(PERIODE PASKA WALISONGO)
Makalah
untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama 2 (Aswaja)
Disusun
Oleh:
1. Maulfi
Ahmad Noor Wafiri (151120001570)
2. Oktaviana
Muvidah (151120001720)
3.
Naili Maghfiroh (151120001736)
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS
ISLAM NAHDLATUL ULAMA JEPARA
TAHUN
2016
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT yang karena anugerah dari-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah tentang " Perjalanan Aswaja ke Nusantara " ini.
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita,
yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus
berupa ajaran agama Islam yang sempurna dan menjadi anugerah serta rahmat bagi
seluruh alam semesta.
Penulis
sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang menjadi tugas agama
dua dengan judul "Perjalanan Aswaja ke Nusantara". Disamping itu,
kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami selama pembuatan makalah ini berlangsung sehingga terealisasikanlah
makalah ini.
Demikian
yang dapat kami sampaikan, kami
menyadari dalam penulisan makalah ini jauh dari kesempurnaan.Oleh karena itu,
dengan segala kerendahan hati kami menerima kritik dan saran agar penyusunan
makalah selanjutnya menjadi lebih baik lagi. Semoga makalah ini memberi
manfaat bagi banyak pihak.Amiin.
Jepara, 7 April 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perjalanan Aswaja ke Nusantara pada periode paska Walisongo
banyak diperankan oleh para kiai yang ada di pondok pesantren. Pembahasan tema
ini menjadi menarik karena dokumen-dokumen terkait Aswaja pada masa penjajahan
tidak banyak ditemukan.
B. Sistematika
Pembahasan
Pada makalah ini akan dibahas
mengenai :
1.
Kerajaan Islam sebagai Penyebar Aswaja di Nusantara
2.
Sejarah Berkembangnya Pondok Pesantren
3. Pondok Pesantren sebagai benteng
Aswaja
C. Tujuan
Adapun tujuan pembahasan makalah ini
adalah :
1) Memahami perjalanan Aswaja ke
Nusantara pada periode paska Walisongo
2) Mengenang kembali jasa-jasa para
ulama’ terdahulu
3) Memahami dan mencontoh cara
berdakwah yang baik dan mengamalkan semua ajaran yang diajarkan oleh para
ulama’
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Perjalanan
Aswaja dipelopori Kerajaan Islam di Nusantara
1.
Kerajaan
Aceh
a.
Awal
Perkembangan Kerajaan Aceh
Aceh semula menjadi daerah taklukkan
Kerajaan Pedir. Akibat Malaka jatuh ke tangan Portugis, pedagang yang semula
berlabuh di pelabuhan Malaka beralih ke pelabuhan milik Aceh. Dengan demikian,
Aceh segera berkembang dengan cepat dan akhirnya lepas dari kekuasaan Pedir.
Aceh berdiri sebagai kerajaan merdeka. Sultan pertama yang memerintah dan
sekaligus pendiri Kerajaan Aceh adalah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528 M).
b.
Aspek
Kehidupan Politik dan Pemerintahan
Aceh cepat tumbuh menjadi kerajaan besar
karena didukung oleh faktor sebagai berikut:
1)
Letak Ibu kota Aceh
yang sangat strategis.
2)
Pelabuhan Aceh (Olele)
memiliki persyaratan yang baik sebagai pelabuhan dagang.
3)
Daerah Aceh kaya dengan
tanaman lada sebagai mata dagangan ekspor yang penting.
4)
Jatuhnya Malaka ke
tangan Portugis menyebabkan pedagang Islam banyak yang singgah ke Aceh.
Sultan Ali Mughayat Syah merupakan Raja
pertama di Aceh sekaligus beliau merupakan pendiri Kerajaan Aceh. Setelah
beliau mangkat, raja selanjutnya adalah Sultan Ibrahim. Dalam pemerintahannya
beliau berhasil menaklukkan Pedir. Raja berikutnya adalah Iskandar Muda. Pada
masa pemerintahan beliau, Aceh mencapai puncak kejayaan dan menjadi sumber
komoditas lada dan emas. Beliau mangkat pada tahun 1636 M dan digantikan oleh
menantunya Iskandar Thani yang tidak memiliki kecakapan. Dalam pemerintahannya,
Kerajaan Aceh terus-menerus mengalami kemunduran.
c.
Aspek
Kehidupan Kebudayaan
Letak Aceh yang strategis menyebabkan
perdagangannya maju pesat. Dengan demikian, kebudayaan masyarakatnya juga makin
bertambah maju karena sering berhubungan dengan bangsa lain. Contohnya, yaitu
tersusunnya hukum adat yang dilandasi ajaran Islam yang disebut Hukum Adat
Makuta Alam. Dengan hukum adat Makuta Alam itulah, sehingga tata kehidupan dan
segala aktivitas masyarakat Aceh didasarkan pada aturan Islam. Dengan demikian,
keadaan Aceh seolah-olah identik dengan Mekah, Arab Saudi. Atas dasar itulah,
Aceh mendapat julukan Serambi Mekah.
d.
Aspek
Kehidupan Ekonomi dan Sosial
Bidang perdagangan yang maju menjadikan
Aceh makin makmur. Setelah Sultan Ibrahim dapat menaklukkan Pedir yang kaya
akan lada putih, Aceh makin bertambah makmur dan menjadi sumber komoditas lada
dan emas. Dengan kekayaan melimpah, Aceh mampu membangun angkatan bersenjata
yang kuat.
e.
Kemunduran
Kerajaan Aceh
Kemunduran Kerajaan Aceh ketika itu
disebabkan oleh hal-hal sebagai-berikut:
Kekalahan perang antara Aceh melawan Portugis di Malaka pada tahun 1629 M. Tokoh pengganti Iskandar Muda tidak secakap pendahulunya. Permusuhan yang hebat di antara kaum ulama yang menganut ajaran berbeda. Daerah-daerah yang jauh dari pemerintahan pusat melepaskan diri dengan Aceh. Pertahanan Aceh lemah sehingga bangsa-bangsa Eropa lainnya berhasil mendesak dan menggeser daerah-daerah perdagangan Aceh. Akibatnya perekonomian semakin melemah.
Kekalahan perang antara Aceh melawan Portugis di Malaka pada tahun 1629 M. Tokoh pengganti Iskandar Muda tidak secakap pendahulunya. Permusuhan yang hebat di antara kaum ulama yang menganut ajaran berbeda. Daerah-daerah yang jauh dari pemerintahan pusat melepaskan diri dengan Aceh. Pertahanan Aceh lemah sehingga bangsa-bangsa Eropa lainnya berhasil mendesak dan menggeser daerah-daerah perdagangan Aceh. Akibatnya perekonomian semakin melemah.
2.
Kerajaan
Demak
a.
Awal
Perkembangan Kerajaan Demak
Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam
pertama di Pulau Jawa. Demak sebelumnya merupakan daerah vasal atau bawahan
dari Majapahit. Daerah ini diberikan kepada Raden Patah, keturunan Raja
Majapahit yang terakhir. Ketika kekuasaan kerajaan Majapahit melemah, Raden
Patah memisahkan diri sebagai bawahan Majapahit pada tahun 1478 M. Dengan
dukungan dari para bupati, Raden Patah mendirikan kerajaan Islam Demak dengan
gelar Senopati Jimbung Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama.
Sejak saat itu, kerajaan Demak berkembang menjadi kerajaan maritim yang kuat.
Wilayahnya cukup luas, hampir meliputi sepanjang pantai utara Pulau Jawa.
Sementara itu, daerah pengaruhnya sampai ke luar Jawa, seperti ke Palembang,
Jambi, Banjar, dan Maluku.
b.
Aspek
Kehidupan Politik dan Pemerintahan
Pada tahun 1507 M, Raja Demak pertama,
Raden Patah mangkat dan digantikan oleh putranya Pati Unus. Pada masa
pemerintahan Pati Unus, Demak dan Portugis bermusuhan, sehingga sepanjang
pemerintahannya, Pati Unus hanya memperkuat pertahanan lautnya, dengan maksud
agar Portugis tidak masuk ke Jawa. Setelah mangkat pada tahun 1521, Pati unus
digantikan oleh adiknya Trenggana. Setelah naik takhta, Sultan Trenggana
melakukan usaha besar membendung masuknya portugis ke Jawa Barat dan memperluas
kekuasaan Kerajaan Demak.
Beliau mengutus Faletehan beserta
pasukannya untuk menduduki Jawa Barat. Dengan semangat juang yang tinggi,
Faletehan berhasil menguasai Banten dan Sunda Kelapa lalu menyusul Cirebon.
Dengan demikian, seluruh pantai utara Jawa akhirnya tunduk kepada pemerintahan
Demak. Faletehan kemudian diangkat menjadi raja di Cirebon. Pasukan demak terus
bergerak ke daerah pedalaman dan berhasil menundukkan Pajang dan Mataram, serta
Madura. Untuk memperkuat kedudukannya, Sultan Trenggana melakukan perkawinan
politik dengan Bupati Madura, yakni mengawinkan Putri Sultan Trenggana dengan
Putra Bupati Madura, Jaka Tingkir. Sultan Trenggana mangkat pada tahun 1546 M.
Mangkatnya Beliau menimbulkan kekacauan
politik yang hebat di Demak. Negara bagian banyak yang melepaskan diri, dan
para ahli waris Demak juga saling berebut tahta sehingga timbul perang saudara
dan muncullah kekuasaan baru, yakni Kerajaan Pajang.
c.
Aspek
Kehidupan Sosial dan Budaya
Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan
Demak telah berjalan teratur. Pemerintahan diatur dengan hukum Islam tanpa
meninggalkan norma-norma lama begitu saja. Hasil kebudayaan Demak merupakan
kebudayaan yang berkaitan dengan Islam. Seperti ukir-ukiran Islam dan
berdirinya Masjid Agung Demak yang masih berdiri sampai sekarang. Masjid Agung
tersebut merupakan lambang kebesaran Demak sebagai kerajaan Islam.
d.
Aspek
Kehidupan Ekonomi
Dalam bidang ekonomi, Demak berperan
penting karena mempunyai daerah pertanian yang cukup luas dan sebagai penghasil
bahan makanan, terutama beras. Selain itu, perdagangannya juga maju. Komoditas
yang diekspor, antara lain beras, madu, dan lilin.
e.
Keruntuhan
Kerajaan Demak
Keruntuhan Kerajaan Demak disebabkan
karena pembalasan dendam yang dilakukan oleh Ratu Kalinyamat yang bekerja sama
dengan Bupati Pajang Hadiwijaya (Jaka Tingkir). Mereka berdua ingin
menyingkirkan Aria Penansang sebagai pemimpin Kerajaan Demak karena Aria
Penansang telah membunuh suami dan adik suami dari Ratu Kalinyamat. Dengan tipu
daya yang tepat mereka berhasil meruntuhkan pemerintahan dari Bupati Jipang
yang tidak lain adalah Aria Penansang. Aria Penansang sendiri berhasil dibunuh
Sutawijaya. Sejak saat itu pemerintahan Demak pindah ke Pajang dan tamatlah
riwayat Kerajaan Demak.
3.
Kerajaan
Banten
Awal
Perkembangan Kerajaan Banten
Semula Banten menjadi daerah kekuasaan Kerajaan
Pajajaran. Rajanya (Samiam) mengadakan hubungan dengan Portugis di Malaka untuk
membendung meluasnya kekuasaan Demak. Namun melalui, Faletehan, Demak berhasil
menduduki Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Sejak saat itu, Banten segera
tumbuh menjadi pelabuhan penting menyusul kurangnya pedagang yang berlabuh di
Pelabuhan Malaka yang saat itu dikuasai oleh Portugis. Pada tahun 1552 M,
Faletehan menyerahkan pemerintahan Banten kepada putranya, Hasanuddin. Di bawah
pemerintahan Sultan Hasanuddin (1552-1570 M), Banten cepat berkembang menjadi
besar. Wilayahnya meluas sampai ke Lampung, Bengkulu, dan Palembang.
b.
Aspek Kehidupan Politik dan Pemerintahan
Raja Banten pertama, Sultan Hasanuddin
mangkat pada tahun 1570 M dan digantikan oleh putranya, Maulana Yusuf. Sultan
Maulana Yusuf memperluas daerah kekuasaannya ke pedalaman. Pada tahun 1579 M
kekuasaan Kerajaan Pajajaran dapat ditaklukkan, ibu kotanya direbut, dan
rajanya tewas dalam pertempuran. Sejak saat itu, tamatlah kerajaan Hindu di
Jawa Barat.
Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf,
Banten mengalami puncak kejayaan. Keadaan Banten aman dan tenteram karena
kehidupan masyarakatnya diperhatikan, seperti dengan dilaksanakannya
pembangunan kota. Bidang pertanian juga diperhatikan dengan membuat saluran
irigasi.
Sultan Maulana Yusuf mangkat pada tahun
1580 M. Setelah mangkat, terjadilah perang saudara untuk memperebutkan tahta di
Banten. Setelah peristiwa itu, putra Sultan Maulana Yusuf, Maulana Muhammad
yang baru berusia sembilan tahun diangkat menjadi Raja dengan perwalian
Mangkubumi.
Masa pemerintahan Maulana Muhammad
berlangsung tahun 1508-1605 M. Kemudian digantikan oleh Abdulmufakir yang masih
kanak-kanak didampingi oleh Pangeran Ranamenggala. Setelah pangeran Rana
Menggala wafat, Banten mengalami kemunduran.
c.
Aspek
Kehidupan Ekonomi dan Sosial
Banten tumbuh menjadi pusat perdagangan
dan pelayaran yang ramai karena menghasilkan lada dan pala yang banyak.
Pedangang Cina, India, gujarat, Persia, dan Arab banyak yang datang berlabuh di
Banten. Kehidupan sosial masyarakat Banten dipengaruhi oleh sistem
kemasyarakatan Islam. Pengaruh tersebut tidak terbatas di lingkungan daerah
perdagangan, tetapi meluas hingga ke pedalaman.
d.
Kemunduran
Kerajaan Banten
Penyebab kemunduran Kerajaan Banten
berawal saat mangkatnya Raja Besar Banten Maulana Yusuf. Setelah mangkatnya
Raja Besar terjadilah perang saudara di Banten antara saudara Maulana Yusuf
dengan pembesar Kerajaan Banten. Sejak saat itu Banten mulai hancur karena
terjadi peang saudara, apalagi sudah tidak ada lagi raja yang cakap seperti
Maulana Yusuf.
4.
Kerajaan
Mataram Islam
a.
Awal
Perkembangan Kerajaan Mataram Islam
Pada waktu Sultan Hadiwijaya berkuasa di
Pajang, Ki Ageng Pemanahan dilantik menjadi Bupati di Mataram sebagai imbalan
atas keberhasilannya membantu menumpas Aria Penangsang. Sutawijaya, putra Ki
Ageng Pemanahan diambil anak angkat oleh Sultan Hadiwijaya. Setelah Ki Ageng
Pemanahan wafat pada tahun 1575 M, Sutawijaya diangkat menjadi bupati di
Mataram. Setelah menjadi bupati, Sutawijaya ternyata tidak puas dan ingin
menjadi raja yang menguasai seluruh Jawa, sehingga terjadilah peperangan sengit
pada tahun 1528 M yang menyebabkan Sultan Hadiwijaya mangkat. Setelah itu
terjadi perebutan kekuasaan di antara para Bangsawan Pajang dengan pasukan
Pangeran Pangiri yang membuat Pangeran Pangiri beserta pengikutnya diusir dari
Pajang, Mataram. Setelah suasana aman, Pangeran Benawa (putra Hadiwijaya)
menyerahkan takhtanya kepada Sutawijaya yang kemudian memindahkan pusat
pemerintahannya ke kotagede pada tahun 1568 M. Sejak saat itu berdirilah
Kerajaan Mataram.
b.
Aspek
Kehidupan Politik dan Pemerintahan
Dalam menjalankan pemerintahannya,
Sutawijaya, Raja Mataram banyak menghadapi rintangan. Para bupati di pantai
utara Jawa seperti Demak, Jepara, dan Kudus yang dulunya tunduk pada Pajang
memberontak ingin lepas dan menjadi kerajaan merdeka. Akan tetapi, Sutawijaya
berusaha menundukkan bupati-bupati yang menentangnya dan Kerajaan Mataram
berhasil meletakkan landasan kekuasaannya mulai dari Galuh (Jabar) sampai
pasuruan (Jatim).
Setelah Sutawijaya mangkat, tahta
kerajaan diserahkan oleh putranya, Mas Jolang, lalu cucunya Mas Rangsang atau
Sultan Agung. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, muncul kembali para bupati
yang memberontak, seperti Bupati Pati, Lasem, Tuban, Surabaya, Madura, Blora,
Madiun, dan Bojonegoro. Untuk menundukkan pemberontak itu, Sultan Agung
mempersiapkan sejumlah besar pasukan, persenjataan, dan armada laut serta
penggemblengan fisik dan mental. Usaha Sultan Agung akhirnya berhasil pada
tahun 1625 M. Kerajaan Mataram berhasil menguasai seluruh Jawa, kecuali Banten,
Batavia, Cirebon, dan Blambangan. Untuk menguasai seluruh Jawa, Sultan Agung
mencoba merebut Batavia dari tangan Belanda. Namun usaha Sultan mengalami
kegagalan.
c.
Aspek
Kehidupan Sosial
Kehidupan masyarakat di kerajaan
Mataram, tertata dengan baik berdasarkan hukum Islam tanpa meninggalkan
norma-norma lama begitu saja. Dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Islam, Raja
merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, kemudian diikuti oleh sejumlah pejabat
kerajaan. Di bidang keagamaan terdapat penghulu, khotib, naid, dan surantana
yang bertugas memimpin upacara-upacara keagamaan. Di bidang pengadilan, dalam
istana terdapat jabatan jaksa yang bertugas menjalankan pengadilan istana. Untuk
menciptakan ketertiban di seluruh kerajaan, diciptakan peraturan yang dinamakan
anger-anger yang harus dipatuhi oleh seluruh penduduk.
d.
Aspek
Kehidupan Ekonomi dan Kebudayaan
Kerajaan Mataram adalah kelanjutan dari
Kerajaan Demak dan Pajang. Kerajaan ini menggantungkan kehidupan ekonominya
dari sektor agraris. Hal ini karena letaknya yang berada di pedalaman. Akan
tetapi, Mataram juga memiliki daerah kekuasan di daerah pesisir utara Jawa yang
mayoritas sebagai pelaut. Daerah pesisir inilah yang berperan penting bagi arus
perdagangan Kerajaan Mataram.
Kebudayaan yang berkembang pesat pada
masa Kerajaan Mataram berupa seni tari, pahat, suara, dan sastra. Bentuk
kebudayaan yang berkembang adalah Upacara Kejawen yang merupakan akulturasi
antara kebudayaan Hindu-Budha dengan Islam.
Di samping itu, perkembangan di bidang
kesusastraan memunculkan karya sastra yang cukup terkenal, yaitu Kitab Sastra
Gending yang merupakan perpaduan dari hukum Islam dengan adat istiadat Jawa yang
disebut Hukum Surya Alam.
e.
Kemunduran
Mataram Islam
Kemunduran Mataram Islam berawal saat
kekalahan Sultan Agung merebut Batavia dan menguasai seluruh Jawa dari Belanda.
Setelah kekalahan itu, kehidupan ekonomi rakyat tidak terurus karena sebagian
rakyat dikerahkan untuk berperang.
5.
Kerajaan
Makassar
a.
Awal
Perkembangan Kerajaan Makassar
Di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-16
terdapat banyak kerajaan, tetapi yang terkenal adalah Gowa, Tallo, bone, Wajo,
Soppeng, dan Luwu. Berkat dakwah dari Datuk ri Bandang dan Sulaeman dari
Minangkabau, akhirnya Raja Gowa dan Tallo masuk Islam (1605) dan rakyat pun
segera mengikutinya.
Kerajaan Gowa dan Tallo akhirnya dapat
menguasai kerajaan lainnya. Dua kerajaan itu lazim disebut Kerajaan Makassar.
Dari Makasar, agama Islam menyebar ke berbagai daerah sampai ke Kalimantan
Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Makassar merupakan salah
satu kerajaan Islam yang ramai akan pelabuhannya. Hal ini, karena letaknya di
tengah-tengah antara Maluku, Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan Malaka.
b.
Aspek
Kehidupan Politik dan Pemerintahan
Kerajaan Makassar mula-mula diperintah
oleh Sultan Alauddin (1591-1639 M). Raja berikutnya adalah Muhammad Said
(1639-1653 M) dan dilanjutan oleh putranya, Hasanuddin (1654-1660 M). Sultan
Hasanuddin berhasil memperluas daerah kekuasaannya dengan menundukkan
kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi Selatan, termasuk Kerajaan Bone. VOC
setelah mengetahui Pelabuhan Makassar, yaitu Sombaopu cukup ramai dan banyak
menghasilkan beras, mulai mengirimkan utusan untuk membuka hubungan dagang.
Setelah sering datang ke Makassar, VOC mulai membujuk Sultan Hasanuddin untuk
bersama-sama menyerbu Banda (pusat rempah-rempah). Namun, bujukan VOC itu
ditolak.
Setelah peristiwa itu, antara Makassar dan VOC mulai terjadi konflik. Terlebih lagi setelah insiden penipuan tahun 1616. Pada saat itu para pembesar Makassar diundang untuk suatu perjamuan di atas kapal VOC, tetapi nyatanya malahan dilucuti dan terjadilah perkelahian yang menimbulkan banyak korban di pihak Makassar. Keadaan meruncing sehingga pecah perang terbuka. Dalam peperangan tersebut, VOC sering mengalami kesulitan dalam menundukkan Makassar. Oleh karena itu, VOC memperalat Aru Palakka (Raja Bone) yang ingin lepas dari kerajaan Makassar dan menjadi kerajaan merdeka.
Setelah peristiwa itu, antara Makassar dan VOC mulai terjadi konflik. Terlebih lagi setelah insiden penipuan tahun 1616. Pada saat itu para pembesar Makassar diundang untuk suatu perjamuan di atas kapal VOC, tetapi nyatanya malahan dilucuti dan terjadilah perkelahian yang menimbulkan banyak korban di pihak Makassar. Keadaan meruncing sehingga pecah perang terbuka. Dalam peperangan tersebut, VOC sering mengalami kesulitan dalam menundukkan Makassar. Oleh karena itu, VOC memperalat Aru Palakka (Raja Bone) yang ingin lepas dari kerajaan Makassar dan menjadi kerajaan merdeka.
c.
Aspek
Kehidupan Ekonomi, Sosial, dan Kebudayaan
Kerajaan Makassar berkembang menjadi
kerajaan maritim. Hasil perekonomian terutama diperoleh dari hasil pelayaran
dan perdagangan. Pelabuhan Sombaupu ( Makassar ) banyak didatangi kapal-kapal
dagang sehingga menjadi pelabuhan transit yang sangat ramai. Dengan demikian,
masyarakatnya hidup aman dan makmur.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Raja
dibantu oleh Bate Salapanga (Majelis Sembilan) yang diawasi oleh seorang
paccalaya (hakim). Sesudah sultan, jabatan tertinggi dibawahnya adalah
pabbicarabutta (mangkubumi) yang dibantu oleh tumailang matoa dan malolo.
Panglima tertinggi disebut anrong guru lompona tumakjannangan. Bendahara
kerajaan disebut opu bali raten yang juga bertugas mengurus perdagangan dan
hubungan luar negeri. Pejabat bidang keagamaan dijabat oleh kadhi yang dibantu
imam, khatib, dan bilal. Hasil kebudayaan yang cukup menonjol dari Kerajaan
Makassar adalah keahlian masyarakatnya membuat perahu layar yang disebut pinisi
dan lambo.
d.
Kemunduran
Kerajaan Makassar
Kemunduran Kerajaan Makassar disebabkan
karena permusuhannya dengan VOC yang berlangsung sangat lama. Ditambah dengan
taktik VOC yang memperalat Aru Palakka ( Raja Bone) untuk mengalahkan Makassar.
Kebetulan saat itu Kerajaan Makassar sedang bermusuhan dengan Kerajaan Bone
sehingga Raja Bone setuju bekerja sama dengan VOC.
6.
Kerajaan
Ternate
a.
Awal
Perkembangan Kerajaan Ternate
Pada abad ke-13 di Maluku sudah berdiri
Kerajaan Ternate. Ibu kota Kerajaan Ternate terletak di Sampalu (Pulau
Ternate). Selain Kerajaan Ternate, di Maluku juga telah berdiri kerajaan lain,
seperti Jaelolo, Tidore, Bacan, dan Obi. Di antara kerajaan di Maluku, Kerajaan
Ternate yang paling maju. Kerajaan Ternate banyak dikunjungi oleh pedagang,
baik dari Nusantara maupun pedagang asing.
b.
Aspek
Kehidupan Politik dan Pemerintahan
Raja Ternate yang pertama adalah Sultan
Marhum (1465-1495 M). Raja berikutnya adalah putranya, Zainal Abidin. Pada masa
pemerintahannya, Zainal Abidin giat menyebarkan agama Islam ke pulau-pulau di
sekitarnya, bahkan sampai ke Filiphina Selatan. Zainal Abidin memerintah hingga
tahun 1500 M. Setelah mangkat, pemerintahan di Ternate berturut-turut dipegang
oleh Sultan Sirullah, Sultan Hairun, dan Sultan Baabullah. Pada masa
pemerintahan Sultan Baabullah, Kerajaan Ternate mengalami puncak kejayaannya.
Wilayah kerajaan Ternate meliputi Mindanao, seluruh kepulauan di Maluku, Papua,
dan Timor. Bersamaan dengan itu, agama Islam juga tersebar sangat luas.
c.
Aspek
Kehidupan Ekonomi, Sosial, dan Kebudayaan
Perdagangan dan pelayaran mengalami
perkembangan yang pesat sehingga pada abad ke-15 telah menjadi kerajaan penting
di Maluku. Para pedagang asing datang ke Ternate menjual barang perhiasan,
pakaian, dan beras untuk ditukarkan dengan rempah-rempah. Ramainya perdagangan
memberikan keuntungan besar bagi perkembangan Kerajaan Ternate sehingga dapat membangun
laut yang cukup kuat.
Sebagai kerajaan yang bercorak Islam,
masyarakat Ternate dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan hukum
Islam . Hal itu dapat dilihat pada saat Sultan Hairun dari Ternate dengan De
Mesquita dari Portugis melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah dibawah
kitab suci Al-Qur’an. Hasil kebudayaan yang cukup menonjol dari kerajaan
Ternate adalah keahlian masyarakatnya membuat kapal, seperti kapal kora-kora.
d.
Kemunduran
Kerajaan Ternate
Kemunduran Kerajaan Ternate disebabkan
karena diadu domba dengan Kerajaan Tidore yang dilakukan oleh bangsa asing (
Portugis dan Spanyol ) yang bertujuan untuk memonopoli daerah penghasil
rempah-rempah tersebut. Setelah Sultan Ternate dan Sultan Tidore sadar bahwa
mereka telah diadu domba oleh Portugis dan Spanyol, mereka kemudian bersatu dan
berhasil mengusir Portugis dan Spanyol ke luar Kepulauan Maluku. Namun
kemenangan tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda untuk
menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil menaklukkan Ternate
dengan strategi dan tata kerja yang teratur, rapi dan terkontrol dalam bentuk
organisasi yang kuat.
7.
Kerajaan
Tidore
a.
Awal
Perkembangan Kerajaan Tidore
Kerajaan tidore terletak di sebelah selatan
Ternate. Menurut silsilah raja-raja Ternate dan Tidore, Raja Ternate pertama
adalah Muhammad Naqal yang naik tahta pada tahun 1081 M. Baru pada tahun 1471
M, agama Islam masuk di kerajaan Tidore yang dibawa oleh Ciriliyah, Raja Tidore
yang kesembilan. Ciriliyah atau Sultan Jamaluddin bersedia masuk Islam berkat
dakwah Syekh Mansur dari Arab.
b.
Aspek
Kehidupan Politik dan Kebudayaan
Raja Tidore mencapai puncak kejayaan
pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780-1805 M). Sultan Nuku dapat menyatukan
Ternate dan Tidore untuk bersama-sama melawan Belanda yang dibantu Inggris.
Belanda kalah serta terusir dari Tidore dan Ternate. Sementara itu, Inggris
tidak mendapat apa-apa kecuali hubungan dagang biasa. Sultan Nuku memang
cerdik, berani, ulet, dan waspada. Sejak saat itu, Tidore dan Ternate tidak
diganggu, baik oleh Portugis, Spanyol, Belanda maupun Inggris sehingga
kemakmuran rakyatnya terus meningkat. Wilayah kekuasaan Tidore cukup luas,
meliputi Pulau Seram, Makean Halmahera, Pulau Raja Ampat, Kai, dan Papua.
Pengganti Sultan Nuku adalah adiknya, Zainal Abidin. Ia juga giat menentang
Belanda yang berniat menjajah kembali.
c.
Aspek
Kehidupan Ekonomi dan Sosial
Sebagai kerajaan yang bercorak Islam,
masyarakat Tidore dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan hukum Islam
. Hal itu dapat dilihat pada saat Sultan Nuku dari Tidore dengan De Mesquita
dari Portugis melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah dibawah kitab suci
Al-Qur’an. Kerajaan Tidore terkenal dengan rempah-rempahnya, seperti di daerah
Maluku. Sebagai penghasil rempah-rempah, kerajaan Tidore banyak didatangi oleh
Bangsa-bangsa Eropa. Bangsa Eropa yang datang ke Maluku, antara lain Portugis,
Spanyol, dan Belanda.
d.
Kemunduran
Kerajaan Tidore
Kemunduran Kerajaan Tidore disebabkan
karena diadu domba dengan Kerajaan Ternate yang dilakukan oleh bangsa asing (
Spanyol dan Portugis ) yang bertujuan untuk memonopoli daerah penghasil
rempah-rempah tersebut. Setelah Sultan Tidore dan Sultan Ternate sadar bahwa
mereka telah diadu domba oleh Portugis dan Spanyol, mereka kemudian bersatu dan
berhasil mengusir Portugis dan Spanyol ke luar Kepulauan Maluku. Namun
kemenangan tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda untuk
menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil menaklukkan Ternate
dengan strategi dan tata kerja yang teratur, rapi dan terkontrol dalam bentuk
organisasi yang kuat.
B.
Sejarah dan
Peran Pondok Pesantren
Sejarah pendidikan
agama Islam yang independent, kemudian populer dengan jargon “Pesantren”
sebenarnya merupakan sejarah tipologi Institusi Pendidikan Islam yang usianya
sudah mencapai ratusan tahun, para ahli sejarah mencatat bahwa eksistensi
pondok pesantren telah lahir jauh sebelum Republik Indonesia dibentuk. Hampir
di seluruh penjuru Nusantara, terutama di pusat-pusat Kerajaan Islam telah
banyak para ulama yang mendirikan pondok pesantren dan menelorkan ratusan
bahkan ribuan alumni yang mumpuni di medan perjuangan masyarakat beragama.
Sebagai Lembaga
Pendidikan Islam pertama yang mendukung keberlangsungan pendidikan Nasional,
Pesantren tidak hanya berkembang sebagai Lembaga yang isinya cuma ngaji dan
menelaah kitab salaf melulu, sekaligus juga berperan penting bagi
keberlangsungan komunitas yang mempertahankan tradisional sebagai wajah bagi
keaslian budaya Indonesia, disamping Lembaganya yang bercorak pribumi
(indegenous), pesantren juga mampu merekonstruksi budaya kemarut yang kian
menghantam jantung ideology masyarakat Indonesia. Maka dalam Sejarahnya,
perkembangan pesantren telah memainkan peran sekaligus kontribusi penting dalam
pembangunan Indonesia. Sebelum Kolonial Belanda masuk ke Nusantara, pesantren
tidak hanya berperan sebagai Lembaga Pendidikan yang berfungsi menyebarkan
ajaran Islam sekaligus juga mengadakan perubahan-perubahan tertentu menuju
keadaan masyarakat yang lebih baik (progresif). Sebagaimana tercermin dalam
berbagai pengaruh pesantren bagi kelancaran kegiatan politik para raja dan
pangeran di-Jawa, kegiatan perdagangan dan pembukaan pemukiman daerah baru. Di
saat Penjajah Belanda menduduki Kerajaan-Kerajaan di Nusantara, pesantren malah
menjelma sebagai pusat perlawanan dan pertahanan terhadap Kolonial Belanda,
Inggris, dan Jepang. Bahkan, pasca kemerdekaan tahun 1959-1965, pesantren masih
dikategorikan sebagai ‘Alat Revolusi’ dan ‘Bahan Peledak’ yang mampu
menghancurkan kelancaran politik yang stagnan. Dan saat memasuki orde baru,
pesantren dipandang sebagai ‘potensi pembangunan’ negara bagi masyarakat
Indonesia.
Geneologi ideology
pesantren dapat dirujuk kepada tumbuh kembangnya pesantren yang cukup panjang.
Sebagai salah satu wujud entitas budaya, Pesantren ternyata mampu survive
mempertahankan diri ditengah kehidupan masyarakat modern dan kebangsaan global
sepanjang jaman. Awalnya, pesantren tumbuh sebagai simbol perlawanan terhadap
agama dan kepercayaan poliestik, khurafat dan takhayul. Kehadiran Pesantren di
tanah air selalu diawali dengan perang nilai antara “nilai putih” yang dibawa Pesantren
dengan “nilai hitam” yang telah mengakar kuat dalam tradisi masyarakat Jawa.
Sehingga pertarungan tersebut selalu dimenangkan pihak pesantren sekalipun
sinkretisasi antara kejawen dan ajaran Islam sulit dibantahkan.
Kapan dan dimana
model pesantren pertama kali didirikan masih terjadi perbedaan. Ada yang
mengatakan bahwa pesantren sudah ada sejak abad ke-16 M yang ditandai dengan
munculnya karya-karya Jawa klasik, seperti Serat Cabolek dan Serat Centini,
sejak abad ke-16 M. di Indonesia telah banyak dijumpai Lembaga-Lembaga yang
mengajarkan pelbagai kitab Islam klasik dan disiplin ilmu pengetahuan Islam
seperti Fiqh, Aqidah, Tasawuf, dan variable ilmu Islam yang universal. Di
samping itu, ada pula yang mengatakan bahwa sistem pendidikan pesantren tak
lain dan tak bukan adalah “jiplakan” dari sistem pendidikan Hindu-Budha pada
abad ke-18 M. Dengan demikian, sejak abad ke 19-20, model pendidikan pesantren
mulai banyak mengalami perubahan diberbagai segi sosial sebagai konsekuensi
logis dari “muncratnya trend jaman” akibat terpengaruh globalisasi. Bahkan,
tidak sedikit akhir-akhir ini dari Lembaga-Lembaga Pesantren yang mulai
menerjuni dunia pendidikan sebagai alternative pembangunan bangsa kearah yang
lebih baik .
Tidak sedikit
kontribusi yang diberikan Pesantren dalam pembangunan nation-state selama ini.
Tengoklah pada masa penjajahan, Pesantren telah memainkan perlawanan dan
mengambil posisi uzlah sebagai bentuk perlawanan sekaligus pertahanan dari para
penjajah. Sebab dari uzlah inilah sebuah pesantren mampu mendapatkan stereotip
dari Pemerintah Kolonial yang pada waktu itu dikonotasikan sebagai Lembaga
Pendidikan yang semrawut, sehingga banyak orang yang tidak tahu secara jelas
sampai mana batas-batas Lembaga Pendidikan Pesantren apakah sebagai Lembaga
Sosial, ataukah Lembaga Penyiaran Agama. Banyak para Kyai yang kedudukannya
juga ikut-ikut tidak jelas apakah peran mereka sebagai guru, pemimpin
spiritual, penyiar agama ataukah sebagai pekerja social, sehingga masih banyak
Lembaga Pesantren yang hingga detik ini tidak mendapat stigmatisasi pendidikan,
sistem evaluasi, metode pengajaran, dan sebagainya.
Karena anggapan
miris Pemerintah Kolonial pada waktu itu, maka Pesantren lebih memprioritaskan
diri untuk pengajaran fiqh-sufistik daripada hal-hal yang berkaitan langsung
dengan masalah keduniawian. Tentu saja prioritas ini menimbulkan kerugian
sekaligus keuntungan. Keuntungannya, pesantren menjelma menjadi Lembaga
Pendidikan yang berhasil mengembangkan pertahanan mental spiritualitas,
solidaritas, dan kesederhanaan hidup yang kokoh. Namun di sisi lain, kerugian
yang harus ditanggung pesantren ialah, pesantren seakan-akan telah terlepas
dari kehidupan nyata, tidak membumi, terlalu melangit ke akhirat serta kurang
mengapresiasi diri bahkan melupakan kehidupan duniawi.
Pada masa
pergerakan dan persiapan kemerdekaan saja, pesantren berperan sebagai pusat
perjuangan / gerilyawan seperti Hizbullah dan Sabilillah. Pada masa-masa awal
pembentukan Tentara Nasional Indonesia khususnya Angkatan Darat, banyak berasal
dari santri dan sedikitnya diwarnai oleh kultur santri. Banyak dari para Kyai
dan pengasuh pesantren menjadi pemimpin diplomasi yang cukup piawai untuk
menegakkan kemerdekaan Indonesia melalui penyusunan dasar-dasar institusi
negara. Meski saat itu, Lembaga Pendidikan Pesantren masih menjadi Lembaga
Pendidikan Agama yang bercorak fiqh-gnostik dan klinik sosial-keagaman
masyarakat.
Pada abad ke-20,
pesantren mampu mereposisi diri kearah sistem pendidikan yang berorientasi ke
arah masa depan dengan tanpa menghilangkan tradisi-tradisi yang baik, dengan
berpedoman kepada prinsip “al-muhafadzah alâ al-qadîm ash-shalih wa al-akhd bî
al-jadîd al-ashlah”. Sejak tahun 1970-an, Pesantren mulai mengidentifikasi
kelemahan dan kekurangan dengan berusaha mengadaptasi dan mengakomodasi
perubahan-perubahan khususnya di bidang pendidikan, perubahan pendidikan
khususnya masalah pendidikan meliputi orientasi pendidikan serta aspek-aspek
administrasinya, diferensiasi struktural dan ekspansi kapasitas bahkan
transformasi kelulusan yang berkenaan dengan nilai, sikap, dan perilakunya.
Pondok Pesantren Lirboyo yang terletak di kawasan Kota Kediri saja pada abad
ke-20, mulai mengajarkan pendidikan ketrampilan di pelbagai bidang. Seperti
menjahit, pertukangan, perbengkelan, peternakan, dan sebagainya. Pendidikan
ketrampilan ini diberikan dengan tujuan supaya civitas pesantren memiliki
wawasan keduniawian sesuai profesi yang diinginkan melalui pendidikan
ketrampilan, santri tidak hanya fasih dalam hal-hal yang bersifat karitas
atau charitable, tetapi juga professional menghadapi hal-hal yang bersifat
sekuler, pragmatis, dan kalkulatif.
Dengan demikian,
para sejarawan akhirnya berhasil menyimpulkan bahwa sejarah geneologi sistem
pendidikan ala pesantren sebenarnya dapat ditelusuri dari era sebelum masuknya
Agama Islam. Istilah pesantren yang berawal dari surau Sunan Ampel dianggap
oleh sebagian ahli sejarah sebagai tonggak eksistensi awal munculnya bendera
Lembaga Pendidikan Pesantren dalam rangka mentransfomasikan keilmuan dan
kebangkitan Islam di Indonesia. Berawal dari tempat inilah, Pesantren menjelma
sebagai Lembaga Pendidikan rakyat yang berorientasi mencetak agen-agen
perubahan dan pembangunan masyarakat.
C.
Pesantren sebagai Benteng Aswaja
Di samping sistem pendidikannya yang amat sederhana,
di dalamnya juga terdapat interaksi sosial antara Kyai atau ustadz yang
berperan penting sebagai guru bagi para santri dan telah menjadikan standar
pendidikan yang cukup efektif bagi keberlangsungan sumber daya manusia. Kyai,
sebagai top leader (uswah) yang menjadi pemimpin tunggal, aktif mengatur
langsung komunitas yang diembannya, mulai urusan para tamu, santri baru,
penentuan kitab-kitab kajian hingga berbagai aktifitas yang dijalankan dalam
tubuh Pesantren. Bertambah banyaknya santri, biasanya menjadikan Kyai menunjuk
santri seniornya menjadi Lurah Pondok. Melalui Lurah inilah, semua urusan Kyai
didelegasikan. Sejarah metodologi pendidikan salaf semacam ini tak ayal
menempatkan Pesantren sebagai “kerajaan-kerajaan kecil” (muluk al-thawaif, emiret),
dimana antara satu Pesantren dengan yang lain memiliki aturan dan aktifitas
yang berbeda.
Kini, seiring dengan perkembangan waktu, Lembaga yang
sering disebut-sebut “tradisional” itu, memasuki era globalisasi dan milenium
ketiga dan mendapat sorotan cukup tajam. Masalahnya, meski dikatakan
tradisional, toh kenyataannya, Pesantren sampai sekarang masih tetap eksis,
bahkan mendapat simpati dan animo masyarakat luas. Terlebih lagi dalam merespon
krisis berkepanjangan di Indonesia. Karenanya, topik sejarah berdirinya Pondok
Pesantren Lirboyo, pelestarian dan penerapannya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara di tinjau dari berbagai manfaat guna dijadikan sebagai suri tauladan
umat.
Hal ini tak lain karena “omongan” para ahli sejarah
yang memprediksikan bahwa keberadaan Pesantren di Indonesia merupakan benteng
pertahanan terakhir bagi spiritualitas Negara Kesatuan Repuplik Indonesia
maupun Umat Islam di negeri ini. Harus di akui bahwa sejarah berdirinya
republik ini tak lepas dari jasa para ulama alumnus pesantren, begitu pula
dengan lenyapnya komunitas serta gerakan pengacau Republik Indonesia. Bagi umat
Islam, melalui Pesantrenlah mereka berharap kontinuitas estafet dakwah Islam
terus dilanjutkan. Hilangnya Pesantren, berarti lenyapnya para ulama (agamawan)
serta orang-orang shalih. Kalau sudah demikian, maka tinggal tunggu kehancuran
keindahan spiritual agama tersebut. Sungguhpun saat ini telah menjamur
institusi pendidikan formal yang berlabelkan Islam, akan tetapi out-put Lembaga
mereka nyata-nyatanya tidak mampu menelorkan para ulama yang menjadi pewaris
para Nabi.
Apalagi jika menengok sejarah penanaman nilai-nilai
moral dan metodologi pendidikan salaf bernafas religius seperti yang diterapkan
Pondok Pesantren Lirboyo sampai saat ini ternyata mampu membuktikan dirinya
mempertahankan anak bangsa dari erosi akhlaq dan dekadensi moral. Pembentukan
jati diri manusia yang ber-akhlakul karimah hingga terwujudnya insan paripurna
merupakan salah satu misi Lembaga-Lembaga Pesantren Salaf di Indonesia. Sikap
Kyai yang tulus, ikhlas, sabar. Tawakal (berserah diri), tawadlu’ (hormat),
jujur serta independensi merupakan dinamika energy power bagi nilai-nilai luhur
Bangsa dan Negara. Manusia-manusia tipe mereka saat ini sungguh langka
ditemukan. Padahal hanya dengan jiwa yang terpatri pada nilai-nilai mulia
itulah Bangsa Indonesia bisa terselamatkan dari dekadensi moral serta
penyakit-penyakit lain yang akan menyeret Bangsa ke dalam kondisi “krisis”
berkepanjangan, tidak mustahil jika nantinya terjadi big bang kehancuran bagi
umat manusia.
Sejarah independensi Pesantren dari generasi ke
generasi telah membuktikan betapa kokohnya Lembaga-Lembaga ini dalam memikul
beban meneruskan perjuangan Nabi dan Rasul. Di tambah, dengan sejarah
keberadaan Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Islam tidak hanya berperan atas
unsur politik dan ekonomi, tapi lebih dari itu, ia hadir sebagai bentuk
tingginya animo masyarakat atas keilmuan para ulama salaf. Sejak era Kolonial
sampai Kemerdekaan, keberadaan Pesantren yang berdiri baik di wilayah pedesaan
atau pinggiran. Demografis serta doktrin jihad yang diterapkan, menjadikan
Pesantren tidak hanya sebagai pusat pendidikan rakyat tetapi telah menjadi
simbol kebudayaan Bangsa Indonesia itu sendiri.
D.
Nilai - Nilai Pesantren
Harus diakui bahwa pada dasarnya, Pesantren dibangun
atas dasar keinginan bersama dua komunitas yang saling bertemu. Komunitas
santri yang ingin menimba ilmu sebagi bekal hidup dan kyia/guru yang secara
ihklas ingin mengajarkan ilmu dan pengalamannya. Relasi simbiosis mutualisme
ini saling melangkapi, santri dan Kyai merupakan dua entitas yang memiliki
kesamaan kesadaran dan bersama-sama membangun komunitas keagamaan yang kemudian
disebut Pesantren. Kyai, ustadz, dan santri hidup dalam satu keluarga besar berlandaskan
nilai-nliai Agama Islam yang dilengkapi dengan norma-norma.
Komunitas keagamaan Pesantren berlandaskan oleh
keinginan tafaqquh fî ad-dîn (mendalami ajaran Agama), dengan kaidah yang
menjadi soko gurunya, al-muhafadzah alâ al-qadîm ash-shalih wa al-akhd bî
al-jadîd al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi
baru yang lebih baik). Keinginan dan kaidah ini merupakan nilai pokok yang
melandasi kehidupan dunia pesantren. Suatu bentuk falsafah yang cukup
sederhana, tetapi mampu mentransformasikan potensi dan menjadikan diri
Pesantren sebagai agent of change bagi masyarakat. Sehingga, eksistensi
Pesantren identik dengan Lembaga pemberdayaan serta pengembangan masyarakat.
Selain kedua nilai diatas, eksistensi pesantren
menjadi kokoh karena dijiwai oleh panca-jiwa, Seperti jiwa keihlasan yang tidak pernah didorong oleh ambisi apapun
untuk memperoleh keuntungan tertentu, khsusnya material, melainkan karena
semata-mata karena beribadah kepada Allah. Jiwa keikhlasan memanifestasikan dalam
segala rangkaian sikap dan perilaku serta tindakan yang dilakukan secara ritual
oleh komunitas pesantren. Jiwa kiekhlasan ini dilandasi oleh keyaqinan bahwa
perbuatan baik pasti diganjar oleh Allah dengan sesuatu yang tak bisa
dilukiskan oleh akal.
Selain itu dalam budaya Pesantren salaf juga telah
terpatri jiwa kesederhanaan, kata’sederhana’ disini bukan berarti pasif,
melarat, miskin, dan menerima apa adnya, akan tetapi lebih dari itu mengandung
unsur kekuatan dan ketabahan hati, kemampuan mengendalikan diri dan kecakapan
menguasai diri dalam menghadapi kesulitan. Dibalik jiwa kesederhanaan ini
tersimpan jiwa yang besar, berani, maju, dan pantang menyerah dalam menghadapi
dinamika sosial secara kompetitif. Jiwa kesederhanaan ini menjadi ‘baju’ identitas
yang paling berharga bagi civitas santri dan Kyai. Apalagi dengan adanya jiwa
kemandirian yang peranannya mampu mengurusai persoalan-persoalan internal
pesantren, namun kesanggupan membentuk Pesantren sebagai institusi pendidikan
Islam yang independen, tidak menggantungkan diri kepada bantuan dan pamrih
pihak lain. Pesantren dibangun diatas pondasi kekuatan sendiri sehingga banyak
dari mereka yang benar benar menjadi merdeka, otonom dan mandiri di dalam
budaya Pesantren salaf, biasanya ada jiwa kebebasan dalam mengandalkan civitas
Pesantren sebagai manusia yang kokoh dalam memilih jalan hidup dan masa
depannya, hanya dengan jiwa besar dan sikap optimis inilah maka dalam lembaran
sejarahnya, Pesantren mampu mengahadapi segala problematika kehidupan umat manusia
dengan dilandasi nilai-nilai Islam. Kebebasan ini juga berarti sikap
kemandirian yang tidak berkenan didikte oleh pihak luar dalam membangun
orientasi kepesantrenan dan kependidikan. Sehingga muncullah jiwa jiwa lain
seperti ukhuwwah Islamiyyah, jiwa ini memanifesatasi dalam keseharian civitas
Pesantren yang bersifat dialogis, penuh keakraban, penuh kompromi, dan
toleransi. Jiwa ini mematri suasana sejuk, damai, saling membantu, senasib dan
saling mengharagai bahkan saling mensupport dalam pembentukan dan pengembangan
idealisme santri. Semua itu menjadikan Pesantren tetap “bernilai” dan
mampu eksis sepanjang sejarah kehidupan dan dinamika jaman. Globalisasi
teknologi industry yang massif dan mendunia tidak menggoyahkan eksistensi
Pesantren sebagai penjaga sekaligus pelestari nilai-nilai luhur. Dikarenakan
Pesantren hanya tergantung terhadap kebenaran mutlak (tuhan) yang diaktualisasi
dalam fiqh-sufistik yang berorientasi kepada amalan ukhrawiy, maka kebenaran
didalamnya relative bersifat empiris pragmatis dalam memecahkan beragam
persoalan kehidupan sesuai dengan hukum agama. Semua aktivitas Pesantren selalu
mengacu kepada keseimbangan antara ukhrawiy dan duniawi. Keimanan civitas
Pesantren senantiasa memanifestasikan setiap perilaku, sikap dan tindakan
sehari-hari. Karena itulah, identitas Kyai dan santri menjadi sesuatu yang
layak diteladani bagi setiap pengembangan masayarakat secara utuh.
Nilai kemandirian yang menjadi pondasi eksistensial
pesantren merupakan nilai utama paling signifikan bagi perubahan sosial dan
budaya yang otonom. Dengan kemandiriannya, Pesantren telah mampu menjelma
sebagai creative cultural makers dan figure sang kyai sangat penting dalam
kehidupan bermasyrakat. Sehingga, profesi Kyai selain sebagai pengasuh Pondok
juga sebagai tokoh masyarakat, mediator, dan pialang. Kenyatan semacam ini
tentu saja disebabkan Kyai mempunyai integritas keilmuan tinggi yang mampu
mempriteksi kesadaran masyarakatnya sehingga terbentuk komunitas keagamaan dan
budaya kemandirian. Dengan kemandiriannya pula, Pesantren mampu terlepas dari
jerat-jerat dependensi dan hegemoni pihak lain.
E.
Pesantren, Institusi Pendidikan Yang
Komprehensif
Rentang waktu yang kian panjang mengantarkan berbagai
Pondok pesantren mengalami perubahan yang amat signifikan, baik di teropong
dari metodologi pendidikan maupun mekanisme struktur pondok pesantren yang
diterapkannya. Jika dahulu Pesantren hanya menggunakan sistem bandongan kini
telah banyak menggunakan sistem modern. Jika dahulu banyak Pesantren yang masih
bergelut dalam khazanah kutub as-salaf sebagai kurikulum pendidikan, kini telah
banyak di antara pesantren (meskipun sebagian besar juga belum) yang memasukkan
pelajaran umum sebagai kurikulum dalam metodologi pendidikannya, pembaharuan
ini tentu saja dinilai sebagai eksistensi Pesantren dengan harapan bahwa kelak
para alumninya mampu menggembleng masyarakat dengan berbagai kedisiplinan ilmu
yang membumi. Meski di lain pihak, banyak pula sebagian pesantren yang masih
memegang teguh corak stagnasi pendidikan salaf (konservatif dan cenderung
eksklusif), dengan harapan mampu menjaga ke-orisinal-an substansi pendidikan
pesantren seperti yang diinginkan para pendahulunya.
Pondok Pesantren Lirboyo yang berareal di Kawasan Kota
Kediri merupakan satu diantara ribuan Pesantren yang hingga kini masih tetap
percaya diri memegang teguh corak dinamisasi metodologi pendidikan salafnya.
Fenomena ini bukan berarti Pondok Lirboyo antipati terhadap perkembangan
modernisasi zaman, terbukti, meski masih memegang teguh corak pendidikan salaf,
Pondok Lirboyo banyak mengadakan variable rekonstruksi kegiatan ekstrakulikuler
berupa pendidkan bahasa Inggris, Komputer, jurnalistik dan berbagai macam
dinamisasi modern yang marak di tengah masyarakat dunia. Wallahu A’lam.
F.
Perkembangan Pendidikan Islam Pada
Masa Belanda
Pada pertengahan abad 19 M. perkembangan lembaga
pendidikan mencapai tingkat tinggi. Hal ini karena meningkatnya jumlah jama’ah
haji ke Makkah yang mengakibatkan banyak orang yang ahli dalam bidang agama
yang membuka lembaga pendidikan. Bahkan tahun 1882 M. menurut catatan terdapat
300 pesantren di Jawa dan Madura. Hal itu ditambah lagi banyaknya orang-orang
Hadhramaut yang bermigrasi dan mencari penghidupan yang layak di Indonesia yang
juga membuka wawasan baru.
Wawasan baru tersebut mengakibatkan sistem madrasah
yang berkembang di Timur Tengah berkembang pula di Indonesia, baik isi dan
materinya sama. Pada akhir abad 19 M. Belanda mendirikan sekolah-sekolah untuk
tenaga kerja untuk kepentingan perusahaan Belanda. Pada awal abad 20 M. Belanda
mulai memberikan pendidikan kepada masyarakat yang menggunakan sistem
pendidikan Liberal. Namun, hanya diperuntukkan bagi bangsawan dan pegawai pemerintah.
Sehingga lembaga pendidikan agama tetap menjadi lembaga pendidikan yang bisa
ditempati masyarakat pribumi.
G.
Pendidikan Islam terhadap kebijakan
pemerintah Belanda
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa kedatangan
penjajah Belanda di bumi Nusantara untuk mengemban fungsi ganda, yaitu
melakukan penjajahan dan salibisasi. Oleh karena itu, semboyan
yang terkenal dari penjajah Belanda adalah Glory (kemenangan atau kekuasaan),
Gold (emas atau kekayaan bangsa Indonesia), dan Gospel (upaya sabilisasi
terhadap umat Islam di Indonesia).
Dengan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa
terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia,
penjajah Belanda cenderung merugikan umat Islam. Penjajah Belanda berusaha
menghambat perkembangan pendidikan Islam, dengan terang-terangan membiayai
misionaris Kristen.
Banyak sikap mereka yang merugikan lajunya
perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, misalnya:
- Setiap sekolah atau madrasah/pesantren harus memliki ijin dari Bupati atau pejabat pemerintah Belanda.
- Harus ada penjelasan dari sifat pendidikan yang sedang dijalankan secara terperinci.
- Para guru harus membuat daftar murid dalam bentuk tertentu dan mengirimkannya secara periodic kepada daerah yang bersangkutan.
Pada dasarnya banyak kerugian yang diderita oleh umat
Islam dalam persoalan pendidikan pada masa penjajahan Belanda. Bahkan, tidak
sedikit sekolah yang terpaksa ditutup atau dipindahkah karena ulah penjajah
Belanda terhadap bangsa Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda ini, proses
pendidikan Islam mengalami banyak tantangan dan hambatan, akan tetapi para
tokoh Islam tetap giat dan gigih dalam memperjuangkannya.
Pada akhir abad 19 M. Belanda mendirikan sekolah-sekolah
untuk tenaga kerja untuk kepentingan perusahaan Belanda. Pada awal abad 20 M.
Belanda mulai memberikan pendidikan kepada masyarakat yang menggunakan sistem
pendidikan Liberal, sebagaiamana dijelaskan di atas, sebagai tandingan dari
perkembangan pesantren. Namun, hanya diperuntukkan bagi bangsawan dan pegawai
pemerintah. Sehingga lembaga pendidikan agama tetap menjadi lembaga pendidikan
yang bisa ditempati masyarakat pribumi.
Hal ini menjadi momentum awal bagi modernisasi
pesantren. Apalagi pada awal abad ke- 20 M. para pembaharu Muslim, dalam rangka
menjawab menjawab tantangan kolonialisme dan ekspansi Kristen, banyak
mendirikan madrasah-madrasah modern yang secara terbatas mengadopsi sistem
pendidikan Belanda. Karena itu pesantren mengadopsi tiga pembaharuan dalam
sistem pendidikannya:
–
Dibukanya pesantren untuk santri putri yang ditandai oleh pesantren Denanyar
Jombang
–
Diadopsinya sistem madrasah untuk santri tingkat lanjut, namun sistem ini tidak
diadopsi untuk mengganti sistem tradisional yang telah ada, namun untuk
menambah.
–
Diadopsinya beberapa mata pelajaran umum ke kurikulum pesantren. Pesantren
Tebuireng Jombang dan Singasari Malang misalnya, mengajarkan bahasa Indonesia,
bahasa Belanda, berhitung, ilmu bumi, dan lain-lain.
Pada tahun 1882 M. pemerintah Belanda mendirikan Priesterraden,
lembaga yang mengawasi pendidikan dan kehidupan agama penduduk pribumi. Dari
lembaga ini, pemerintah pada tahun 1905 mengeluarkan Goeroe Ordonantie
yang mengatur siapa saja yang mengajar Islam harus minta izin pemerintah. Pada
tahun 1925 M. dikeluarkan Goeroe Ordonantie baru, yaitu mengatur bahwa
guru-guru agama cukup memberikan informasi tertulis kepada pemerintah. Namun
pada masa ini tidak semua Kiai boleh memberikan pengajaran mengaji. Hal itu
lebih dikarenakan adanya gerakan organisasi pendiidkan yang tumbuh pesat seperti
Muhammadiyah, PSI, dan lain sebagainya. Pada tahun 1932 M. pemerintah
mengeluarkan Wilde School Ordonantie yang mengawasi madrasah dan sekolah
yang tidak memiliki izin dan mengajarkan materi yang dilarang oleh pemerintah
dan lembaga yang seperti ini harus ditutup. Peraturan keluar setelah munculnya
gerakan nasionalisme-islamisme yang dianggap akan merongrong kekuasaan Belanda.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah
Belanda telah banyak merugikan pendidikan Islam yang berkembang pada masa itu.
Namun, para cendekiawan-cendekiawan muslim tidak kenal menyerah dan dengan
gigih terus memperjuangkan pendidikan Islam, walaupun harus melalui berbagai
hambatan, halangan, dan rintangan
H.
Keadaan Pesantren Pada Zaman Penjajahan
Pemerintah kolonial khususnya Belanda, berusaha
menekan dan mendiskreditkan pendidikan Islam yang dikelola oleh pribumi, tak
terkecuali pondok pesantren. Penyelenggaraan pendidikan di pesantren menurut
kolonial Belanda terlalu jelek dan tidak memungkinkan untuk menjadi sekolah-sekolah
modern. Oleh karena itu, mereka mengambil alternatif kedua, yaitu mendirikan
sekolah-sekolah sendiri yang tidak ada hubungannya dengan lembaga pendidikan
yang telah ada.
Antara kedua sistem pendidikan tersebut terdapat
perbedaan yang cukup mencolok, dan bahkan bisa dikatakan kontradiksi atau
bertentangan. Perbedaan-perbedaan tersebut yaitu:
a.
Pendidikan yang diselenggarakan dan dibiayai oleh pemerintah belanda
bersifat netral. Pendidikan diselenggarakan berdasarkan perbedaan kelompok elit
yang bisa dipergunakan untuk mempertahankan politik dan ekonomi Belanda di
negeri jajahannya.
b.
Pendidikan di madrasah dan pondok pesantren tidak terlalu memikirkan bagaimana cara hidup
harmonis di dunia, tetapi menekankan pada bagaimana memperoleh penghidupan.
Dengan didirikannya lembaga pendidikan atau sekolah
yang diperuntukkan sebagian bangsa indonesia tersebut, semenjak itulah terjadi
persaingan antara lembaga pendidikan pesantren dan lembaga pendidikan
pemerintah. Persaingan yang terjadi tersebut bukan hanya dalam segi ideologis
dan cita-cita pendidikan saja, melainkan juga dalam bentuk perlawanan politis
dan bahkan fisik (peperangan). Perlawanan melawan pemerintah kolonoal Belanda
pada abad ke-19 mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pesantren. Perang-perang
besar seperti Perang Diponegoro, Perang Paderi, Perang Banjar, sampai
perlawanan-perlawanan rakyat yang bersifat lokal yang tersebar di mana-mana
didukung sepenuhnya oleh tokoh-tokoh pesantren dan alumni-alumninya. Merekalah
yang memegang peranan utama.
Pada tahun 1882 didirikan Priesterreden
(Pengadilan Agama) oleh pemerintah kolonial. Tugas-tugasnya adalah mengadakan
pengawasan terhadap pendidikan pesantren. Tidak lama setelah itu, dikeluarkan
ordonasi tahun 1905 yang berisi ketentuan-ketentuan pengawasan terhadap
perguruan yang hanya mengajarkan agama (pesantren) dan guru-guru agama yang
akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat.
Semenjak itulah muncul berbagai usaha pembaharuan
dalam berbagai aspek kehidupan sosial, budaya dan peradaban umat Islam,
termasuk usaha pembaharuan pendidikan Islam.
Pada garis besarnya, ide pembaharuan dalam bidang
pendidikan yang berkembang di dunia Islam bisa digolongkan menjadi tiga
kelompok, yaitu:
a.
Pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada pola pendidikan modern
di barat, yakni mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebudayaan.
b.
Pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada pemurnian kembali
ajaran Islam.
c.
Pola pembaharuan yang berorientasi pada kekuatan-kekuatan dan latar
belakang historis atau pengembangan sumber daya nasional atau bangsa
masing-masing.
Tampaknya, ketiga pandangan tersebut mempunyai
pengaruh terhadap perkembangan dan pembaharuan dan sistem pendidikan Islam di
Indonesia menjelang dan awal abad ke-20. Beberapa pesantren mulai
memperkenalkan sistem madrasah, sebagaimana sistem yang berlaku di
sekolah-sekolah umum, kendati pelajarannya masih ditekankan pada pelajaran
agama saja. Pada perkembangan berikutnya, madrasah-madrasah mengajarkan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan umum.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Jadi perjalanan aswaja paska walisongo
dapat meliputi mengenai : Perjalanan Aswaja
dipelopori Kerajaan Islam di Nusantara, Sejarah dan Peran Pondok Pesantren, Pesantren sebagai Benteng Aswaja, Nilai - Nilai Pesantren, Pesantren,
Institusi Pendidikan Yang Komprehensif, Perkembangan Pendidikan
Islam Pada Masa Belanda, Pendidikan Islam terhadap kebijakan pemerintah Belanda, Keadaan
Pesantren Pada Zaman Penjajahan.
2.
Saran
Kami yakin dalam penulisan makalah ini banyak sekali
kekurangannya. Untuk itu kami mohon kepada para pembaca agar dapat memberikan
saran, kritikan, atau mungkin komentarnya demi kelancaran tugas ini dan untuk
tugas selanjutnya agar bisa lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar