Selasa, 12 Juli 2016

PERAN NU DARI MASA KE MASA

PERAN NU DARI MASA KE MASA

Dosen Pengampu : Nur Rohman, S.Pd., M.Si.
Nama Kelompok :
1.                  Nita Ayu  Fitriani        (151120001581)
2.                  Ery Setiawati              (151120001594)
3.                  Khalimatus Sa’diyah   (151120001595)
4.                  Nurul Isti’anah            (151120001599)
Kelas : AA
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA
JL. Taman Siswa (Pekeng) Tahunan Jepara 59427


KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas petunjuk-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah sebagai tugas yang diberikan oleh dosen.
Meskipun makalah ini belum sempurna semoga bermanfaat bagi pembaca. Tak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Serta penulis selalu mengaharap kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dimasa mendatang.
Penulis
                                                                                                Jepara,  Mei 2016



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Dengan semakin berkembangnya zaman, NU harus dapat ikut menyesuaikan terhadap adanya perubahan tersebut. Maka dari itu, peran NU sangat penting untuk kita pelajari dari masa ke masa. Seperti peribahasa yang berbunyi “Kacang tidak lupa kulitnya” yang berarti bahwa kita sebagai warga NU seharusnya tidak melupakan sejarah berdirinya NU dan peran NU dari masa ke masa. Karena itu adalah hal yang sangat penting untuk diketahui dan dipelajari oleh semua warga NU atau yang sering disebut warga Nahdliyin.
1.2  Rumusan Pembahasan
1.      Bagaimana peran NU pada masa penjajahan?
2.      Bagaimana peran NU pada masa kemerdekaan?
3.      Bagaimana peran NU pada saat mempertahankan kemerdekaan?
4.      Bagaimana peran NU pada saat orde lama?
5.      Bagaimana peran NU pada saat orde baru?
6.      Bagaimana peran NU pada saat reformasi?
7.      Bagaimana peran NU pasca reformasi?
1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui peran NU pada masa penjajahan.
2.      Untuk mengetahui peran NU pada masa kemerdekaan.
3.      Untuk mengetahui peran NU pada saat mempertahankan kemerdekaan.
4.      Untuk mengetahui peran NU pada saat orde lama.
5.      Untuk mengetahui peran NU pada saat orde baru.
6.      Untuk mengetahui peran NU pada saat reformasi.
7.      Untuk mengetahui peran NU pasca reformasi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Peran NU Pada Masa Penjajahan
Pesantren (baca: pusat pembelajaran NU) dan Madrasah (baca: pusat pendidikan formal NU yang didirikan K.H. Wahid Hasyim Asy’ari 1938) sebagai front perlawanan terhadap penjajah merupakan kenyataan sejarah yang terjadi disetiap tempat dan zaman.Perlawanan digerakkan dari pesantren dan karenanya pesantren menjadi basis perlindungan kaum pejuang kemerdekaan.Demikian halnya yang terjadi di pesantren Demangan Bangkalan yang dipimpin Kiai Cholil yang sangat kharismatik. Suatu ketika, ada beberapa pejuang dari Jawa yang bersembunyi dikompleks Pesantren Demangan yang jauh dari keramaian kota itu.
Lama-kelamaan tentara penjajah mencium gelagat itu, maka tidak ada pilihan lain kecuali harus mengerahkan tentara yang cukup besar untuk mengobrak-abrik  kompleks pesantren. Mereka begitu yakin para pejuang bersembunyi di pesantren, tetapi mereka terkejut dan  marah ketika dalam setiap penggerebekan tak menemukan apa-apa. Tidak seorang pun yang dicurigai sebagai pejuang kemerdekaan ditemukan, di antara sekian santri yanag sedang mengaji.Karena jengkel, akhirnya mereka menahan Kiai Cholil sebagai sandera.Mereka berharap, dengan menyandera Kiai Cholil yang sudah sepuh itu, para pejuang mau menyerahkan diri.
Ketika Kiai Cholil dimasukkan ke dalam tahanan, Belanda direpotkan oleh  berbagai kejadian yang aneh-aneh. Mula-mula, semua pintu tahanan tak bisa ditutup, hal itu membuat semua aparat penjajah harus berjaga siang dan malamagar tahanan yang lain tidak melarikan diri. Sementara itu para pejuang ditunggu-tunggu tidak kunjung menyerahkan diri, walaupun pimpinan mereka ditangkap.
Melihat kiainya ditahan, maka setiap hari ribuan orang dari berbagai penjuru Pulau Madura, bahkan juga dari Jawa berdatangan untuk menjenguk dan mengirim makanan kepada Kiai Cholil yang sangat mereka hormati. Tentu saja hal itu juga memusingkan pihak penjajah, karena penjara menjadi ramai seperti pasar.Akhirnya mereka mengeluarkan larangan mengunjungi Kiai Cholil.Tapi ini juga tidak menyelesaikan masalah.Masyarakat yang berbondong-bondong itu berkerumun, berjejal di sekitar rumah tahanan, bahkan ada yang minta ikut ditahan bersama Kiai Cholil.Melihat kenyataan itu akhirnya Belanda membuat pertimbangan. Dari pada dipusingkan dengan hal-hal yang tak bisa diatasi, maka akhirnya pihak penjajah membebaskan  Kiai Cholil tanpa syarat.
Penghormatan masyarakat Jawa dan Madura pada kiai yang satu ini sangat besar, selain menjadi guru hampir dari keseluruhan kiai Jawa, sejak Kiai Hasyim Asy’ari, Wahab Hasbullah, Kiai As’ad dan sebagainya, Kiai itu juga dipercaya sebagai waliyullah yang sangat makrifat. Sang Kiai memang orang yang alim dalam ilmu nahwu, fiqh dan tarekat.Ia tidak hanya menghafal Al-qur’an, tetapi juga menguasai segala ilmu Al-qur’an, termasuk qira’ah sab’ah (tujuh macam seni baca Al-qur’an).
Sebagai seorang wali maka ia dimintai restu oleh berbagai kalangan, termasuk salah satu ulama yang melegitimasi lahirnya NU adalah Kiai Cholil, sebab sebelum mendapat isyarah dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim Asy’ari masih menunda gagasan yang dilontarkan oleh Kiai Wahab Hasbullah untuk mendirikan jam’iyah ulama itu. Baru setelah mendapat restu Kiai Cholil, melalui Kiai As’ad Syamsul Arifin, Kiai Hasyim Asy’ari segera mendeklarasikan NU sebagai organisasi sosial, yang segera disambut oleh seluruh ulama Jawa, Madura bahkan luar Jawa dan dari luar naegeri. 
Menentapkan kedudukan Hindia Belanda sebagai Dar Al-Salam yang menegaskan keterikatan NU dengan nusa bangsa. Hal ini dapat dilihat pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-II di Banjarmasin pada tahun 1936. Sikap Nahdlatul Ulama yaitu menerapkan politik non coorporation (tidak mau kerjasama) dengan Belanda dengan menanamkan rasa benci kepada penjajah para ulama mengharamkan segala sesuatu yang berbau Belanda sehingga semakin menumbuhkan rasa kebangsaan dan anti penjajahan.
Meskipun disadari peraturan yang berlaku tidak menggunakan Islam sebagai dasarnya, akan tetapi Nahdlatul Ulama tidak mempersoalkan, karena yang terpenting adalah umat Islam dapat melaksanakan syariat agamanyadengan bebas.
2.1.1 Masa Penjajahan Belanda
Pada awal periode berdirinya, NU lebih mengutamakan pembentukan persatuan di kalangan umat Islam untuk melawan kolonial Belanda. Untuk mempersatukan umat islam, K.H.Hasyim Asy’ary melontarkan ajakan untuk bersatu dan mengajukanperilaku moderat. Hal ini diwujudkandalam sebuah konfederasi, MajlisIslam A’la Indonesia(MIAI) yangdibentuk pada tahun 1937. Perjuangan NU diarahkan pada duasasaran, yaitu : Pertama, NUmengarahkan perjuangannya padaupaya memperkuat aqidah dan amalibadah ala ASWAJA disertaipengembangan persepsi keagamaan, terutama dalam masalah sosial, pendidikan,dan ekonomi. Kedua,perjuangan NU diarahkan kepadakolonialisme Belanda dengan polaperjuangan yang bersifat kulturaluntuk mencapai kemerdekaan. Selain itu, sebagai organisasi sosialkeagamaan NU bersikap tegasterhadap kebijakan kolonial Balandayang merugikan agama dan umatIslam. Misalnya : NU menolakberpartisipasi dalam Milisia (wajib militer), menentang undang undangperkawinan, masuk dalam lembagasemu Volksraad, dan lain-lain.
2.1.2 Masa Penjajahan Jepang
Pada masa penjajahan Jepang semuaorganisasi pergerakan nasionaldibekukan dan melarang seluruhaktivitasnya, termasuk NU. Bahkan K.H.Hasyim Asy’ary(Rois Akbar)dipenjarakan karena menolak penghormatan kaisar Jepang dengancara membungkukkan badan ke arahtimur pada waktu-waktu tertentu. Mengantisipasi perilaku Jepang, NUmelakukan serangkaian pembenahan. Untuk urusan kedalam diserahkan kepada K.H.Nahrowi Thohir sedangkan urusankeluar dipercayakan kepada K.H. Wahid Hasyim dan K.H. WahabHasbullah. Program perjuangandiarahkan untuk memenuhi tigasasaran utama, yaitu : 1.)Menyelamatkan aqidah Islam darifaham Sintoisme, terutama ajaranShikerei yang dipaksakan olehJepang. 2.)Menanggulangi krisis ekonomisebagai akibat perang Asia Timur bekerjasama dengan seluruhkomponen Pergerakan Nasionaluntuk melepaskan diri dari segalabentuk penjajahan. Setelah itu, Jepang menyadarikesalahannya memperlakukan umatIslam dengan tidak adil. Beberapaorganisasi Islam kemudian dicairkanpembekuannya. 3.)Untuk menggalangpersatuan, pada bulan Oktober 1943 dibentuk federasi antar organisasiIslam yang diberi nama Majlis SyuroMuslimin Indonesia (MASYUMI). Padabulan Agustus 1944 dibentukShumubu(Kantor Urusan Agama)untuk tingkat pusat, dan Shumuka untuk tingkat daerah.
2.2 Peran NU Pada Masa Kemerdekaan
Pada tanggal 7 September 1944Jepang mengalami kekalahan perangAsia Timur, sehingga pemerintah Jepang akan memberikankemerdekaan bagi Indonesia. Untukitu dibentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia(BPUPKI). BPUPKI berangggotakan 62orang yang diantaranya adalah tokohNU (K.H. Wahid Hasyim dan K.H.Masykur). Materi pokok dalam diskusi-diskusiBPUPKI ialah tentang dasar danbentuk Negara. Begitu rumitnyapembahasan tentang dasar danfalsafah Negara maka disepakatidibentuk “Panitia Sembilan”. Dalam panitia kecil ini NU diwakili oleh K.H.Wahid Hasyim, hasilnya disepakatipada dasar Negara mengenai“Ketuhanan” ditambah dengankalimat “Dengan kewajibanmenjalankan Syari’at Islam bagi pemeluknya”. Keputusan ini dikenal dengan “Piagam Jakarta”. Sehari setelah Indonesia merdeka,Moh Hatta memanggil empat tokohmuslim untuk menanggapi usulankeberatan masyarkat non muslimtentang dimuatnya Piagam Jakartadalam pembukaan UUD 1945. Demi menjaga keutuhan dan kesatuanbangsa, K.H. Wahid Hasyimmengusulkan agar Piagam Jakartadiganti dengan “Ketuhanan yangMaha Esa”. Kata “Esa” berarti keesaanTuhan (Tauhid) yang ada hanya dalam agama Islam, dan usul iniditerima.
2.3 Peran NU Pada Masa Mempertahankan Kemerdekaan
Pada 16 September 1945 tentara Belanda (NICA) tiba kembali di Indonesia dengan tujuan ingin kembali menguasai Indonesia. Melihat ancaman tersebut, NU segera mengundang para utusan dan pengurus seluruh Jawa dan Madura dalam sidang Pleno Pengurus Besar pada 22 Oktober 1945. Pada rapat tersebut dikeluarkan “Resolusi Jihad” yang secara garis besar berisi : Kemerdekaan Indonesia wajib dipertahankan Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah wajib dibela dan diselamatkan. Musuh RI, terutama Belanda pasti akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia. Umat Islam terutama warga NU wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia. Kewajiban Jihad tersebut adalah suatu jihad yang menjadi kewajiban bagisetiap muslim (Hukumnya fardlu ‘Ain). Resolusi Jihad ini benar-benar menjadi inspirasi bagi berkobarnya semangat juang Arek-Arek Surabaya dalam peristiwa 10 November 1945 yang dikenal dengan”Hari Pahlawan”.
2.4 Peran NU Pada Masa Orde Lama
Pada periode 1960-1966 NU tampil menjadi kekuatan yang melawan komunisme, hal ini dilakukan dengan membentuk beberapa organisasi, seperti : Banser (Barisan Ansor SerbaGuna), Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim), Pertanu (Persatuan Petani NU), dan lain-lain. Pada tanggal 5 Oktober1965 NU menuntut pembubaran PKI. Sebagai salah satu sikap perjuangan NU melawan pemerintahan kolonial Belanda adalah menolak berpartispasi dalam wajib militer, mendirikan partai politik untuk melawan Belanda, mengadakan perang gerilya, menuntut adanya pemilihan umum untuk memilih presiden, dan menolak kedatangan Jepang.
NU dalam setiap penyelenggaraan pemilu menjadi “Gadis Molek yang diperebutkan semua kekuataan politik sejak Orde Lama sampai sekarang. NU mulai berpolitik sejak bergabung dengan entitas organisasi masyarakat keislaman lain dengan membentuk Masyumi yang diketuai oleh K.H. Wahid Hasyim. NU menjadi partai pada pemilu 1955.
Prestasi yang disandang NU, diantaranya: Pertama, penyelenggaraan Pemilu pertama diserahkan kepada sebuah panitia Pemilu yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil partai politik. Jadi, tidak dilaksanakan oleh pemerintah. Hal yang demikian dikenang dan dicatat oleh sejarah sebagai Pemilu yang diselenggarakan berdasarkan policy Mendagri Mr. Soenarjo (dari NU). Pada Pemilu ini, NU meraih 45 kursi di parlemen (DPR). Kedua, lahirnya Peraturan Pemerintah 10: membatasi aktifitas ekonomi para pengusaha asing serta bertujuan memproteksi dan mendorong agar para pengusaha pribumi dapat berkembang. Peraturan Pemerintah ini lahir pada saat Departemen Perdagangan dipimpin oleh Drs. Rahmat Mulyoamiseno (NU). Ketiga, penggagasan berdirinya masjid Istiqlal oleh K.H. A. Wahid Hasyim (Menteri Agama saat itu) dan disetujui Presiden Soekarno. Adapun pelaksanaannya direalisasikan pada masa Menteri Agama K.H. M. Ilyas (NU). Keempat, penggagasan pendirian IAIN oleh K.H. Wahib Wahab (Menteri Agama saat itu). Kelima, realisasi penerjemahan al-Qur’an kedalam bahasa Indonesia oleh Menteri Agama Prof. K.H. Syaifuddin Zuhri (NU). Keenam, penyelenggaraan kegiatan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) yang diprakarsai oleh Menteri Agama K.H. M. Dahlan (NU), yang di kemudian hari menjadi acara nasional, silaturrohmi para qori’ dan huffadz se-tanah air. Ketujuh, penggagalan terbentuknya "Kabinet Kaki Empat" (PNI-PKI-Masyumi-NU), perlawanan langsung terhadap aksi-aksi PKI disegala bidang. Ketika Prof. Dr. Hamka dihantam PKI, NU melalui media massa yang dimilikinya, yaitu surat kabar harian Duta Masyarakat (Dumas) secara terang-terangan membela Hamka. Puncak dari perlawanan NU terhadap PKI adalah gagalnya G30S PKI. NU tercatat sebagai partai politik pertama yang mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar PKI dibubarkan. Sikap tegas ini dicetuskan oleh NU pada tanggal 5 Oktober 1965 ketika masyarakat Indonesia masih bersikap ragu-ragu tentang siapa yang menjadi arsitek G30S PKI.
2.5 Peran NU Pada Masa Orde Baru
Proses NU kembali ke khittah 1926 dilalui dengan lika-liku yang panjang. Gagasan itu sebenarnya sudah muncul sejak muktamar NU 1962 di Solo. Sesudah itu dalam muktamar Bandung 1967 dan Surabaya 1971 tidak terdengar lagi isu tentang itu. Namun tidak berarti substansinya sama sekali hilang dari perhatian para pemimpin NU. Tarik menarik antara keinginan untuk menjadikan NU sebagai organisasi politik dan keinginan untuk tetap sebagai organisasi sosial keagamaan terjadi sejak lama. Muktamar Menes 1938 ketika membahas perlunya NU menempatkan wakil dalam Dewan Rakyat (Volksraad) atas usul cabang Indramayu, ditolak sidang dengan perbandingan 39, 11, dan 3. Ketika NU memutuskan keluar dari Masyumi dan membentuk dirinya menjadi partai politik, muktamar Palembang 1952 memutuskan menerima dengan perbandingan suara 61, 9, dan 7. Hal ini menggambarkan bahwa tarik menarik itu tidak berjalan mulus.
Ketika muktamar Menes berkeinginan untukmenjadi partai politik didukung 11 cabang dan 3 abstain. Dalam muktamar Palembang ada 9 cabang yang tidak menyetujui usul keluar dari Masyumi membentuk diri sebagai partai politik, 7 cabang abstain. Muktamar NU 1979 di Semarang mengisyaratkan langkah yang setengah hati. Sementara ingin memperkuat sisi jam'iyah dengan pengembangan program dasar lima tahun yang sarat dengan cita-cita luhur, tetapi tak hendak melepaskan dunia politik yang sudah digeluti sejak lama. Ibarat langkah dengan kaki sebelah, sementara kaki yang sebelah lagi ingin tetap menginjak dunia lain. Langkah yang serba pincang dan setangah hati itu bukanlah tanpa alasan. Sejarah masa lain NU dan tradisi keagamaan yang dicoba untuk dikembangkan sarat dengan pesan-pesan yang berdimensi politik. Referensi fikih yang digumuli NU tidak sepi dari pesan itu. Mulai dari bab qada (kekuasaan hukum), imamah (kekuasaan politik), imarah al-jaisy (kekuasaan militer), atau kitab al-buqhat (bab tentang pemberontakan) dan lain sebagainya, mengandung implikasi pesan politik. Semua ini pada akhirnya berpengaruh langsung maupun tidak langsung, terhadap sikap dan perilaku NU selanjutnya.
  Setelah NU memasuki dunia politik lebih formal awal kemerdekaan ketika tergabung bersama organisasi Islam lain dalam Masyumi, lalu dunia politik menjadi bagian penting dari kehidupan NU. Jika pada mulanya persinggungan itu masih dilapisi jarak untuk dapat menggeluti aspek sosial keagamaan, lambat laun keterlibatan dengan politik itu semakin intens, aspek politik akhirnya menyeret NU meninggalkan kegiatan utamanya sebagai organisasi sosial keagamaan. Langkah NU setelah berubah menjadi partai politik untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya justru mengakibatkan terabaikannya sifat pelayanan sosialnya.Kepentingan-kepentingan grup dan perorangan untuk memperebutkan jabatan atau kesempatan politik tidak terbendung lagi. Akibat kerumitan penataan distribusi politik terus mendesak, maka kegiatan-kegiatan non politik tidak terperhatikan lagi. Fenomena ini terlihat dalam muktamar NU 1971 di Surabaya. Menghadapi gagasan pemerintah untuk menyederhanakan sistem kepartaian, NU ingin tetap bertahan sebagai partai politik dan memberi kemungkinan membentuk wadah baru untuk menampung kegiatan-kegiatan nonpolitik. Ini menandai salah satu dari ketidakmampuan NU menyelesaikan garapan bidang-bidang nonpolitik karena ikatannya dengan aspek politik begitu kuatnya. Oleh karena itu ketika NU dipaksa untuk melakukan pilihan, oleh kebijaksanaan politik Orde Baru, antara tetap menjadi partai politik atau mengubah dirinya kembali menjadi jam'iyah, keputusan muktamar Surabaya ingin tetap menjadi partai politik dan menyerahkan garapan bidang nonpolitik kepada badan baru yang direkomendasikan pembentukannya. Namun keputusan itu masih disertai alternatif jika kondisi obyektif tidak memungkinkan lagi NU bertahan, muktamar menyerahkan untuk mengambil keputusan lain kepada PBNU. Benar saja realitas yang terjadi setelah kemenangan Golkar yang begitu mencolok dalam pemilihan umum 1971, gagasan penyederhanaan sistem kepartaian menjadi prioritas rencana pemerintah selanjutnya. Mulanya dengan anjuran pengelompokan partai dalam DPR selanjutnya menuju fusi antar partai. Setelah fusi itu berjalan maka undang-undang yang mengatur organisasi kepartaian ditetapkan dengan hanya mengakui dua partai politik dan satu golongan karya. Setelah fusi itu maka partai-partai Islam yang berfusi sepakat menyalurkan aspirasi dan perjuangan politik mereka melalui partai hasil fusi itu dan selanjutnya organisasi mereka mengkhususkan kegiatan dalam bidang nonpolitik. Namun tidak lantas dengan demikian persoalan-persoalan partai hasil fusi itu selesai dengan sendirinya. Konflik kepentingan antar unsur yang berfusi terus membayangi perjalanan partai itu. Menjelang akhir sepuluh tahun pertama usia partai hasil fusi, konflik terbuka pun pecah, antar unsur bekas partai yang berfusi memperebutkan kepentingan-kepentingan mereka. Akibatnya perolehan suara dalam pemilihan umum 1982 menurun dan bertambah anjlok pada pemilihan berikutnya 1987. Fusi partai-partai Islam tahun 1973 memberi keuntungan kepada NU sebab fusi itu dilakukan ketika NU berhasil memperoleh suara yang mengungguli jauh partai-partai Islam lainnya. Dengan posisi 58 kursi dari seluruh kursi partai Islam 94 kursi, berarti NU mengantongi 61,7% suara gabungan partai-partai Islam itu. Akan tetapi menjelang pemilihan umum tahun 1982, posisi itu mulai digugat unsur MI dalam PPP. Konflik pun akhirnya pecah secara terbuka. Dengan dukungan pejabat-pejabat pemerintah gugatan MI berhasil mengurangi posisi perimbangan kekuatan NU tidak lagi dominan seperti sediakala. Kekecewaan yang dialami NU akibat konflik dengan unsur lain dalam PPPberkembang menjadi salah satu faktor pendorong yang mempercepat langkah NU menuju khittah 1926.
Pada masa ini dinamika NU dalam bernegara sangat terasa, dari mendukung hingga oposisi terhadap pemerintahan. Namun NU lebih konsen karena kembali ke Khittah sebagai ormas bukan lagi partai politik. Sehingga NU lebih leluasa dalam mengambil sikap dan gerakannya terhadap pembangunan NKRI.
Setelah Kabinet Ampera terbentuk (25 Juli 1966).Menyusul tekad membangun dicanangkan UU Penanaman Modal Asing (10 Januari 1967), kemudian Penyerahan Kekuasaan Pemerintah RI dari Soekarno kepada Mandataris MPRS (12 Februari 1967), lalu disusul pelantikan Soeharto (12 Maret 1967) sebagai Pejabat Presiden sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Gerakan Pemuda Ansor.  Luapan kegembiraan itu tercermin dalam Kongres VII GP Ansor di Jakarta.Ribuan utusan yang hadir seolah tak kuat membendung kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan Orde Lama, dibubarkannya PKI dan diharamkannya Komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi Indonesia.
Bukan berarti tak ada kekecewaan, justru dalam kongres VII itulahrasa tak puas dan kecewa terhadap perkembangan politik pasca Orde lama ramai diungkapkan. Seperti diungkapkan Ketua Umum GP Ansor Jahja Ubaid SH, bahwa setelah mulai rampungnya perjuangan Orde Baru, diantara partner sesama Orde baru telah mulai melancarkan siasat untuk mengecilkan peranan GP Ansor dalam penumpasan G30SPKI dan penumbangan rezim Orde Lama. Bahwa suasana Kongres VII dengan demikian diliputi dengan rasa kegembiraan dan kekecewaan yang cukup mendalam.
Kongres VII GP Ansor berlangsung di Jakarta, 23-28 Oktober 1967.hadir dalam kongres tersebut sejumlah utusan dari 26 wilayah (Propinsi) dan 252 Cabang (Kabupaten) se-Indonesia. Hadir pula menyampaikan amanat; Ketua MPRS Jenderal A.H.Nasution; Pejabat Presiden Jenderal Soeharto; K.H. Dr. Idham Chalid (Ketua PBNU); H.M.Subchan ZE (Wakil Ketua MPRS); H. Imron Rosyadi, SH (mantan Ketua Umum PPGP Ansor) dan K.H.Moh. Dachlan (Ketua Dewan Partai NU dan Menteri Agama RI).
Kongres kali ini merupakan moment paling tepat untuk menjawab segala persoalan yang timbul di kalangan Ansor. Karena itu, pembahasan dalam kongres akhirnya dikelompokan menjadi tiga tema pokok: (1) penyempurnaan organisasi; (2) program perjuangan gerakan; dan (3) penegasan politik gerakan.
Dalam kongres ini juga merumuskan Penegasan Politik Gerakan sebagai berikut: (1) Menengaskan Orde Baru dengan beberapa persyaratan: (a). membasmi komunisme, marxisme, dan leninisme. (b) menolak kembalinya kekuasaan totaliter/Orde Lama, segala bentuk dalam manifestasinya. (c) mempertahankan kehidupan demokrasi yang murni dan (d) mempertahankan eksistensi Partijwezen; (2) Toleransi Agama dijamin oleh UUD 1945. Dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut-penganut agama lain; (3) Mempertahankan politik luar negeri yang bebas aktif, anti penjajahan dan penindasaan dalam menuju perdamaian dunia.
Rumusan penegasan politik tersebut tentu dilatarbelakangi kajian mendalam mengenai situasi politik yang berkembang saat itu.Kajian atau analisis itu, juga mengantisipasi perkembangan berikutnya.Memang begitulah yang dilakukan kongres.Perkara politik itu pula-lah yang paling menonjol dalam kongres VII tersebut. Itulah sebabnya, dalam kongres itu diputuskan: Bahwa GP Ansor memutuskan untuk ikut di dalamnya dalam penumpasan sisa-sisa PKI yang bermotif ideologis dan strategis. Kepada yang bermotif Politis, Ansor menghadapinya secara kritis dan korektif.Sedangkan yang bermotif teror, GPAnsor harus menentang dan berusaha menunjukkan kepalsuannya. Atas dasar itulah, GP Ansor mendukung dan ikut di dalamnya dalam operasi penumpasan sisa-sisa PKI di Blitar dan Malang yang dikenal dengan operasi Trisula.Bahkan GP Ansor waktu itu sempat mengirim telegram ucapan selamat kepada Pangdam VIII/Brawijaya atas suksesnya operasi tersebut.Ansor ikut operasi itu karenaoperasi di kedua daerah tersebut bermotif ideologis dan strategis.
Sesungguhnya kongres juga telah memperediksi sesuatu bentuk kekuasaan yang bakal timbul. Karena itu, sejak awal Ansor telah menegaskan sikapmenolak kembalinya pemerintahan tiran. Orde Baru ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi yang bukan hanya memberi kebebasan menyatakan pendapat melalui media pers atau mimbar-mimbar ilmiah.Tapi, demokrasi diartikan sebagai suatu Doktrin Pemerintahan yang tidak mentolerir pengendapan kekuasaan totaliter di suatu tempat. Seperti kata Michael Edwards dalam buku Asian in the Balance, bahwa kecenderungan di Asia, akan masuk liang kubur dan muncul authoritarianism. Pendeknya, demokrasi pada mulanya di salah gunakan oleh pemegang kekuasaan yang korup hingga mendorong Negara ke arah Kebangkrutan.Lalu, sebelum meledak bentrokan-bentrokan sosial, kaum militer mengambil alih kekuasaan, dan dengan kekuasaan darurat itulah ditegakkan pemerintahan otoriter.
2.6 Peran NU Pada Masa Reformasi
Masa reformasi yang menjadi tanda berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde baru merupakan sebuah momentum bagi Nahdlatul Ulama (NU) untuk melakukan pembenahan diri.Selama rezim orde baru berkuasa, NU cenderung dipinggirkan oleh penguasa saat itu.Ruang gerak NU pada masa orde baru juga dibatasi, terutama dalam hal aktivitas politiknya.
Pada masa reformasi inilah peluang Nahdlatul Ulama untuk memainkan peran pentingnya di Indonesia kembali terbuka.NU yang merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia, pada awalnya lebih memilih sikap netral menjelang mundurnya Soeharto. Namun sikap ini kemudian berubah, setelah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan sebuah pandangan untuk merespon proses reformasi yang berlangsung di Indonesia, yang dikenal  dengan Refleksi Reformasi.
Refleksi reformasi ini berisi delapan butir pernyataan sikap dari PBNU, yaitu :
1.    Nahdlatul Ulama memiliki tanggung jawab moral untuk turut menjaga agar reformasi berjalan kea rah yang lebih tepat.
2.    Rekonsiliasi nasional jika dilaksanakan harus ditujukan untuk merajut kembali ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) dan dirancang kearah penataan sistem kebangsaan dan kenegaraan yang lebih demokratis, jujur dan berkeadilan.
3.    Reformasi jangan sampai berhenti di tengah jalan, sehingga dapat menjangkau terbentuknya sebuah tatanan baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
4.    Penyampaian berbagai gagasan yang dikemukakan hendaknya dilakukan dengan hati-hati, penuh kearifan dan didasari komitmen bersama serta dihindari adanya pemaksaan kehendak.
5.    Kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu harus disikapi secara arif dan bertanggung jawab.
6.    TNI harus berdiri di atas semua golongan.
7.    Pemberantasan KKN harus dilakukan secara serius dan tidak hanya dilakukan pada kelompok tertentu.
8.    Praktik monopoli yang ada di Indonesia harus segera dibasmi tuntas dalam setiap praktik ekonomi.
Pada perkembangan selanjutnya, PBNU kembali mengeluarkan himbauan yang isinya menyerukan agar agenda reformasi diikuti secara aktif oleh seluruh lapisan dan jajaran Nahdlatul Ulama. Himbauan itu dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 1998 yang ditandatangani oleh K.H. M. Ilyas Ruhiyat, Prof. Dr. K.H. Said Agil Siraj, M.A., Ir. H. Musthafa Zuhad Mughni dan Drs. Ahmad Bagdja.
Menjelang Nopember 1998, para mahasiswa yang merupakan elemen paling penting dalam gerakan reformasi, makin menjadi tidak sabar dengan tokoh-tokoh nasional yang enggan bergerak cepat dalam gerakan reformasi ini. Pada tanggal 10 Nopember 1998 para mahasiswa merancang sebuah pertemuan dengan mengundang K.H.Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Prof.Dr. Amien Rais dan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Tempat pertemuan ini dipilih di Ciganjur (rumah K.H. Abdurrahman Wahid), karena kondisi kesehatan K.H. Abdurrahman Wahid saat itu belum sembuh total dari serangan stroke yang menimpanya.
Keempat tokoh nasional pro reformasi tersebut membentuk sebuah kelompok yang sering disebut Kelompok Ciganjur. Kelompok ini kemudian mengeluarkan sebuah deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi Ciganjur, yang berisi delapan tuntutan reformasi, yaitu :
1.Menghimbau  kepada semua pihak agar tetap menjunjung tinggi kesatuan dan pesatuan bangsa.
2. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan memberdayakan lembaga perwakilan  sebagai penjelmaan aspirasi rakyat.
3. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat sebagai asas perjuangan di dalam proses pembangunan bangsa.
4. Pelaksanaan reformasi harus diletakkan dalam perspektif kepentingan yang akan datang.
5. Segera dilaksanakan pemilu oleh pelaksana independent.
6. Penghapusan dwi fungsi ABRI secara bertahap, paling lambat 6 tahun dari tanggal pernyataan ini dibacakan.
7. Menghapus dan mengusut pelaku KKN, yang diawali dari kekayaan Soeharto dan kroni-kroninya.
8. Mendesak untuk segera dibubarkannya PAM Swakarsa
Gerakan reformasi harus dijalankan dengan cara-cara yang damai dan menolak segala bentuk tindakan kekerasan atas nama reformasi. Di berbagai wilayah Indonesia digelar istighosah yang bertujuan untuk memohon kepada Allah SWT agar bangsa Indonesia dapat segera terbebas dari krisis yang sedang melanda.Istighosah terbesar yang diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama diadakan di Jakarta pada bulan Juli 1999, yang dihadiri tokoh-tokoh nasional.Dengan penyelengaraan istighosah, diharapkan dapat mempererat silaturahim dan mengurangi ketegangan antar komponen bangsa.
2.7 Peran NU Pasca Reformasi
Dengan tidak lagi menjadi parpol, NU sebagai organisasi kemasyarakatan bisa lebih leluasa mengembangkan diri, memfokuskan pada visi dan misinya di bidang-bidang sosial, kemasyarakatan, keagamaan dan pendidikan. Makin banyak tantangan yang dihadapi, massa NU yang banyak bermukim di pedesaan terutama di Jatim dan sebagian Jawa Tengah serta beberapa daerah mulai intensif mendapatkan perhatian dari pimpinan NU. Sebagian besar nahdliyin di pedesaan tak lepas dari belitan kemiskinan, namun organisasi-organisasi otonom NU melakukan langkah-langkah lebih konkrit untuk berupaya mengatasi kemiskinan, karena bila dibiarkan terus-menerus lama-kelamaan akan menggerus massa NU. Dikhawatirkan akan banyak umat nahdliyn semakin renggang hubungan silaturahim, fungsional dan strukturnya dengan NU.
Organisasi-organisasi otonom NU adalah Muslimat NU, GP Ansor, Fatayat, IPNU dan IPPNU, juga kalangan mahasiwanya yang tergabung dalam PMII. Organisasi-organisasi otonom itu sebenarnya merupakan potensi cukup besar yang bila dikelola maksimal akan menjadikan pohon NU lebih subur, rindang dan akarnya juga semakin kuat.           
Angkatan Muda NU semakin banyak yang menjadi intelektual dalam berbagai bidang, bahkan mulai ada yang sudah diperhitungkan dalam forum nasional maupun internasional. Pada 1985 mereka mendirikan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU. Selain itu, sebetulnya NU memiliki kelebihan dari warganya kalangan bawah yang menjadi wiraswasta meskipun sebagian besar masih dalam skala usaha kecil. Tapi di sini sudah ada modal dasar yakni jiwa wiraswasta mereka. Bila mereka terus dibina oleh NU dengan dukungan pemerintah, mereka tidak akan sulit untuk ditingkatkan menjadi wiraswasta tingkat menengah dan kemudian tinggi.
Misi NU yang tak kurang beratnya adalah bagaimana mengantisipasi gerakan-gerakan radikal dari kalangan Islam sendiri, baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri. Mengantisipasi hal itu pada 2012 NU membentuk Laskar Aswaja untuk merespons keresahan atas radikalisme berbasis agama.
Pegangan yang dipakai NU sejauh ini tetap mempertahankan paham ahlus sunnah wal jama'ah (aswaja) yang disesuaikan dengan kultur masyarakat dalam bingkai kebangsaan dan NKRI. Menangkal gerakan radikal lewat gerakan dakwah dan secara fisik bila dalam keadaan terpaksa dengan Laskar Aswaja. Aswaja bila ditilik pengertiannya adalah aliran yang dianut siapa pun umat Islam yang berpegang teguh pada Al Qur'an dan sunnah nabi. Dengan pengertian itu maka sebenarnya NU bukanlah satu-satunya organisasi Islam di Indonesia yang menganut paham Aswaja. Secara akidah NU menempatkan dirinya di jalan tengah, tidak mengakomodasi ekstrimisme baik radikal maupun liberal.

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
            Pada masa penjajahan terdapat dua periode, yaitu Belanda dan Jepang. Warga NU yang mayoritas dari pesantren berjuang untuk melawan para penjajah. Pada masa kemerdekaan,  salah satu tokoh NU yang tergabung dalam anggota BPUPKI ikut merumuskan dasar negara, khususnya pada sila pertama dan adanya resolusi jihad. Pada masa mempertahankan kemerdekaan, NU mengadakan Resolusi Jihat, yaitu mempertahankan kemerdekaan RI dari para penjajah. Pada masa orde lama, NU berperan dalam menyelenggarakan pemilu pertama di Indonesia. Pada masa orde baru, NU kembali ke khittah dengan tidak lagi menjadi parpol melainkan sebagai ormas Islam. Pada masa reformasi, sebagai momentum bagi NU untuk pembenahan diri. Pada masa pasca reformasi, NU melakukan pengembangan diri hingga sekarang.
3.2 Saran                                                 
            Sebaiknya sebagai warga NU, kita terus mempertahankan eksistensi NU dari masa ke masa. Kita juga harus mengembalikan citra NU yang sudah mulai terkontaminasi dengan organisasi-organisasi kemasyarakat lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar