dakwah itu perlu ada yang dari atas juga ada yang dari bawah.
Sebagian budayawan dan seniman Sunan Kalijaga banyak mencipta yang menggambarkan pendiriannya itu. Ia  menciptakan dua perangkat gamelan yaitu Nagawilaga dan Guntur Madu. Ia juga menciptakan sebuah wayangyang dilukiskan diatas kertas yang lebar disebut wayang beber. Selain itu ia juga menciptakan sebuah karya desain baju yang disebut dengan baju “takwo” (dari bahasa al-Qur’an ibasut takwa),dan baju batik yang bermotifkan burung.Ada juga karyanya dalam bidang seni suara, ia menciptakan lagu Dandanggula salah satu jenis lagu Macapat.
g.      Fatahillah (Sunan Gunung Jati)
            Sunan Gunung Jati atau Fatahillah adalah salah seorang walisanga yang melaksanakan misinya untuk mengislamkan JawaBarat. Ia berhasil mendirikan dua buah kerajaan islam Banten dan Cirebon, dan menguasai Sunda Kelapa, pelabuhan  terpenting bagi kerajaan Hindu, kerajaan Pakuan (Bogor).Karena pada tahun 1521 Pasai ditaklukan oleh Portugis, maka ia meninggalkan negerinya untuk melakukan ibadah haji ke Makkah. Ia tidak mau kembali ke negerinya, melainkan ke keraton Demak di Jawa.Ia ke Cirebon lebih dahulu,baru kebanten sekitar 1525, dan berhasil menyingkirkan Bupati Sunda dikota itu.
Tahun  1527, kota pelabuhan yang sangta penting bagi perdagangan kerajaan Hindu Pajjaran, yaitu Sunda Kelapa, berhasil ia rebut denga cara melalui perjuangan yang cukup sengit mengingat letaknya yang tidak jauh dari pusat kerajaan Pakuan (Bogor).Karena keberhasilannya Sultan Trenggana menghadiahkan sepucuk meriam(1528) yang dibubuhi tahun tersebut. Ia tidak berusaha untuk menaklukan Pakuan,tetapi memperluas kekuasaannya atas kota-kota pelabuhan yang semula termasuk Pajajran. Pada saat usianya lebuh dari 60 tahun Ftahillah pindah ke Cirebon dan mendirikan Masjid besar dengan gaya Masjid Demak dan memperluas tempat-tempat ibadah. Darisitulah Ftahilllah yang besar jasanya terhadap penyebaran islam di Jawabarat itu dikenal oleh orang-orang dengan sebutan  Sunan Gunung Jati.
h.      Syarifuddin (Sunan Drajat)
            Nama asli Sunan Drajat adlah Syarifuddin, sering juga disebut dengan nama Raden Qasim. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Condrowati. Raden Qasim yang sudah mewariskan ilmu dari ayahnya kemudian diperintah untuk berdakwah disebelah barat Gresik.Raden Qasim memulai perjalannya dengan naik perahu dari Gresik sesudah singgah di tempat Sunan Giri.Dalam perjalannya kearah bart itu, perahunya tiba-tiba dihantam ombak uyang besar sehingga menabrak karang dan hancur. Namu pada saat kecelakaan itu, secara kebetulan  seekor ikan besar yaitu ikan talang datang untuk menolong Raden Qasim dan ia menaiki punggung ikan tersebut dan akhirnya Radqn Qasim dapat selamat hingga ketepi pantai. Ikan talang itu membawa Raden Qasim hingga ketepi pantai yag termasuk wilayah desa Jela. Sekarang desa itu termasuk wilayah Banjarwati, kecamatan Paciran. Ditempat itu Raden Qasim disambut masyarakat setempat dengan senang.Didesa Jelag itu, Raden Qasim mendirikan pesantren. Karena caranya menyiarkan agama islam yang unik, maka banyaklah orang yang datng berguru kepadanya. Setelah satu tahun menetap di desa Jelag, Raden Qasim mendapat ilham supaya menuju kearah selatan dan disana ia mendirikan surau untuk berdakwah. Tiga tahun kemudian secara mantap ia mendapat petunjuk agar membangun tempat berdakwah yang strategis yaitu ditempat ketinggian yang disebut Dalem Dhuwur.
            Raden Qasim adalah pendukung aliran putih yang dipimpin oleh Sunan Giri. Artinya dalam berdakwah menyebarkan agama islam ia menganut jalan lurus dan benar sesuai ajaran Nabi yang tidak boleh dicampur baur dengan adat dan kepercayaan lama. Meski demikian ia juga mempergunakan kesenian rakyat sebagai alat dakwah.
Diantara ajaran Sunan Drajat yang terkenal adalah sebagi berikut:
Menehana teken  marang wong wuto
Menehana mangan marang wong kang luwe
Menehana busana marang wong kang wudo
Menehana ngiup marang wong kang kudanan
Demikianlah ajaran Sunan Drajat yang sangat berguna  sebagai pedoman manusia dalam menjalani hidup.
i.        Raden Umar Said (Suanan Muria)
            Raden Umar Said merupakan salah seorang Dai deretan walisongo ia dikenal dengan Sunan Muria. Sebab daerah oprasi penyiaran islamnya berada disekitar gunung muria, yaitu sekitar 18 KM sebelah utara kota Kudus.Rden Umar Said adalah putra Sunan Kalijga dengan Dewi Saroh. Dalam kegiatan dakwahnya Sunan Muria termasuk kalangan wali-wali yang memutuskan untuk memindahkan pesantren Ampel Denta sepeninggal Sunan Ampel yaitu memindah pesantren Ampel Denta ke Demak dibawah pimpinan Rden Patah. Sunan Muria disebut sebut sebagai wali yang rajin berdakwah. Dakwahnya memasuki pelosok-pelosok pedesaan dan gunung-gunung. Dalam berdkwah,ia memakai sarana yang menarik dibuat tontonan  dan tuntunan, seperti melalui gamelan,wayang, dan tembang. Dari kreasinya, Sunan Muria telah menciptakan tembang macapat yakni  “sinom” dan “kinanthi”.Ynang pertama adalah sinom yang digunakan untuk melukiskan suasana ramah tamah dan nasehat. Yang kedua adalah kinanthi yangbernadakan gembira atau kasih sayang. Tetapi, ia juga dipakai untuk mengajarkan keagamaan,nasehat, dan filsafat hidup.
4.Masa pasca walisongo
1).Sultan Hadlirin
            Sultan Hadliriadalah gelar dari Kerajaan Demak kepada Sultan Kerajaan Kalinyamat yang bernama Toyib. Dia di beri gelar Sultan Hadlirin karena dia adalah pendatang yang hadir ke Jepara untuk menyebarkan Agama Islam. Sultan Hadliri mempunyai Istri yang berasal dari Kearajaan Demak yaitu Putri Sultan Trenggono yang bernama Retna Kencana yang mempunyai gelar Ratu Kalinyamat.Pangeran Kalinyamat berasal dari luar Jawa. Terdapat berbagai versi tentang asal-usulnya. Masyarakat Jepara menyebut nama aslinya adalah Win-tang, seorang saudagar Tiongkok yang mengalami kecelakaan di laut. Ia terdampar di pantai Jepara, dan kemudian berguru pada Sunan Kudus.
            Versi lain mengatakan, Win-tang berasal dari Aceh. Nama aslinya adalah Pangeran Toyib, putera Sultan Mughayat Syah raja Aceh (1514-1528). Toyib berkelana ke Tiongkok dan menjadi anak angkat seorang menteri bernama Tjie Hwio Gwan. Nama Win-tang adalah ejaan Jawa untuk Tjie Bin Thang, yaitu nama baru Toyib.Win-tang dan ayah angkatnya kemudian pindah ke Jawa. Di sana Win-tang mendirikan desa Kalinyamat yang saat ini berada di wilayah Kecamatan Kalinyamatan, sehingga ia pun dikenal dengan nama Pangeran Kalinyamat. Ia berhasil menikahi Retna Kencana putri bupati Jepara, sehingga istrinya itu kemudian dijuluki Ratu Kalinyamat. Sejak itu, Pangeran Kalinyamat menjadi anggota keluarga Kerajaan Demak dan memperoleh gelar Pangeran Hadiri.
2).Al-Habib Ali bin Abu Bakar As-Seggaf                            
            Selain dikenali orang sebagai seorang wali beliau juga salah seorang tokoh ulama yang kenamaan. Beliau sering memberitahukan apa yang tersembunyi dalam hati murid-murid beliau.
Salah seorang murid beliau yang bernama Soleh Bahramil berkata: “Pada suatu kali ketika aku sedang sibuk berzikir di tengah majlis beliau, tibatiba di hatiku tergerak sesuatu yang mengganggu zikirku. Beliau menoleh padaku sambil berkata: “Berzikir itu jauh lebih penting dari apa yang tergerak di hatimu”.
Seorang wanita yang bernama Nahyah binti Mubarak Barasyid pernah tergerak dalam hatinya: “Jika hajatku dikabulkan oleh Allah, ia akan membuatkan sehelai selimut dengan tangannya sendiri untuk Sayid Ali bin Abu Bakar As-Seggaf. Setelah Allah mengabulkan ia terlupa dengan niat dalam hatinya. Sayid Abu Bakar As-Seggaf mengutus salah seorang untuk mengingatkan niat yang tersimpan dalam hati wanita itu. Dengan malu wanita itu membuatkannya segera selimut yang akan dihadiahkan pada Sayid Ali.
Seorang murid beliau berkata: “Pernah aku keluar dari kota Tarim untuk menghantarkan seorang temanku yang hendak berpergian. Temanku itu menitipkan padaku seratus Uqiyah. Dalam perjalananku pulang ke Tarim, wang seratus Uqiyah itu terjatuh ke tengah jalan tanpa kuketahui. Aku datang menemui Sayid Ali, kuadukan kejadian itu. Jawab beliau: “Kembalilah kamu di jalanan yang telah kamu melalui sebelumnya”. Waktu aku keluar menyusuri jalanan yang kulalui, kudapatkan wang seratus Uqiyah itu berada di bawah sebuah tembok di pinggir jalanan.
Seorang muridnya pernah berkata: “Pernah sebiji mata anak perempuan saudaraku terkeluar. Aku datang kepada Sayid Ali As-Seggaf dengan membawa anak perempuan yang keluar matanya itu. Beliau pegang mata itu kemudian dikembalikan pada tempatnya semula. Dengan izin Allah mata yang keluar itu sembuh seperti semula. Aku minta pada beliau mendoakan untuk anak wanita itu agar dapat cepat kahwin. Dengan izin Allah wanita itu segera dipinang orang setelah hidup membujang dalam waktu yang lama”.
Salah seorang kawan beliau berkata: “Pernah aku kehilangan perhiasan yang dibuat dari emas. Aku datang menghadap Sayid Ali As-Seggaf minta doa agar perhiasanku yang hilang itu kutemukan kembali. Beliau berdoa. Waktu pagi hari anehnya kudapati perhiasan itu berada di bawah pohon kurma”.Sayid Ali bin Abu Bakar As-Seggaf wafat pada tahun 895 H. Jenazahnya dimakamkan di perkuburan Zanbal, Hadramaut.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Aswaja masuk ke Indonesia dibawa melalui beberapa tokoh penyebaran agama islam di Nusantara. Diantaranya adalah peranan walisongo dalam menyiarkan dan mempelopori islam di kalangan masyarakat Jawa. Sejak  islam yang ada di Jawa Timur, Jawa Tengah ataupun yang ada di Jawa Barat, jejaknya dapat ditelusuri melalui dakwah para walisongo. Para walisongo menulis didesa dan menghasilkan karya.Mereka hadir di desa-desa untuk membuka masyarakat pada wawasan keislaman dan kenusantaraan sekaligus.Kegiatan tulis-menulis adalah awal membangun peradaban tersebut.Selain untukmerawat tradisi yang sudah berkembang dikalangan masyarakat, juga untuk memelihara segenap potensi dan kekuatan peradaban bangsa ini. Perdaban ini dijaga dan dilestarikan melalui kegiatan kebudayaan dan kesastraan, dalam bentuk tulis menulis, yang kemudian melahirkan sejumlah karya dan khazanah keilmuan.

DAFTAR PUSTAKA
            blog.umy.ac.id/ghea/files/.../Alur-perjalanan-aswaja-dalam-geosospol.do...
Ahmad Baso. Pesantren Studies 2a. Tangerang Selatan:Pustaka Afid.
Hamdani Mu’in, dkk.1999.Materi Dasar Nahdlatul Ulama(Aswaja).Semarang Jawa Tengah.
            Asyariyah.https://muhfathurrohman.wordpress.com/2012/11/05/pemikiran-al-maturidi-      dalam-ilmu-kalam/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar