Selasa, 12 Juli 2016

PERBEDAAN ASWAJA DENGAN IKHWANUL MUSLIMIN (IM), HIZBUT TAHRIR (HT), JAMA’AT TABLIG (JT), JAMA’AH ISLAMIYYAH (JI) INDONESIA, AHMADIYYAH QADIYANIYYAH (AQ) , JAMA’AH ANSHARUT TAUHID (JAT), FRONT PEMBELA ISLAM (FPI)

PERBEDAAN ASWAJA DENGAN IKHWANUL MUSLIMIN (IM), HIZBUT TAHRIR (HT), JAMA’AT TABLIG (JT), JAMA’AH ISLAMIYYAH (JI) INDONESIA, AHMADIYYAH QADIYANIYYAH (AQ) , JAMA’AH ANSHARUT TAUHID (JAT), FRONT PEMBELA ISLAM (FPI)

Oleh
1.     Ana Dian Diriyani         (151120001701)
2.     Gema Dwita Sari           (151120001702)
3.     Fatma Ayu Faradila      (151120001748)
4.     Muhammad Taufiq       (151120001737)
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’
(UNISNU) JEPARA
2016
 
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia, rahmat serta hidayahnya kepada kami. Sholawat serta salam tak lupa kami haturkan kepada junjungan kita Nabi agung Muhammad SAW sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Perbedaan Aswaja dengan Ikhwanul Muslimin (IM), Hizbut Tahrir (HT), Jama’at Tablig (JT), Jama’ah Islamiyyah (JI) Indonesia, Ahmadiyyah Qadiyaniyyah (AQ) , Jama’ah Ansharut Tauhid (JAT), Front Pembela Islam (FPI)’’
Dalam pembuatan resume ini tentunya penulis tak luput dari kesalahan, untuk itu kami mohon saran dan kritikannya untuk kami jadikan sebagai perbaikan dalam pembuatan resume selanjutnya. 
 Jepara 16 Maret 2016
                                                                                                                              Penulis
 
BAB I
PENDAHULUAN
Membahas Perbedaan Aswaja dengan aliran Ikhwanul Muslimin (IM), Hizbut Tahrir (HT), Jama’at Tablig (JT), Jama’ah Islamiyyah (JI) Indonesia, Ahmadiyyah Qadiyaniyyah (AQ), Jama’ah Ansharut Tauhid (JAT), Front Pembela Islam (FPI) sangat penting karena untuk menambah pengetahuan tentang aliran lain dan membentengi diri dari aliran-aliran yang menyimpang dari Aswaja itu sendiri.
Aliran-aliran tersebut mempuyai pedoman serta pemikiran mereka masing-masing dalam menentukan berbagai macam hukum yang ada di muka bumi ini. Diantarnya aliran ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir (HT), Jama’at Tablig (JT), Jama;ah Islamiyyah (JI) Indonesia, Ahmadiyyah Qadiyaniyyah, Jama’ah Ansharut Tauhid ( JAT), Front Pembela Islam (FPI).
Materi yang akan kita bahas :   
1.    Perbedaan Aswaja dengan Ikhwanul Muslimin (IM),
2.    Perbedaan Aswaja dengan Hizbut Tahrir (HT)
3.    Perbedaan Aswaja dengan Jama’at Tablig (JT)
4.    Perbedaan Aswaja dengan Jama’ah Islamiyyah (JI) Indonesia
5.    Perbedaan Aswaja dengan Ahmadiyyah Qadiyaniyyah (AQ)
6.    Perbedaan Aswaja dengan Jama’ah Ansharut Tauhid (JAT)
7.    Perbedaan Aswaja dengan Front Pembela Islam (FPI)
BAB II
PEMBAHASAN
A.  IKHWANUL MUSLIMIN (IM)
1. Pengertian dan Sejarah Kemunculan
Ikhwanul Muslimin yang dalam bahasa Indonesia berarti “Persaudaraan Muslim” merupakan organisasi yang bergerak di bidang dakwah Islam di Mesir dan Dunia Arab. Dalam perkembangannya, organisasi yang dipelopori oleh Hasan al-Banna ini melahirkan sejumlah organisasi Islam lainnya, baik di Mesir maupun luar Mesir.
Para pendiri organisasi ini antara lain : Hafidz Abdul Hamid, Ahmad Al-Misri, Fuad Ibrahim, Abdurrahman Hasbullah, Ismail ‘Izz, dan Zaki Al Maghribi, selain Al-Banna sendiri. Mereka berkumpul pada tahun 1928 di kota Islamiyah. Saat itu, Hasan Al-Banna bertugas sebagai pengajar di Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD).
2. Ajaran dan keyakinan Ikhwanul Muslimin
Abdul Mun’im al-Hafni menyebutkan, pelopor Ikhwanul Muslimin, Hasan al-Banna, dianggap pemerintah Mesir menyebarkan dakwah Islam sesuai yang dipahami, dinilai sebagai dakwah bercorak salafi, tarekat Sunni, hakikat sufi, organisasi politik, organisasi ilmiah dan pendidikan, badan usaha perekonomian, dan pemikiran sosialis.
Di awal pembentukan jama’ah ini, al-Banna memperhatikan aspek pendidikan Islam (Tarbiyah Islamiyah) dan amat menekankan pentingnya pendidikan tersebut. Tujuan dari pendidikan Islam dimaksud adalah untuk membangun akhlak kuat dan akidah benar,  sehingga mendorong para anggota jama’ah melakukan perbuatan mulia. Tugas terpenting yang harus dilakukan oleh masyarakat islam, menurut al-Banna, adalah mengikuti manhaj (metode) ilahi, yakni Al-Qur’an. Manhaj tersebut memiliki kelebihan, yaitu mudah, terbatas, jelas arah dan tujuannya, praktis dan realistis, serta tidak didasarkan pada khayalan belaka. Di samping itu juga dapat memberikan solusi atas setiap permasalahan secara praktis dan bukan hanya teori, dengan harapan nyata dan sekedar impian.
Al-Banna telah menulis sebuah buku berjudul Da’watuna fi Thaur Jalid (Dakwah Islam Era Baru). Dalam buku tersebut, al-Banna antara lain menjelaskan, “Di era modern ini, medan dakwah telah berkembang sehingga mencakup semua dunia Islam. Tujuan dakwah Islam pun berubah dan lebih  mengarah kepada kepemilikan kekuasaan (politik). Sebab, kekuasaan inilah yang akan menjadi sarana untuk berdakwah. Media untuk mewujudkan tujuan tersebut pun telah berubah, dimana dulu dakwah hanya dilakukan dengan memberikan hikmah dan nasehat-nasehat, tetapi sekarang dakwah dilakukan dengan jihad.
Prinsip dasar hukum kita adalah memimpin dunia ini dengan orientasi menegakkan hukum Allah. Hal ini dapat dilakukan dengan memilih seorang khalifah yang dianggap sebagai wakil dari seluruh umat islam, yang dibantuoleh dewan penasihat dan dewan kabinet pelaksana. Ketahuilah bahwa tidak ada titik temu antara sistem Islam dengan sistem dictator. Sistem islam didasarkan pada azaz Syura (musyawarah), baiat (pengambilan sumpah), dan pembatasan kekuasaan pemerintah. Sistem Islam juga berbeda dengan sistem demokrasi, karena sistem demokrasi didasarkan pada pendapat masyarakat yang disesuaikan dengan kepentingan mereka, sedangkan sistem Islam didasarkan pada aturan -aturan yang dibuat oleh Dzat yang kekuasaan-Nya berada di atas kekuatan semua manusia. Selain itu, hukum dan kekuasaan dalam Islam tidaklah diwariskan. Ketahuilah bahwa syari’at Islam mengharuskan adanya satu Negara, satu bangsa dan satu pemimpin.”
3. Kelompok-Kelompok Ikhwanul Muslimin
            Sebagai dampak dari pertumpahan darah tersebut, juga sebagai dampak dari kitab Ma’alim fi al-Thariq yang ditulis oleh Sayyid Quthub, Jama’ah Ikhwanul Muslimin pecah menjadi 4 kelompok, yaitu :
a.    Sekelompok orang yang ingin meneruskan apa yang telah dirintis oleh Hasan al-Banna sebelum terjadinya konflik dengan pemerintah. Kelompok inilah yang sampai sekarang dinamakan dengan Ikhwanul Muslimin.
b.    Sekelompok orang yang mengaku sebagai orang-orang salaf. Mereka berpendapat, dalam rangka menghadapi masyarakat jahiliyah, kita tidak perlu mengingkarinya dengan tangan (kekuatan) atau lisan, tetapi cukup dengan hati.
c.    Jama’ah al-Takfir wa al-Hijrah. Mereka mengharuskan semua anggotanya untuk meninggalkan masyarakat Jahiliyah dan berhijrah ke suatu tempat sehingga mereka dapat menyusun kekuatan disana. Setelah berhasil menyusun kekuatan, mereka akan menghancurkan masyarakat jahiliyah yang mereka anggap sebagai orang-orang kafir.
d.   Jama’ah al-Jihad yang berpendapat, perang melawan pemerintah kafir merupakan suatu kewajiban dalam Islam. Mereka menganggap cara tersebut sebagai satu-satunya cara untuk mendirikan Negara Islam.
            Jama’ah Ikhwanul Muslimin yang masih ada sampai sekarang memiliki semboyan,
“Dakwah Islamiyah harus dilakukan dengan hikmah (pesan) dan nasihat yang baik,”.
            Di Indonesia, Ikhwanul Muslimin hadir pada awalnya melalui lembaga-lembaga dakwah kampus yang kemudian menjadi Gerakan Tarbiyah. Kelompok ini kemudian melahirkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Keterkaitan partai ini dengan Ikhwanul Muslimin diakui oleh Sekjen PKS Anis Matta. Berikut pernyataan Anis Matta :
Inspirasi-inspirasi al-Ikhwanul Muslimin dalam diri partai keadilan sejahtera, kalau boleh digarisbawahi disini, sesungguhnya memberikan kekuatan pada dua dimensi sekaligus. Pertama, inspirasiideologis yang satu-satunya didasarkan pada prinsip syumuliyat al-Islam (Universitas Islam), sesuatu yang bukan hanya menjadi prinsip perjuangan Hasan al-Banna saja, tetapi juga pejuang-pejuang yang lain. Kedua, inspirasi historis, semacam mencari model dan maket dari sebentuk perjuangan islam di era setelah keruntuhan al-Khilafah al-Islamiyah dan dominasi imperalisme barat atas negeri-negeri Muslim. Tetapi yang mempertemukan dua inspirasi itu pada diri al-Banna dan al-Ikhwanul Muslimin, adalah tokoh-tokoh yang lain menjadi pembaharu dalam lingkup pemikiran, Hasan al-Bannaberhasil mengubah pembaharuan itu dari wacana menjadi gerakan. Dan tidak berlebihan, bila inspirasi gerak itu juga yang secara terasa dapat diselami dalam denyut Partai Keadilan Sejahtera.
            Secara tegas, keterkaitan PKS dengan Ikhwanul Muslimin dikatakan oleh pendiri partai ini, sekaligus mantan Dewan Syari’ah PKS Yusuf Supendi. Dalam bukunya Replik Pengadilan Yusuf Supendi Menggugat Elite PKS, ia menjelaskan, Ketua Majelis Syuro PKS memiliki kekuasaan tinggi yang dikenal dengan istilah Muraqib ‘Am, yaitu Pemimpin Tertinggi Jama’ah Ikhwanul Muslimin di Indonesia. Kekuasaan ini diamanatkandalam aturan pertama, yang sangat rahasia, yang dinamakan Nizham Asasi (aturan dasar) yang bersumber dari Nizham ‘Am (aturan umum) yang diterbitkan oleh Ikhwanul Muslimin Pusat di Kairo Mesir. Dengan demikian, aturan yang berlaku di OKS tidak boleh bertentangan dengan aturan Ikhwanul Muslimin Pusat di MEsir. Nizham Asasi Ikhwanul Muslimin di Indonesia itu disahkan oleh Musyawarah Majelis Syura PKS, di Jakarta, Selasa, 25 juli 2000.
B.  HIZBUT TAHRIR (HT)
1.      Pengertian dan Sejarah Kemunculan Hizbut Tahrir
            Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik yang berideologi Islam, bukan organisasi kerohanian (seperti tarekat), bukan pula lembaga ilmiah ataupun lembaga akademis, dan juga bukan lembaga social. Hizbut Tahrir menganut Islam sebagai ideology, dan politik sebagai aktivitasnya. Hizbut Tahrir yang didirikan di Lebanon oleh Syekh Taqiyudin An-Nabhani ini pertama kali masuk di Indonesia pada tahun 1972. Menurut Ismail Yusanto, Jubir hizbut Tahrir Indonesia (HTI), cikal bakal organisasi ini berasal dari Yordania.
            Hizbut Tahrir bermaksud membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang amat parah, mmbebaskannya dari ide-ide, sistem perundang-undangan dan hukum kufur, serta membebaskan dari dominasi Negara-negara kafir dengan membangun daulah Islamiyah dan mengembalikan Islam ke kejayaan masa lampau. Hizbut Tahrir bertujuan mengembangkan kehidupan Islami dan mengembangkan dakwahIslamiyah kehidupan Islami dan mengembangkan dakwah Islamiyah ke seluruh dunia. Dalam mencapai maksud dan tujuannya, HTI mempercayai sistem kekhalifahan dengan seorang khalifah yang dibaiat oleh kaum Muslimin dan harus ditaati.
            Dalam mencapai maksud dan tujuannya, HTI mengemban dakwah Islam dan mengubah kondisi masyarakat dari yang rusak menjadi ide-ide yang Islami, mengubah perasaan rusak menjadi perasaan yang islami, yaitu perasaan yang ridha terhadap apa yang diridhai Allah, marah dan benci terhadap apa yang dimarahi oleh Allah. Perjuangan Hizbut Tahrir juga berusaha agar akidah Islam menjadi dasar Negara. Seluruh kegiatan yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir bersifat politis dalam arti memperhatikan urusan-urusan masyarakat sesuai dengan hukum dan memecahkannya secara syar’I (hukum islam)
            Kegiatan politik ini terdiri dari pembinaan terhadap tsaqafah (kebudayaan) Islam, membebaskan dari akidah yang rusak, pemikiran yang salah, persepsi yang keliru, pandangan-pandangan dari kaum yang kufur. Perjuangan politik juga meliputi penentangan terhadap kaum imperalis, mengontrol dan mengganti terhadap penguasa yang berkhianat terhadap umat islam. Seluruh kegiatan politik ini dilakukan tanpa menggunakan kekerasan, fisik dan senjata seperti yang dicontohkan Rasulullah.
            Metode yang digunakan HTI adalah metode yang diemban oleh Rasulullah. HTI beranggapan bahwa umat Islam sekarang hidup dalam Darul Kufur yang serupa denga kehidupan di Mekkah (sebelum hijrah ke Madinah) pada zaman Nabi. Dalam melakukan dakwahnya, HTI mempunyai beberapa tahapan : pertama, tahap pembinaan dan pengkaderan. Kedua, tahapan berinteraksi denganumat agar ikut memikul kegiatan dakwahnya. Ketiga, tahap pengambilan kekuasaan untuk menerapkan Islam secara Menyeluruh.
2.      Ideologi Hizbut Tahrir
  1. Mengadopsi Ideologi Mu’tazilah
Pada masa pemerintahan Bani Umayah, lahir gerakan Revivalis yang dipelopori oeleh Ma’bad bin Khalid al-Juhani, penggagas ideology Qadariyah, yang berpijak pada pengingkaran Qadha’ dan Qadar Allah. Ideologi ini menjadi embrio lahirnya sekte Mu’tazilah.belakangan ini juga diikuti oleh Taqiyudin al-Nabhani, perintis Hizbut Tahrir. Dalam bukunya, al-syakhsiyyat al-Islamiyah, rujukan primer Hizbut Tahrir, Taqiyyudin al-Nabhani berkata :
Pernyataan al-Nabhani di atas memberikan dua kesimpulan, pertama, perbuatan ikhtiyari manusia tidak ada kaitannya dengan ketentuan Qadha’ Allah, dan yang kedua, hidayah dan kesesatan itu adalah perbuatan manusia sendiri dan bukan dari Allah. Demikian ini jelas bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah dan akal sehat.
Beberapa ayat menegaskan bahwa segala sesuatu itu diciptakan oleh Allah. Kata “segala sesuatu” dalam ayat tersebut mencakup segala apa yang ada di dunia ini seperti benda, sifat-sifat benda seperti gerakan dan diamnya manusia, serta perbuatan yang disengaja maupun yang terpaksa. Dalam realita yang ada, perbuatan ikhtiyari manusia lebih banyak daripada perbuatan non ikhtiyari atau yang terpaksa. Seandainya perbuatan ikhtiyari manusia itu adalah ciptaan manusia sendiri, tentu saja perbuatan yang diciptakan oleh manusia akan lebih banyak daripada perbuatan yang diciptakan oleh Allah.
           Perbuatan hati dan perbuatan lahiriah manusia termasuk perbuatan Allah. Hal ini bertentangan dengan pernyataan Hizbut Tahrir yang berpandangan bahwa hidayah dan kesesatan adalah perbuatan manusia, dan bukan dari Allah. Demikianlah sebagian ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa perbuatan ikhtiyari manusia serta hidayah dan kesesatan merupakan perbuatan Allah dan terjadi atas dasar Qadha’ dan Qadar Allah
Allah menyebutkan shalat dan ibadah yang merupakan perbuatan ikhtiari manusia, lalu menyebutkan hidup dan mati yang bukan perbuatan ikhtiari manusia, kemudian Allah menjadikan semuanya sebagai makhluk Allah tiada sekutu-Nya. Ayat tersebut pada dasarnya menyampaikan pesan begini. “Katakanlah wahai Muhammad,”sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah makhluk Allah yang tiada sekutu bagi-Nya. “Namun Hizbut Tahrir menyelisih ayat tersebut dan mengikuti Mu’tazilah dengan mengatakan bahwa semua perbuatan ikhtiari manusia adalah ciptaan manusia sendiri dan dia yang memilikinya.
Pendekatan Ta’wil dan Ulama Salaf
1)   Ibn Abbas
Terdapat banyak riwayat dari Ibn Abbas, bahwa ia melakukan ta’wil terhadap ayat-ayat mutasyabihat, antara lain adalah, Kursi [QS. 2: 255] di-ta’wil dengan ilmunya Allah, datangnya Tuhan [QS. 89: 22] di-ta’wil dengan penglihatan Allah, aydin 9beberapa tangan) [QS. 51: 47] di-ta’wil dengan Allah yang menunjukkan penduduk langit dan bumi, wajah Allah [QS. 55: 27] di-ta’wil dengan wujud dan Dzat Allah, dan saq (betis) [QS. 68: 42] di-ta’wil dengan kesusahan yang sangat berat.
2)   Mujahid dan al-Suddi
Al-Imam Mujahid dan al-Suddi, dua pakar tafsir dari generasi tabi’in juga men-ta’wil lafal janb [QS. 39: 56] dengan perintah Allah.
3)   Sufyan al-Tsauri dan Ibn al-Thabiri
Al-Imam Ibn Jarir al-Thabiri menafsirkan istiwa’ [QS. 2: 29] dengan memiliki dan menguasai, buka dalam artian bergerak dan berpindah. Sedangkan al-Tsauri men-ta’wilkan-nya dengan berkehendak menciptakan langit.
4)   Malik bin Anas
Al-Imam Malik bin Anas, juga men-ta'wil turunnya Tuhan dalam hadits shahih pada waktu tengah malam dengan turunnya perintah-Nya, bukan Tuhan dalam artian bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
5)   Ahmad bin Hanbal
Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali, melakukan ta’wil terhadap beberapa teks yang mutasyabihat, antara lain ayat tentang datangnya tuhan [QS. 89: 22] di-ta’wil dengan datangnya pahala dari Tuhan, bukan datang dalam arti bergerak dan berpindah.
6)   Al-Hasan al-Bashri
Al-Imam al-Hasan al-Bashri, juga melakukan ta’wil terhadap teks tentang datangnya Tuhan [QS. 89: 22] dengan datangnya perintah dan kepastian Tuhan.
7)   Al-Bukhari
Al-Imam al-Bukhari, pengarang Shahih al-Bukhari, juga melakukan ta’wil terhadap bebrapa teks yang mutasyabihat, antara lain teks tentang tertawanya Allah dalam sebuah hadits dita’wilnya dengan rahmat Allah, dan wajah Allah [QS.28: 88] dita’wilnya dengan kerajaan Allah dan amal yang dilakukan semata-mata karena mencari ridha Allah.
Data-data tersebut menujukkan bahwa ta’wil yang dilakukan oleh Ahlussunnah Wal-Jamaah merupakan pemahaman terhadap teks-teks mutasyabihat sesuai dengan pemahaman ulama salaf yang salih.
b.   Qadar dan Ilmu Allah
Taqiyyuddin al-Nabhani berkata:
قَدْ وَرَدَ اْلإِيْمَانُ بِالْقَدَرِ فِيْ حَدِيْثِ جِبْرِيْلَ فِيْ بَعْضِ الرِّوَايَاتِ، فَقَدْ جَاءَ قَالَ: وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ، إِلاَّ أَنَّهُ خَبَرُ آحَادٍ، عِلاَوَةً عَلىَ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْقَدَرِ هُنَا عِلْمُ اللهِ، وَلَيْسَ الْقَضَاءَ وَالْقَدَرَ الَّذِيْ هُوَ مَوْضِعُ خِلاَفٍ فِيْ فَهْمِهِ.
Telah datang keimanan dengan qadar dalam hadits Jibril menurut sebagian riwayat, di mana Nabi saw bersabda: "Dan kamu percaya dengan qadar, baik dan buruknya." Hanya saja hadits ini tergolong hadits ahad (persumtif), di samping yang dimaksud dengan qadar di sini adalah ilmu Allah, dan bukan qadha' dan qadar yang menjadi fokus perselisihan dalam memahaminya.
Pernyataan al-Nabhani di atas memberikan kesimpulan bahwa. Pertama, keimanan dengan qadar Allah hanya terdapat dalam hadits Jibril menurut sebagian riwayat.Kedua, hadits tentang qadar tergolong hadits ahad yang tidak meyakinkan. Ketiga, yang dimaksud dengan qadar dalam hadits Jibril tersebut adalah pengetahuan atau ilmu Allah, dan bukan qadha' dan qadar yang menjadi fokus kajian kaum Muslimin.
Sudah barang tentu pernyataan al-Nabhani tersebut tidak benar. Pertama, asumsi bahwa keimanan terhadap qadar Allah hanya terdapat dalam hadits Jibril melalui sebagian riwayat adalah tidak benar. Keimanan dengan qadar Allah disamping terdapat dalam hadits Jibril, juga dijelaskan dalam sekian banyak ayat-ayat al-Qur'an sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Sementara hadits lain yang juga menjelaskan keimanan terhadap qadar juga sangat banyak.
Selain empat hadits di atas, terdapat pula hadits-hadits lain di antaranya adalah:
عَنْ أَبِي الأَسْوَدِ الدِّيلِيِّ قَالَ، قَالَ لِي عِمْرَانُ بْنُ الْحُصَيْنِ: أَرَأَيْتَ مَا يَعْمَلُ النَّاسُ الْيَوْمَ وَيَكْدَحُونَ فِيهِ أَشَيْءٌ قُضِيَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى عَلَيْهِمْ مِنْ قَدَرِ مَا سَبَقَ أَوْ فِيمَا يُسْتَقْبَلُونَ بِهِ مِمَّا أَتَاهُمْ بِهِ نَبِيُّهُمْ وَثَبَتَتْ الْحُجَّةُ عَلَيْهِمْ، فَقُلْتُ: بَلْ شَيْءٌ قُضِيَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى عَلَيْهِمْ، قَالَ فَقَالَ: أَفَلاَ يَكُونُ ظُلْمًا، قَالَ: فَفَزِعْتُ مِنْ ذَلِكَ فَزَعًا شَدِيدًا، وَقُلْتُ: كُلُّ شَيْءٍ خَلْقُ اللهِ وَمِلْكُ يَدِهِ، فَلاَ يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ، وَهُمْ يُسْأَلُونَ، فَقَالَ لِي: يَرْحَمُكَ اللهُ إِنِّي لَمْ أُرِدْ بِمَا سَأَلْتُكَ إِلاَّ ِلأَحْزِرَ عَقْلَكَ، إِنَّ رَجُلَيْنِ مِنْ مُزَيْنَةَ أَتَيَا رَسُولَ اللهِ J فَقَالاَ: يَا رَسُولَ اللهِ أَرَأَيْتَ مَا يَعْمَلُ النَّاسُ الْيَوْمَ وَيَكْدَحُونَ فِيهِ أَشَيْءٌ قُضِيَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى فِيهِمْ مِنْ قَدَرٍ قَدْ سَبَقَ أَوْ فِيمَا يُسْتَقْبَلُونَ بِهِ مِمَّا أَتَاهُمْ بِهِ نَبِيُّهُمْ وَثَبَتَتْ الْحُجَّةُ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ: لاَ بَلْ شَيْءٌ قُضِيَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى فِيهِمْ، وَتَصْدِيقُ ذَلِكَ فِي كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ (وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا).
Abu al-Aswad al-Dili berkata: "Imran bin al-Hushain berkata kepadaku, "Bagaimana menurutmu, apakah sesuatu yang dikerjakan dan diusahakan oleh manusia sekarang merupakan sesuatu yang telah diputuskan sebelumnya oleh Allah dan sesuai dengan ketentuan yang telah berlalu bagi mereka, atau juga apa yang akan mereka hadapi dari hal-hal yang telah dibawa oleh nabi mereka dan hujjah telah berlaku pada mereka?" Aku menjawab: "Tentu, sesuatu yang telah diputuskan dan ditetapkan sebelumnya pada mereka." Abu al-Aswad berkata; "Imran bertanya lagi: "Apakah hal itu bukan kezaliman dari Allah?"
Abu al-Aswad berkata: "Aku sangat terkejut dengan pernyataan Imran. Lalu aku berkata: "Segala sesuatu adalah ciptaan Allah dan milik-Nya. Jadi, Allah tidak akan ditanya atas perbuatan-Nya, melainkan manusia yang akan ditanya atas perbuatan mereka.Lalu Imran berkata kepadaku: "Semoga Allah mengasihimu. Sesungguhnya aku bertanya hanya karena ingin menguji kemampuan akalmu. Sesungguhnya dua orang laki-laki dari suku Muzainah mendatangi Rasulullah saw dan bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah apa yang dikerjakan dan diusahakan oleh manusia sekarang ini merupakan sesuatu yang telah diputuskan dan ketentuan yang telah berlalu bagi mereka, atau tentang apa yang akan mereka hadapi berupa sesuatu yang dibawa oleh nabi mereka dan hujjah telah berlaku atas mereka?" Nabi saw menjawab: "Tentu, sesuatu yang telah diputuskan dan ketetapan yang telah berlalu bagi mereka." Pembenaran hal tersebut ada dalam firman Allah SWT: "Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya."
Sedangkanasumsi al-Nabhani bahwa hadits tentang keimanan terhadap qadha' dan qadar Allah termasuk hadits ahad adalah tidak benar. Al-Nabhani juga berasumsi bahwa makna qadar dalam hadits Jibril, "Kamu beriman terhadap qadar Allah, baik dan buruknya", adalah pengetahuan dan ilmu Allah. Sementara para ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah mengartikan qadar dalam hadits tersebut dengan al-maqdur, yaitu sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah, bukan ilmu Allah.
Dengan demikian asumsi al-Nabhani yang menganggap bahwa qadar adalah pengetahuan dan ilmu Allah jelas bertentangan dengan hadist shahih diatas.
c.    Kema’shuman Para Nabi
Menurut Ahlussunnah Wal-Jama'ah, setiap Muslim harus meyakini bahwa para nabi itu adalah orang yang ma’shum (terjaga dari perbuatan dosa), baik sesudah mereka diangkat menjadi nabi atau sebelumnya. Namun keyakinan ini berbeda dengan keyakinan Hizbut Tahrir. Dalam hal ini, al-Nabhani berkata:
إِلاَّ أَنَّ هَذِهِ الْعِصْمَةَ لِلأَنْبِيَاءِ وَالرُّسُلِ إِنَّمَا تَكُوْنُ بَعْدَ أَنْ يُصْبِحَ نَبِيًّا أَوْ رَسُوْلاً بِالْوَحْيِ إِلَيْهِ. أَمَّا قَبْلَ النُّبُوَّةِ وَالرِّسَالَةِ فَإِنَّهُ يَجُوْزُ عَلَيْهِمْ مَا يَجُوْزُ عَلىَ سَائِرِ الْبَشَرِ، ِلأَنَّ الْعِصْمَةَ هِيَ لِلنُّبُوَّةِ وَالرِّسَالَةِ.
Hanya saja keterjagaan para nabi dan rasul itu terjadi sesudah mereka menjadi nabi atau rasul dengan memperoleh wahyu. Adapun sebelum menjadi nabi dan rasul, maka sesungguhnya bagi mereka boleh terjadi perbuatan yang terjadi pada manusia biasa, karena keterjagaan itu hanya bagi kenabian dan kerasulan.
Sudah barang tentu pernyataan al-Nabhani di atas tidak benar. Para ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah telah berpendapat bahwa para nabi itu harus memiliki sifat shidq (jujur), amanat (dipercaya) dan fathanah (cerdas).
Oleh karena itu, Allah SWT tidak akan memilih sebagai nabi atau rasul, kecuali terhadap orang yang selamat dari. Dengan berpijak terhadap pendapat al-Nabhani, bahwa para nabi boleh jadi melakukan perbuatan dosa apa saja sebelum menjadi nabi sebagaimana layaknya manusia biasa, Hizbut Tahrir berarti berpandangan bahwa derajat kenabian yang agung boleh disandang oleh orang yang pada masa lalunya sebagai pencuri, perampok, homo sex, pembohong, penipu, pecandu narkoba, pemabuk dan pernah melakukan kehinaan-kehinaan lainnya.
d.   Melecehkan Mayoritas Kaum Muslimin
Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani berkata:
وَالْحَقِيْقَةُ أَنَّ رَأْيَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَرَأْيَ الْجَبَرِيَّةِ وَاحِدٌ، فَهُمْ جَبَرِيُّوْنَ. وَقَدْ أَخْفَقُوْا كُلَّ اْلإِخْفَاقِ فِيْ مَسْأَلَةِ الْكَسْبِ، فَلاَ هِيَ جَارِيَةٌ عَلىَ طَرِيْقِ الْعَقْلِ، إِذْ لَيْسَ عَلَيْهَا أَيُّ بُرْهَانٍ عَقْلِيٍّ، وَلاَ عَلىَ طَرِيْقِ النَّقْلِ، إِذْ لَيْسَ عَلَيْهَا أَيُّ دَلِيْلٍ مِنَ النُّصُوْصِ الشَّرْعِيَّةِ، وَإِنَّمَا هِيَ مُحَاوَلَةٌ مُخْفِقَةٌ لِلتَّوْفِيْقِ بَيْنَ رَأْيِ الْمُعْتَزِلَةِ وَرَأْيِ الْجَبَرِيَّةِ.
“Pada dasarnya pendapat Ahlussunnah dan pendapat Jabariyah itu sama. Jadi Ahlussunnah itu Jabariyah. Mereka telah gagal segagal-gagalnya dalam masalah kasb (perbuatan makhluk), sehingga masalah tersebut tidak mengikuti pendekatan rasio, karena tidak didasarkan oleh argument rasional sama sekali, dan tidak pula mengikuti pendekatan naqli karena tidak didasarkan atas dalil dari teks-teks syar'i sama sekali. Masalah kasb tersebut hanyalah usaha yang gagal untuk menggabungkan antara pendapat Mu'tazilah dan pendapat Jabariyah.”
Dalam bagian lain, al-Nabhani juga mengatakan:
الإِجْبَارُ هُوَ رَأْيُ الْجَبَرِيَّةِ وَأَهْلِ السُّنَّةِ مَعَ اخْتِلاَفٍ بَيْنَهُمَا فِي التَّعَابِيْرِ وَاْلاِحْتِيَالِ عَلىَ اْلأَلْفَاظِ، وَاسْتَقَرَّ الْمُسْلِمُوْنَ عَلىَ هَذَا الرَّأْيِ وَرَأْيِ الْمُعْتَزِلَةِ، وَحُوِّلُوْا عَنْ رَأْيِ الْقُرْآنِ، وَرَأْيِ الْحَدِيْثِ، وَمَا كَانَ يَفْهَمُهُ الصَّحَابَةُ مِنْهُمَا.
“Ijbar (keterpaksaan) adalah pendapat Jabariyah dan Ahlussunnah, hanya antara keduanya ada perbedaan dalam ungkapan dan memanipulasi kata-kata. Kaum Muslimin konsisten dengan pendapat ijbar ini dan pendapat Mu'tazilah. Mereka telah dipalingkan dari pendapat al-Qur'an, hadits dan pemahaman shahabat dari al-Qur'an dan hadits.”
Pernyataan al-Nabhani di atas mengantarkan pada beberapa kesimpulan. Pertama, pendapat Ahlussunnah Wal Jama'ah dan Jabariyah itu pada dasarnya sama dalam masalah perbuatan manusia. Perbedaan antara keduanya hanya dalam ungkapan dan dalam manipulasi kata-kata.Kedua, Ahlussunnah Wal Jama'ah telah gagal dalam mengatasi problem perbuatan manusia melalui pendekatan teori kasb, sehingga terjebak dalam pendapat yang tidak didukung oleh dalil rasional maupun dalil naqli.Ketiga, kaum Muslimin sejak sekian lamanya telah berpaling dari al-Qur'an, hadits dan ajaran sahabat. Dan keempat, pernyataan tersebut memberikan kesan yang cukup kuat bahwa al-Nabhani dan Hizbut Tahrir telah keluar dari golongan Ahlussunnah Wal-Jama'ah dan mayoritas kaum Muslimin.
Sudah barang tentu pernyataan al-Nabhani di atas termasuk kesalahan fatal dalam soal ideologi dan pelecehan terhadap para ulama kaum Muslimin. Pertama, asumsi al-Nabhani bahwa pendapat Ahlussunnah Wal-Jama'ah sama dengan pendapat Jabariyah dalam masalah perbuatan manusia adalah tidak benar. Pendapat Ahlussunnah Wal Jama'ah berbeda dengan pendapat Jabariyah dalam menanggapi perbuatan menciptakan perbuatannya, dan Allah tidak berbuat apa-apa terkait dengan perbuatan hewan yang ada.
Kedua, asumsi al-Nabhani bahwa seluruh kaum Muslimin sejak sekian lama telah berpaling dari ajaran al-Qur'an, hadits dan pendapat para sahabat juga tidak benar dan bertentangan dengan dalil-dalil al-Qur'an dan hadits allah melindungi kaum muslimin dari bersepakat dan bersekongkol dalam kebatilan
Menurut al-Imam Fakhruddin al-Razi, ayat di atas memberikan pesan hukum bahwa keluar dari jalan orang-orang mukmin adalah haram. Setiap Muslim harus mengikuti jalan orang-orang mukmin. Sementara al-Nabhani bukan hanya keluar dari jalan orang-orang mukmin, justru ia melecehkan mereka dan menganggap bahwa orang-orang mukmin telah tersesat jalan dari ajaran al-Qur'an, hadits dan ajaran sahabat. Dalam hadits shahih, Rasulullah saw bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J: إِنَّ اللهَ لاَ يَجْمَعُ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلاَلَةٍ، وَيَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ، وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلىَ النَّارِ.
Ibn Umar berkata, Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku, atas kesesatan. Pertolongan Allah selalu bersama jama'ah. Dan barangsiapa yang mengucilkan diri dari jama'ah, maka ia mengucilkan dirinya ke neraka."
Hadits di atas menunjukkan pada beberapa pesan. Pertama, umat Islam tidak akan bersepakat pada kesesatan dan kekeliruan dalam menjalani kehidupan beragama. Kedua, Allah SWT akan menolong orang-orang yang mengikuti jalan mayoritas kaum Muslimin. Dan ketiga, orang yang mengucilkan dirinya (syudzudz) dari mayoritas kaum Muslimin, berarti telah mengucilkan dirinya ke neraka.
Sementara Taqiyyuddin al-Nabhani dan Hizbut Tahrir mengambil sikap sebaliknya. Pertama, Hizbut Tahrir berpendapat bahwa seluruh kaum Muslimin telah berpaling dari ajaran al-Qur'an, hadits dan pendapat sahabat. Kedua, Hizbut Tahrir tidak menjaga kebersamaan dengan cara mengikuti mayoritas kaum Muslimin. Dan ketiga, Hizbut Tahrir mengucilkan dirinya dari mayoritas kaum Muslimin. Dan ini menjadi bukti yang sangat kuat, bahwa Hizbut Tahrir telah keluar dari Ahlussunnah Wal Jama'ah.
e.    Pengingkaran Siksa Kubur
Di antara keyakinan mendasar setiap Muslim adalah menyakini adanya siksa kubur. Hal ini seperti ditegaskan oleh al-Imam Abu Ja'far al-Thahawi dalam al-'Aqidah al-Thahawiyyah berikut ini:
وَنُؤْمِنُ بِمَلَكِ الْمَوْتِ الْمُوَكَّلِ بِقَبْضِ أَرْوَاحِ الْعَالَمِيْنَ، وَبِعَذَابِ الْقَبْرِ لِمَنْ كَانَ لَهُ أَهْلاً.
“Kami beriman kepada Malaikat maut yang diserahi mencabut roh semesta alam, dan beriman kepada siksa kubur bagi orang yang berhak menerimanya.”
Berdasarkan keyakinan ini, RasulullahSAW menganjurkan agar umatnya selalu memohon kepada Allah SWT agar diselamatkan dari siksa kubur. Namun tidak demikian halnya dengan Hizbut Tahrir yang mengingkari adanya siksa kubur, mengingkari kebolehan tawassul dengan para nabi dan orang, salih serta peringatan maulid Nabi SAW. Pengingkaran Hizbut Tahrir terhadap adanya siksa kubur juga dijelaskan dalam buku al-Dausiyyah, kumpulan fatwa-fatwa Hizbut Tahrir ketika menjelaskan hadits yang menyebutkan tentang siksa kubur. Menurut buku tersebut, meyakini siksa kubur yang terdapat dalam hadits tersebut adalah haram, karena haditsnya berupa hadits ahad, akan tetapi boleh membenarkannya.Bahkan salah seorang tokoh Hizbut Tahrir, yaitu Syaikh Umar Bakri pernah mengatakan:"Aku mendorong kalian untuk mempercayai adanya siksa kubur dan Imam Mahdi, namun barang siapa yang beriman kepada hal tersebut, maka ia berdosa.".
Sudah barang tentu pengingkaran Hizbut Tahrir terhadap adanya siksa kubur karena alasan haditsnya termasuk hadits ahad dan bukan mutawatir, adalah tidak benar. Karena disamping adanya siksa kubur merupakan keyakinan kaum Muslimin sejak generasi salaf, juga hadits-hadits yang menerangkan adanya siksa kubur sampai pada tingkat mutawatir, dan bukan hadits ahad sebagaimana asumsi Hizbut Tahrir.Dalam konteks ini al-Imam Hafizh al-Baihaqi berkata:
وَاْلأَخْبَارُ فِيْ عَذَابِ الْقَبْرِ كَثِيْرَةٌ، وَقَدْ أَفْرَدْنَا لَهَا كِتَاباً مُشْتَمِلاً عَلىَ مَا وَرَدَ فِيْهاَ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَاْلآثَارِ، وَقَدِ اسْتَعَاذَ مِنْهُ رَسُوْلُ اللهِ J، وَأَمَرَ أُمَّتَهُ بِاْلاِسْتِعَاذَةِ مِنْهُ ... قَالَ الشَّافِعِيُّ : إِنَّ عَذَابَ الْقَبْرِ حَقٌّ.
Hadits-hadits mengenai adanya siksa kubur banyak sekali. Kami telah menyendirikannya dalam satu kitab yang memuat dalil-dalil dari al-Qur'an, Sunnah dan atsar tentang siksa kubur. Rasulullah saw telah memohon perlindungan kepada Allah dari siksa kubur dan memerintahkan umatnya agar memohon perlindungan darinya... Al-Imam al-Syafi'i berkata:"Sesungguhnya siksa kubur itu benar."
f.      Mengkafirkan Kaum Muslimin
Islam mengajarkan untuk selalu bersikap mederat, netral dan  tidak berlebih-lebihan dalam menyikapi suatu persoalan. Sikap seperti ini akan mengantaarkan sesorang untuk bisa bersikap bijak, adil, berimbang dan  tidak memihak. Dengan suatu  permasalahan yang berkaitan dengn agama sekalipun kita tidak diajarkan untuk bersikap etkten karena sikapp yang seperti itu akan menyebabkan seseorang salah dalam  mengambil keputusan yang faatal serta merugikan diri sendiri. Nabi SAW bersabda:
Ibn Abbas berkata : “ Rasulullah SAW bersabda: “ Jauhilah sikap ektern (berlebih-lebihan) dalam agama, karaena sesungguhnya yang mencelakakan orang-orang sebelum kamu adalah sikap ektrem dalam  beragama.”
Tegaknya khilafah Islamiyah, sebagai simbol pemersatu umat Islam dan lambang kejayaan kaum Muslimin pada masa silam, memang diwajibkan dalm agama apabila kita mampu melakukannya. Namun berlebih-lebihan dan terlalu bersemangat dalam menyikapi khilfah, juga kurang baik dan dapaat menjerumuskan kita pada sikap yan gkeliru. Tidak sedikit dikap ektrem seseorang justru menjerumuskannya kedalam jurang kesalahan yang sangat fatal. Seperti yang terjadi pada Taqiyyudin al-Naabhani dalam pernyataanya berikut ini:
C.  JAMA’AT TABLIGH (JT)
1.    Pengertian dan Sejarah Kemunculan
Jama’ah tablig didirikan di India oleh Syekh Muhammad Ilyas (1303-1363 H) dn anaknya, Syekh Muhammad Ilyas al-kandalawi. S yekh Muhammad Ilyas talh menulis kitab yang berjudul Malfudhat Ilyas, sedangkan Syekh Muhammad Yusuf menulis kitab hayat al-Shahabah. Jama’ah ini memilki cabagng diseluruh penjuru dunia.
2.    Dasar Pemikiran dan Metode JT
Dasar pemikiran  mereka adalh menyampaikan dakwah islamiyah ke semua orang, melakukan komunikasi dengan seluruh masyarakat, serta menadakan perjalanan  ke negara-negara islam nutuk berdakwah. Selain itu, menyampaikan dakwah islamiyah sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW dan sahabatnya dengan tujuan  menyebarkan agama islam dengan cara bertatap muka langsung dengan masyarakat serta berbicara dengan kalangn gasrot dengan bijaksana, lemah lembut dan penuh harap, dan memberikan dorongan kepada mereka untuk meninggalkan kenikmatan-kenikmtn duniawi dan  kesenangan-kesenangan jasmani guna memperoleh kenikmatan iman. Sedangkan metode yang ditempuh para Jama’ah Tablig adalah berkelana dari negara satu kenegara lain, tanpa ada maksud tertentu kecuali hanya untuk menyebarkan ajaran islamiyah dengan cara berdakwah baik itu ilakukan secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.  Menurut jama’ah ini ada 4 tingkatan dalam berdakwah, yaitu : ulama, wujaha’, qudama’(mereka yang kelua untuk berdakwah) dan ‘amatunnas (masyarakat umum). Dakwah yang disampaikan ajaran ini adalah mengenai fadha’il (perbuatan-perbuatan baik).
Diantara yang diajarkan adalah memeplajari 10 surat terakhir dari Al-quran, dan adab-adab (sopan santun) yang besifat umum, seperti adab makan, minum, tidur, buang air (besar-kecil), serta perbuatan-perbuatan sunnah lainnya.
Dalam hal ibadah mereka membiasakan untuk membaca satu juz dari Al-quran dalam sehari, melakukn shalat wajib n sunnah, qiymul lail berdzikir siang dan malam.  Jama’h Tabig mengenal 3 pengabian, yakni pengabdian kepada diri sendiri, jama’ah dan masyrakat atau kaum muslimin pada umumnya. Mengenai jihad jama’ah  ini berpendapat, “ Allah SWT telah menjadikan  jihad sebagai suatu  kewajiban , seperti kewajiban-kewajiban lainnya yang memiliki syarat tertentu. Diatara syarat-syarat terebut adalah adanya seorang imam ynng bertugas memimpin kaum muslimin dalam melakukan jihad. Jihad ini dibag menjadi 2 yaitu yaitu jihad difa’i dan jihad ibtida’i. Jihad difai adalah  jihad yang dilakukan oleh seorang muslim untuk membela jiwa dan hartanya dari bahaya yang mengancam  sampai bahaya itu hilang. Sedangkan jihad ibtida’i merupakan jihad yang harus dilakukan dengan adanya seorang imam. Menrut mereka, tidak ada jihad dan khilafah kecuali adanya iman dan amal shaleh.
Para da’i jama’ah Tablig menanamkan aktivitas mendidik umat dengan Al-woran dan Hadist dengan sebutan tadrib wa tarbiyyah (pendidikan dan pelatihan) an tashfiyyah wa tarbiyyah ( pensucian dan pendidikan). Mereka mengatakan, setiap Muslim dituntut untuk menyampaikan apa yang mereka ketahui mengenai islam meskipun sedikit, dan sekalipun dian bukan temasuk orang yang berilmu. Karena sebenarnya dia berdakwah mengenai hal yang diketahuinya, buka hal yang tidak diketahuinya, selain itu, amar ma’ruf nahi munkar adalah wajii bagi setiap Muslim.
                                                                                          
D.  JAMA’AH ISLAMIYAH (JI) INDONESIA
1.    Pengertian dan Ssejarah Kemunculan
Organisasi Jama’ah Islamiyah (JI) Indonesia terkait erat dengan aktivitas pejuang muslim Indonesia, juga Malaysia, yang pernah ikut serta membela kepentingan umat islam dalam peperangan di afganistan melawan rezim Komunis Uni Soviet, pada awal tahun 80-an.Selain itu, berdirinya JI juga terkait erat dengan apa yang disebut dengan Negara Islam  Indonesia (NII). Organisasi JI sisirikan oleh beberapa aktivis NII, saeperti ustad Abdul Khalim (dikenal dengan nama Ustad Abdullah Sungkar, yang juga pendiri pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Surakarta). Kala itu Abdul Halim adalah aktivis NII, yag ikut bergabng dengan kekuatan Mujahidin Afganistan berjuang melawan rezim komunis Uni soviet. Penulis buku membongkar Jamaah Islamiyah, pengakuan Mantan anggota JI, naasir Abbas menyatakan, bisa dikatakan bahwa JI adalah pecahan dari NII. Persisnya, JI didirikan pada januari 1993 di Torkham, Afganistan.
2.    Dasar Pemikiran dan Metode JI
Organisasi JI termsuk salh sastu gerkan Islam  radikal yang menganut prinsipjihad dijalan Allah SWT dalam segala aspek dan sendi kehidupan. Dalam melaksanakan aksinya (jihad-red), terkadang sebagian anggota JI menghalalkan jalan  kekerasan, termasuk bom bunuh diri, seperti yang pernah terjadi Bom Bali I dan II. Pada perkembangannya, para anggota dan aktivis JI ini menyebar keberbagai negara di Asia Tenggara, sepeti Malysia, Filiphina dan Thailand dan Indonesia. Dalam peerjalananya, mulai tumbuh friksi perpecahan dalam tubuh JI, khususnya sejak didirikannya Majelis Mujahidin Indonesia (MII) pada tahun 2000. Tidak setiap orang bisa menjadi anggota JI seperti dalam angota organisasi lain, JI juga mempunyai syarat bagi mereka yang ingin menjadi anggota JI. Dalam  buku Membongkar Jamaah Islamiyah, pengakuan Mantan JI, disebutkan persyaratan itu antara lain:
a.    Harus beragama Islam, karena organisasi JI adalah organisasi Islam
b.    Harus memahami ajaran Allah SWT dan Rasulullah SAW tentang perlunya berjama’ah.
c.    Sebelum ditawarkan untuk iltizam (bergabung kedadlam jama’ah), umat islam diberikan proram tholabul ‘ilmi (menuntut ilmmu pengetahuan) berupa pengajian dan khursus-kursus kuran g lebih sampai 1 ½ hingga 2 tahun.
d.   Harus aqil balig.
Jika semua persyaratan tersebut dapat terlewati, maka orang ini dpat dinyatakan sebagai anggota baru JI. Ketika sudah menjadi aanggota JI ada beberapa kewjiban yang harus di taati:
a.    mendenganr dan taat kepad a Amir menurut kemampuannya dalam hal-hal tidak melkukan maksiat
b.    Mentaati peraturan Jamaah
c.    Meminta izin kepada Amir atau yang bertanggung jawa lainnya untuk tugas tertentu.
Diluar itu JI juga memiliki prinsip dasar perjuangan atau yang dikenal dnegan Ushul Manhaj Haraky li Iqamaddin (Pedoman Umum perjuangan Jamaah islmiyah/PUPJI).
Prinsip-prinsip PUPJI itu diantaranya:
1.        Tujuan kita adalah untuk mencari keridhaan Allah SWT dengan cara yang ditetpkan Allah SWT dan Rsul-Nya.
2.        Akidah kita adalah Akidah ahlussunnah Waljamaah minhajis shalih.
3.        Pemahaman kita tentang Islam adalah syumul (menyeluruh), megikuti pemahaman shalafus shaleh.
4.        Sasaran perjuangan kita adalah memperhambakan menusisa kepada Allah SWT semata.
5.        Jalan kita adalah iman, hijrah, dan jihad fisabilillah.
6.        Bekal kita adalah ilmu dan taqwa
7.        Wala’ kita kepada Allah SWT, Rasulullah SAW dan orang-orang beriman.
8.        Musuh kita adalah setan jin dan setan manusia
9.        Ikatan kita akan kesamaan tujuan, akidah dan pemahaman mengenai agama.
10.    Pengalaman islam kita adalah secara murni dan kaffah (sempurna), sistem jamaah , kemudian daulah, lalu kifalh.
E.  AHMADIYAH QADIANIYAH
1.    Pengertian dan Sejarah kemunculan                                                   
Ahmadiyah qadiniyyah merupkan sebuah kelompok yang sangat fanatik kepada Mirza Ghulam Ahmad al-adiyani. Mirza Ghulam lahir di Qadiniyyah, India, pada 1281 H. Arti Ghulam ahmad adalah Hamba Ahmad atau Hamba Muhammad.
2.    Ajaran dan keyakinan                                                                           
Mirza ghulam hma menganggap dirinya sebagai mujaddid (pembaharu) dan pengikut nabi SAW, meskipun ia juga menerima wahyu keuduknnya tidak sama dengan kedudukan nabi Muhammad SAW beliau merupakan nabi terakir an tidak ada nabi lagi setelahnya yang membawa syariat. Tetapi tidak menutup kemunginan, Allah SWT mengutus kembali nabi yang tidak membawa syariat.
Diantara nabi-nabi yang tidak membawa syariat diantaranya mirzaghulam ahmad al-qadiyani. Dialah nabi yang berad adi naungan nabi Muhammad SAW.
Kelompok Qadaniyyah juga terkenal dengan nama Ahmaiyyah dikaraenakanin kebiasaan orang-orang barat dalam menyebut para pengikut sebuah kelompok dengan menyebut nama pendirinya. Dalam rangkan menyebarkan aqidah, al-qadaniyyah menerbitkan sebuah majalah yang diberi nama Majalah al-adyan. Sebelum meninggal yait pada tahun 1908 al-qadaniyyah telah berwasiat pada para pengikutnya agar merekea menulis dikuburannya nama mirza ghulam ahmad mau’ud  (Mirza Ghulam Ahmad yang dijanjikan) .Maksudnya yang dijanjkan akan masuk surga).
Sepeninggal Mirza Ghulam  Ahmad, para pengikut qadiyani pecah menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama adalah kelommpok yang berpenapat bahwa mirza ghulam ahmadbenar-benar seorang nabi dan bahwa alran qadaniyah atau ahmadiyyah adalah ebuah agama. Edangkan kelompok kedua berpendapat bahw mirza hanyalah seorang wali allah saja. Ia hanya sseorang mujaddid (pembaharu pada awal abad ke-14, sebaaimana telah dijelaskan dalam perkataannyasendiri. Ia juga menggunakan tafsir da taqwil dalam menjelaskan perkataaa-perkataan alqadaniyani, sehingga menurutnya, alqaniyani bukanlaha aseorang anbi yang diutus Allah SWT, menurutnya nabi Muhammad adalah penutup para nabi.
Akidah dan Manhaj yang terdiri atas 22poin, di antaranya adalah sebagai berikut :
1.        Menjauhi , membenci, memusuhi, dan memerangi thaghut (segala sesuatu yang diibadahi selain Allah dan dia rela untuk diibadahi).
2.        Meyakini al-Qur’an itu bukan makhluk, karena itu wajib untuk diagungkan, diyakini, diikuti, dan di jadikan sebagai sumber hukum.
3.        Cinta kepada Nabi Muhammad saw hukumnya wajib dan merupakan ibadah, sedangkan membencinya adalah kekafiran, pengkhianatan dan kemunafikan.
4.        Menahan diri terhadap apa-apa yang dipertikaikan sahabat, yang dalam hal itu mereka berijtihad, dan mereka adalah sebaik-baik generasi.
5.        Beriman akan kambalinya khilafah rasyidah sesuai dengan manhaj Nabi Muhammad saw.
6.        Tidak mengkhafirkan seseorang dari kalangan orang-orang yang shalat menhadap kiblat kaum muslimin, lantaran ia melakukan perbuatan dosa seperti berzina, minum khamr, dan mencuri, selama ia tidak menganggapnya halal (pertengahan antara keyakinan khawarij dan murijah).
7.        Berkeyakinan bahwa suatu negara apabila disana berlaku hukum islam dan penguasanya Muslim, maka negara itu adaah Negara Isam.
8.        Tidak memaksa orang kafir untuk masuk islam. Namun orang kafir harus dipaksa tunduk di bawah kekuasaan Islam untuk menghilangkan fitnah, melalui kekuatan Daulah Islamiyah.
9.        Berkeyakinan Islam wajib diamalkan secara kafah dan tidak boleh diamalkan secara sebagian-sebagian.
10.    Berkeyakinan bahwa hukum islam itu wajib dijadikan sebagai satu-satunya landasan hukum.
11.    Bentuk komunitas Muslim yang sesuai dengan sunnah Nabi adalah jamaah dan imamah.
12.    Jihad itu akan terus berjalan sampai hari kiamat, baik dengan adanya imam atau tidak.
13.    Wajib bagi seluruh kaum Muslimin untuk hidup di bawah satu kepemimpinan khalifah yang mengatur seluruh urusan mereka berdasarkan syari’at Islam untuk kemaslahatndunia dan akhirat.
14.    JAT berwala’ (loyal) kepada Allah, Rasul-Nya dan orang beriman. Dan membela wali-wali Allah dan membenci musuh-musuh Allah.
F.   JAMA’AH ANSHARUT TAUHID (JAT)
1.    Jamaah dan Imamah Bagi JAT
Menurut Abu Bakar Ba’asyir, selain menurunkan Islam sebagai landasan hidup untuk mengatur kehidupan,  Allah juga menurunkan sistem untuk mengaturnya. Yaitu, dengan sistem kekuasaan. Allah juga menurunkan sistem dalam memperjuangkan Islam dengan dakwah dan jihad. Allah juga menurunkan cara dan sistem dalam berorganisasi dalam Islam dengan sistem al-Jama’ah wa al-Imamah (kelompok dan kepemimpinan).
Dalam sistem al-Jama’ah wa al-imamah, menurut Ba’asyir, Amir bertanggung jawab langsung kepada Allah. Amir juga tidak dipilih secara periodik, melainkan berlaku kepemimpinan seumur hidup selama amir itu tidak melanggar syari’at, wafat, atau masih hidup tapi lemah. Karena itu Ba’asyir itu menyetujui adanya kongres seperti yang selama ini dilakukan oleh MMI.
Perbedaan pendapat soal berorganisasi itu akhirnya berujung pada mundurnya ABB dari MMI. Bagi Ba’asyir, dakwah dan jihad sebagai cara perjuangan yang ditempuh MMI sudah benar. Namun sistem yang digunakannya masih menggunakan cara-cara yang tidak sesuai dengan sunnah Nabi.
Semula, ia akan memperbaiki sistem organisasi MMI agar sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad saw. Namun takdir Allah berkata lain, baru dua tahun menjabat sebagai amir, ia dipenjara. Setelah ia keluar dari LPN Cipinang, ia berusaha meluruskan sistem organisasi MMI. Namun hasilnya, menurutnya, nihil. Maka ia pun memutuskan untuk mundur sebagai amir MMI.
Soal sistem kepemimpinan ini juga membuat Ba’asyir diterpa tudingan miring bahwa dirinya menganut paham Syiah. Namun tudingan ini dibantah Ba’asyir. Menurutnya, dalam Syiah, seorang amir ma’shum (terjaga dari dosa), sedangkan menurut islam, amir itu tidak ma’shu, bisa saja berbuat salah dan dosa.
Sisten al-jama’ah wa ai-imamah ini kemudian menjadi akidah dan manhaj Jama’ah Ansharut Tauhid (JAT), kendaraan baru Abu Bakar Ba’asyir. Disebutkan dalam Pokok-Pokok Akidah dan Manhaj JAT : Dakwah dan amar ma’ruf nahyi munkar adalah kewajiban yang harus dilaksanakan baik oleh perorangan maupun oleh sebuah komunitas muslim untuk menjaga keberlangsungan syariat islam. Adapun bentuk komunitas muslim yang sesuai dengan sunnah nabi adalah al-jama’ah wa al-imamah.
G. FRONT PEMBELA ISLAM (FPI)
1.    Sekilas tentang FPI
FPI dideklarasikan pada 17 Agustus 1998 (atau 24 Rabiuts Tsani 1419 H) di halaman Pondok Pesantren Al Um, Kampung Utan, Ciputat, di Selatan Jakarta oleh sejumah Habaib, Ulama, Mubaligh dan Aktivis Muslim dan saksikan ratusan santri yang berasal dari daerah Jabotabek, dipimpin oleh Habib Muhammad Rizieq bin Syihab, Lc.
Organisasi ini dibentuk dengan tujuan menjadi wadah kerja sama antara ulama dan umat dalam menegakkan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar di setiap aspek kehidupan.
Latar belakang pendirian FPI sebagaimana disebutkan oleh organisasi tersebut antara lain :
a.    Adanya penderitaan panjang ummat Islam di Indonesia karena lemahnya kontrol sosial penguasa sipil maupun militer akibat banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum penguasa.
b.    Adanya kemungkaran dan kemaksiatan yang semakin merajalela diseluruh sektor kehidupan.
c.    Adanya kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat Islam serta ummat Islam.
FPI menjadi sangat terkenal karena aksi-aksinya  yang kontroversial sejak tahun 1998,   terutama yang dilakukan oleh laskar para militernya yakni Laskar Pembela Islam. Walaupun disamping aksi-aksi kontroversial tersebut FPI juga melibatkan diri dalam aksi-aksi kemanusiaan antara lain pengiriman relawan ke daerah bencana tsunami di Aceh
1.    Ajaran dan Dasar Berpikir
Sesuai dengan latar belakang pendiriannya, FPI mempunyai sudut pandang yang menjadi kerangka berfikir organisasi(visi), bahwa penegakan amar ma’ruf nahi munkar adalah satu-satunya solusi untuk menjauhkan kezhaliman dan kemungkaran.
FPI bermaksud menegakkan amar ma’aruf nahi munkar secara kaffah di segenap sektor kehidupan, dengan tujuan menciptakan umat sholihat yang hidup dalam baldah thoyyibah dengan limpahan keberkahan dan keridhan Allah ‘azza wa Jalla.
2.    Amar Ma’ruf Nahi Munkar ala FPI
Sebagaimana tertulis dalam dokumen Risalah Historis dan Garis Perjuangan FPI, tujuan berdirinya FPI adalah untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Menurut risalah tersebut, amar ma’aruf adalah perintah untuk melakukan segala perkara yang baik menurut hukum syara’ dan hukum akal. Sedangkan nahi munkar adalah mencegah setiap kejahatan atau kemungkaran, yakni setiap perkara yang dianggap buruk oleh syara’ dan hukum akal.
Meskipun memiliki berbagai program, misalnya alam bidang sosial, aksi FPI Yang paling kentara adalah penerapan nahi munkar. Seperti dilaporkan media, aksi mereka banyak yang berakhir rusuh dan anarkis.
Kenyataan ini mengundang berbagai komentar, baik yang pro maupun yang kontra dengan tindakan FPI. Sedangkan di sisi lain, pihak FPI menyakini apa yang mereka lakukan dibenarkan oleh syariat, yakni dalam kerangka amar ma’ruf nahi munkar. Mereka memiliki metode dan strategi dakwah, amar ma’ruf dan nahi munkar. Mereka juga memberikan penjelasan dengan disertai dalil dan argumen untuk membenarkan pendapatnya.
Dalam mencapai tujuan amar ma’ruf, FPI mengutamakan metode bijaksana dan lemah lembut melalui langkah-langkah : mengajak dengan hikmah (kebijaksanaan, lemah lembut), memberi ma’uizhah hasanah(nasehat yang baik), dan berdiskusi deng cara yang terbaik. Sedangkan dalam melakukan nahi munkar, FPI mengutamakan sikap yang tegas melalui langkah-langkah : menggunakan kekuatan atau kekuasaan bila mampu dan menggunakan lisan dan tulisan, bila kedua langkah tersebut tidak mampu dilakukan, maka nahi munkar dilakukan dengan menggunakan hati, yang tertuang dalam ketegasan sikapuntuk menyetujui segala bentuk kemungkaran.
Terkait dakwah, metode yang digunakan harus lembut, karena Allah menyatakan:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَن
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantalah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. An-Nahl 125)
Menurut FPI, ayat di atas adalah ayat dakwah, bukan ayat nahi munkar. Menurut mereka, orang terkadang salah kaprah, di mana ayat dakwah dianggap sebagai dalil nahi munkar, sehingga menghasilkan kesimpulan bahwa metode nahi munkar harus lembut.
Selain dakwah, amar ma’ruf dan munkar, terdapat lagi ayat-ayat tentang perang. FPI melihat, berbagai macam kemungkaran, seperti peredaran narkoba, perjudian, film-film porno di Indonesia, saat ini bukan lagi sebagai kemksiatan individual. Tapi sudah menjadi kemaksiatan struktural. Ketua Umum FPI Habib Muhammad Rizieq bin Syihab mengatakan:
Kalau kemungkaran individual, orang melakukan maksiat, baik yang berkenaan dengan narkoba, judi, VCD porno dan sebagainya, tidak terlalu sulit kita menghadapinya. Insya’Allah lewat dakwah, lewat tabligh, lewat pengajian-pengajian, itu semua bisa di atasi dengan baik. Tapi yang jadi persoalan, kemungkaran di Indonesia saat i ni sudah menjadi kemaksiatan struktural. Mereka punya sistem dan god father yang mengendalikan itu semua. Jaringannya menggurita, masuk ke yudikatif, eksekutif, legislatif. Masuk juga ke elemen-elemen penegak hukum.
Karena itulah, dalam menghadapi kemungkaran dan kemaksiatan yang sudah terstruktural ini, FPI melancarkan strategi perang, karena kemungkarantersebut dinilai sebagai senjata perang oleh pihak musuh.
Habib Rizieq beralasan :
Bahkan yang lebih berbahaya, pornografi, perjudian, narkoba, di Indonesia, ternyata bukan hanya kemaksiatan struktural. Lebih dari itu, sudah bisa dijadiakan senjata perang. Jadi sebetulnya, kita saat ini sedang di serang. Kita di bom oleh negara-negara yang menginginkan liberalisasi dan kebebasan di Indonesia. Kita di serang dengan bom-nom maksiat. Tahun 70-an kita jadi negara transit narkoba. Tiba-tiba tahun 80-an kita jadi negara konsumen. Eh, tahun 90-an tahu-tahu kita berubah jadi negara produsen. Yang menarik, ketika digrebek dan ditangkap, mulai dari pemilik, operator pelaksana, ternyata banyak yang bukan orang Indonesia. Narkoba itu di jual dengan harga murah yang tidak masuk akal. VCD porno dengan harga murah, kenapa? Mereka bukan untuk cari duit. Mereka mau merusak moral. Inilah dahsyatnya bom-bom maksiat yang dilancarkan oleh musuh-musuh kita Ini tadi yang saya katakan, ini perang. Kemaksiatan sudah dijadikan alat perang.
Secara umum, strategi FPI dalam marespon kemungkaran terutama yang berkaitan dengan penyakit masyarakat sangat bergantung pada kondisi lokasi terjadinya kemungkaran tersebut. Jika masyarakat tidak mendukung kemungkaran tersebut, FPI akan menggunakan cara persuasif, melalui penggunaan metode pengajian atau tabligh akbar. Dengan pengajian atau tabligh akbar tersebut, FPI berharap terjadi perubahan paradigma masyarakat dari mendukung maksiat ke menolak masyarakat.
Namun Habib Rizieq mengatakan, kekerassan atau penyerbuan yang dilakukan FPI merupakan jalan terakhir yang terpaksa diambil FPI setelah setelah melewati berlapis-lapis prosedur, diantaranya mendesak kepolisian untuk berbuat.
Setelah melalui investigasi tempat-tempat tersebut terbukti di salah gunakan atau digunakan sebagai tempat kemungkaran, FPI akan melayangkan surat peringatan, baik kepada pemilik usaha maupun kepolisian terdekat. Mereka diberi deadline. Jika sampai pada waktu yang telah disebutkan belum ada tindakan, baik dari pemilik usaha maupun kepolisian, baru FPI akan melakukan sweeping atau penggrebekan.
3.    Perbedaan Metode Dakwah, Amar Ma’ruf, dan Nahi munkar
Seperti telah dijelaskan, menurut FPI, dakwah harus lembut, amar ma’ruf harus tegas, nahi munkar harus keras.
Kesimpulan bahwa dakwah harus lembut, diambil dari ayat:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantalah mereka dengan cara yang lebih baik . Sesungguhnya Rabbmu Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl 125)
Sedang secara umum, makna “keras” mencakup berbagai aspek dan bentuknya, berupa intonasi suara yang kasar dalam dakwah bi al-lisan, pilihan kata-kata yang “nylekit” dalam tulisan atau dakwah bi al-risalah, ataupun dalam manivesitasi tindakan yang terkesan “anarkis” dalam dakwah bi al-hal.
Demikian pula makna yang “menyejukkan” mencakup intonasi ucapan yang lembut, pilihan kata yang berkesan, indah dan menyentuh hati, materi dakwah yang tidak cenderung memvonis dan tindakan amr bi al-ma’ruf atau nahi al-munkar baik dalam dakwah bi al-lisan, dakwah bi al-hal, ataupun dalam dakwah bi al-risalah.
Mengenai sifat “keras” terhadap orang kafir ini, ash-Shabuni menjelaskan, yaitu, “Keras terhadap orang-orang yang menentang Islam yang demikian itu karena memang sudah diperintahkan Allah kepada mereka, begitu kerasnya sehingga orang-orang mukmin itu menjaga diri dari busana mereka, bahkan menyentuh badan mereka.”
Jadi keras dalam dakwah adalah berarti bertindak tegas terhadap orang-orang yang menentang agama Islam, atau menghalangi berkembangnya agam Islam bahkan kalau perlu membunuh orang yang memusuhi Islam. Demikian pula, keras juga berarti tegas dalam menyuruh agar kaum kafir itu kembali ke jalan Allah yang ma’ruf dan tegas dalam mencegah dari yang munkar. Dalam hal ini Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan dari Rasulullah bersabda ;
“Sungguh Allah akan bertanya pada hari kiamat sampai pada pertanyaan, apa yang menghalangimu untuk mengingkari kemungkaran saat engkau melihatnya ? Apabila Allah mendiktekan hujjah pada seorang hamba maka ia berkata, “Ya Tuhanku saya berharap (rahmat)-Mu dan saya takut kpada manusia”, dalam riwayat lain disebutkan, “Aku lebih berhak engkau takuti.”
Kapan aktivitass dakwah dengan metode keras dapat dilakukan? Dan bagaimana caranya? Metode dakwah yang keras (tegas) dapat digunakn apabila memenuhi syarat dan rambu-ambu berikut ini :
1.    Untuk mecegah kemungakaran
Jika memiliki posisi kuat, umat Islam bisa menjaga kehormatan dan harta dari gangguan dan kezaliman kafir. Bahkan jika yang berniat jahat tersebut saudara sesama muslim, maka saudaranya yang lain wajib mencegahnya. Imam Muslim meriwayatkan, sanadnya dari Abu Zaid. Ia berkat bahwa Rasulullah bersabda:
2.    Dakwah Islam dihalangi
Apabila dakwah Islam dihalangi atau kaum muslimin dizalimi, maka kaum muslimin diizinkan berdakwah atau mempertahankan jalannya dakwah dengan cara yang semisal. Sebagai contohnya adalah perang-perang yang dijalankan Rasulullah. Allah berfirman:
أُذِنَلِلَّذِينَيُقَاتَلُونَبِأَنَّهُمْظُلِمُواوَإِنَّاللَّهَعَلَىنَصْرِهِمْلَقَدِيرٌ
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.” (QS. Al-Hajj:39)
Apabila dakwah dengan tegas diberlakukan pada suatu tempat disela-sela zaman niscaya kaum kafir itu akan mengerti benar apa itu prinsip-prinsip keadilan dalm Islam, prinsip-prinsip hubungan sosial dalam Islamdan masalah-maslah lain dalam pokok dan mendasar dalam Islam. Dengan demikian kemungkaran dan kemaksiatan akan lebih mudah diminimalisasi. Sebagai buktinya adalah jama’atu al-muslimin di Madinah di masa Rasulullah.
Sebaliknya, ketika dakwah dengan tegas ini ditinggalkan dengan acuh tak acuh terhadap kemungkaran atau tidak peduli dengan sesama muslim yang dizalimi, bahkan membiarkan kemaksiatan disekeliling, maka sama artinya umat Islam menunggu bencana dan menanti derita yang akan menimpa umat.
Rasulullah bersabda (yang artinya),”Tidak ada seorang yang melakukan kemaksiatan di tengah umat, di mana mereka mampu mengubah kemungkarannyaa, tapi mereka enggan merubahnya, kecuali Allah akan menurunkan adzabnya, sebelum mereka mati.”
Umat Islam menjadi umat terbaik yang pernah ada di muka bumi, karena kebebasan untuk mengungkapkan pendapatnya benar-benar terjamin. Islam mewajibkan nahi munkar (melarang kemungkaran) terhadap segala perilaku yang membahayakan Islam dan manusia. Amanat untuk mengajak kepada kebaikan dan dakwah adalah tanggung jawab setiap muslim. Jika umat islam meninggalkan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, maka mereka tidak lagi memiliki keistimewaan sebagai umat yang terbaik.
           
Islam juga menilai bahwa amar makruf nahi munkar merupakan tanggung jawab kolektif. Allah berfirman :
شَدِيدُشَدِيدُاللَّهَأَنَّوَاعْلَمُواخَاصَّةًمِنْكُمْظَلَمُواالَّذِينَتُصِيبَنَّلَافِتْنَةًوَاتَّقُوا
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaannya.” (QS. Al-Anfal: 25)
Maksut dari tanggung jawab kolektif adalah, jika kemungkaran terjadi namun tidak yang berusaha melarangnya, maka Allah akan memberi sanksi kepada semua umat. Kepada yang melakukan kemungkaran itu karena perilakunya, dan kepada yang tidak melakukan kemungkaran, karena sikapnya yang pasif dan diam.
Namun betapapun tegasnya umat Islam harus mendakwakan Islam, mereka harus tetap berpegang teguh kepada firman Allah: “(Tetapi) janganlah kamu melampai batas, karen sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Dengan demikian, upaya persuasif dan penuh kelembutan merupakan strategi dakwah, sedangkan amar makruf nahi munkar bisa dilakukan dengan lembut maupun tegas/keras.
Namun sejatinya, ada beda antara metodologi dakwah dan metodologi pemerintahan, yang akan menjauhkan umat dari segala kerancuan dan ambiguitas antara keduanya. Suatu hal yang sering membawa juru dakwah, dan umat yang meyakini kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, serta pemerintah, ke dalam kekacauan berpikir dan sikap tenang posisi, tugas dan wewenang masing-masing.
Hal ini diperjelas oleh penafsiran bahwa yang dimaksut dengan lafadz “fal yaughayyir bi yadihi” (maka hendaklah mengubah kemungkaran itu dengan tangannya) dalam hadist riwayat Imam Muslim di atas adalah “mengubah kemungkaran dengan kekuasaannya.” Dengan kata lain, hal itu adalah wewenang pemerintah, bukan “milisi-milisi” bentukan rakyat. Namun di mana pun, milisi akan muncul ketika negara lemah. Logikanya sederhana, karena masyarakat merasa terancam, sementara negara atau pemerintah tidak bisa melindungi warga. Dalam hal ini, rupanya FPI juga telah menilai negara saat ini lemah karena meski sudah diberi laporan tentang adanya kemungkaran, tidak ada tindakan rill untuk menumpasnya. Padahal, apabila masing-masing memahami porsi dan tegasnya, “kerancuan” wewenang seperti ini tidak akan terjadi.
Dengan kata lain, idealnya terdapat job discription yang jelas antara juru dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar dengan pemerintah. Dengan tujuan agara tidak terjadi kericuhan dan konflik horizontal di tengah masyarakat.

BAB III
KESIMPULAN
1.    Perbedaan Aswaja dengan Ikhwanul Muslimin
Aswaja
Ikhwaul Muslimin
2.    Perbedaan Aswaja dengan Hizbut Tahrir
Aswaja
Hizbut Tahrir
3.    Perbedaan Aswaja dengan Jama’at Tablig
Aswaja
Jama’at Tablig
4.    Perbedaan Aswaja dengan Jama’ah Islamiyyah (Ji) Indonesia
Aswaja
Jama’ah Islamiyyah (Ji) Indonesia
5.    Perbedaan Aswaja dengan Ahmadiyyah Qadiyaniyyah
Aswaja
Ahmadiyyah Qadiyaniyyah
6.    Perbedaan Aswaja dengan Jama’ah Ansharut Tauhid
Aswaja
Jama’ah Ansharut Tauhid
7.    Perbedaan Aswaja dengan Front Pembela Islam
Aswaja
Front Pembela Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar