PERAN NU DARI MASA KE MASA
Dosen Pengampu : Nur Rohman,
S.Pd., M.Si.
Nama Kelompok :
1.
Nita Ayu Fitriani (151120001581)
2.
Ery Setiawati (151120001594)
3.
Khalimatus Sa’diyah (151120001595)
4.
Nurul Isti’anah (151120001599)
Kelas : AA
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA
JL. Taman Siswa (Pekeng) Tahunan Jepara 59427
KATA PENGANTAR
Puji
syukur atas kehadirat Allah SWT atas petunjuk-Nya penulis dapat menyelesaikan
makalah sebagai tugas yang diberikan oleh dosen.
Meskipun
makalah ini belum sempurna semoga bermanfaat bagi pembaca. Tak lupa penulis
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini. Serta penulis selalu mengaharap kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan dimasa mendatang.
Penulis
Jepara, Mei 2016
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dengan
semakin berkembangnya zaman, NU harus dapat ikut menyesuaikan terhadap adanya
perubahan tersebut. Maka dari itu, peran NU sangat penting untuk kita pelajari
dari masa ke masa. Seperti peribahasa yang berbunyi “Kacang tidak lupa
kulitnya” yang berarti bahwa kita sebagai warga NU seharusnya tidak melupakan
sejarah berdirinya NU dan peran NU dari masa ke masa. Karena itu adalah hal
yang sangat penting untuk diketahui dan dipelajari oleh semua warga NU atau
yang sering disebut warga Nahdliyin.
1.2 Rumusan
Pembahasan
1.
Bagaimana peran NU pada masa penjajahan?
2.
Bagaimana peran NU pada masa kemerdekaan?
3.
Bagaimana peran NU pada saat mempertahankan kemerdekaan?
4.
Bagaimana peran NU pada saat orde lama?
5.
Bagaimana peran NU pada saat orde baru?
6.
Bagaimana peran NU pada saat reformasi?
7.
Bagaimana peran NU pasca reformasi?
1.3 Tujuan
1.
Untuk mengetahui peran NU pada masa penjajahan.
2.
Untuk mengetahui peran NU pada masa kemerdekaan.
3.
Untuk mengetahui peran NU pada saat mempertahankan
kemerdekaan.
4.
Untuk mengetahui peran NU pada saat orde lama.
5.
Untuk mengetahui peran NU pada saat orde baru.
6.
Untuk mengetahui peran NU pada saat reformasi.
7.
Untuk mengetahui peran NU pasca reformasi.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Peran NU Pada
Masa Penjajahan
Pesantren (baca:
pusat pembelajaran NU) dan Madrasah (baca:
pusat pendidikan formal NU yang didirikan K.H. Wahid Hasyim Asy’ari 1938)
sebagai front perlawanan terhadap
penjajah merupakan kenyataan sejarah yang terjadi disetiap tempat dan zaman.Perlawanan
digerakkan dari pesantren dan karenanya pesantren menjadi basis perlindungan
kaum pejuang kemerdekaan.Demikian halnya yang terjadi di pesantren Demangan
Bangkalan yang dipimpin Kiai Cholil yang sangat kharismatik. Suatu ketika, ada
beberapa pejuang dari Jawa yang bersembunyi dikompleks Pesantren Demangan yang
jauh dari keramaian kota itu.
Lama-kelamaan tentara penjajah
mencium gelagat itu, maka tidak ada pilihan lain kecuali harus mengerahkan
tentara yang cukup besar untuk mengobrak-abrik kompleks pesantren. Mereka
begitu yakin para pejuang bersembunyi di pesantren, tetapi mereka terkejut
dan marah ketika dalam setiap penggerebekan tak menemukan apa-apa. Tidak
seorang pun yang dicurigai sebagai pejuang kemerdekaan ditemukan, di antara
sekian santri yanag sedang mengaji.Karena jengkel, akhirnya mereka menahan Kiai
Cholil sebagai sandera.Mereka berharap, dengan menyandera Kiai Cholil yang sudah sepuh itu, para pejuang
mau menyerahkan diri.
Ketika Kiai Cholil dimasukkan
ke dalam tahanan, Belanda direpotkan oleh berbagai kejadian yang
aneh-aneh. Mula-mula, semua pintu tahanan tak bisa ditutup, hal itu membuat
semua aparat penjajah harus berjaga siang dan malamagar tahanan yang lain tidak melarikan diri. Sementara itu para pejuang
ditunggu-tunggu tidak kunjung menyerahkan diri, walaupun pimpinan mereka
ditangkap.
Melihat kiainya ditahan, maka setiap hari ribuan orang dari berbagai penjuru
Pulau Madura, bahkan juga dari Jawa berdatangan untuk menjenguk dan mengirim
makanan kepada Kiai Cholil yang sangat mereka hormati. Tentu saja
hal itu juga memusingkan pihak penjajah, karena penjara menjadi ramai seperti
pasar.Akhirnya mereka mengeluarkan larangan mengunjungi Kiai Cholil.Tapi ini
juga tidak menyelesaikan masalah.Masyarakat yang berbondong-bondong itu
berkerumun, berjejal di sekitar rumah tahanan, bahkan ada yang minta ikut
ditahan bersama Kiai Cholil.Melihat kenyataan itu akhirnya Belanda membuat
pertimbangan. Dari pada dipusingkan dengan hal-hal yang tak bisa diatasi, maka
akhirnya pihak penjajah membebaskan Kiai Cholil tanpa syarat.
Penghormatan masyarakat Jawa dan Madura pada kiai yang satu ini sangat
besar, selain menjadi guru hampir dari keseluruhan kiai Jawa, sejak Kiai Hasyim
Asy’ari, Wahab Hasbullah, Kiai As’ad dan sebagainya, Kiai itu juga dipercaya
sebagai waliyullah yang sangat makrifat. Sang Kiai memang orang yang
alim dalam ilmu nahwu, fiqh dan tarekat.Ia tidak hanya menghafal Al-qur’an, tetapi juga menguasai segala ilmu Al-qur’an, termasuk
qira’ah sab’ah (tujuh macam seni baca Al-qur’an).
Sebagai seorang wali maka ia dimintai restu oleh berbagai kalangan,
termasuk salah satu ulama yang melegitimasi lahirnya NU adalah Kiai Cholil,
sebab sebelum mendapat isyarah dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim Asy’ari masih
menunda gagasan yang dilontarkan oleh Kiai Wahab Hasbullah untuk mendirikan
jam’iyah ulama itu. Baru setelah mendapat restu Kiai Cholil, melalui Kiai As’ad
Syamsul Arifin, Kiai Hasyim Asy’ari segera mendeklarasikan NU sebagai
organisasi sosial, yang segera disambut oleh seluruh ulama Jawa, Madura bahkan
luar Jawa dan dari luar naegeri.
Menentapkan kedudukan Hindia Belanda sebagai Dar Al-Salam yang menegaskan keterikatan NU dengan nusa bangsa. Hal ini dapat
dilihat pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-II di Banjarmasin pada tahun 1936.
Sikap Nahdlatul Ulama yaitu menerapkan politik non coorporation (tidak
mau kerjasama) dengan Belanda dengan menanamkan rasa benci kepada penjajah para
ulama mengharamkan segala sesuatu yang berbau Belanda sehingga semakin
menumbuhkan rasa kebangsaan dan anti penjajahan.
Meskipun disadari peraturan yang berlaku tidak menggunakan Islam sebagai dasarnya, akan tetapi Nahdlatul
Ulama tidak mempersoalkan, karena yang terpenting adalah umat Islam dapat melaksanakan syariat
agamanyadengan bebas.
2.1.1 Masa Penjajahan Belanda
Pada awal periode berdirinya, NU
lebih mengutamakan pembentukan persatuan di kalangan umat Islam untuk melawan
kolonial Belanda. Untuk mempersatukan umat islam, K.H.Hasyim Asy’ary melontarkan
ajakan untuk bersatu dan mengajukanperilaku moderat. Hal ini diwujudkandalam
sebuah konfederasi, MajlisIslam A’la Indonesia(MIAI) yangdibentuk pada tahun
1937. Perjuangan NU diarahkan pada duasasaran, yaitu : Pertama, NUmengarahkan perjuangannya padaupaya memperkuat aqidah
dan amalibadah ala ASWAJA disertaipengembangan persepsi keagamaan, terutama
dalam masalah sosial, pendidikan,dan ekonomi. Kedua,perjuangan NU diarahkan kepadakolonialisme Belanda dengan
polaperjuangan yang bersifat kulturaluntuk mencapai kemerdekaan. Selain itu,
sebagai organisasi sosialkeagamaan NU bersikap tegasterhadap kebijakan kolonial
Balandayang merugikan agama dan umatIslam. Misalnya : NU menolakberpartisipasi
dalam Milisia (wajib militer), menentang undang undangperkawinan, masuk dalam
lembagasemu Volksraad, dan lain-lain.
2.1.2
Masa Penjajahan Jepang
Pada masa penjajahan Jepang
semuaorganisasi pergerakan nasionaldibekukan dan melarang seluruhaktivitasnya,
termasuk NU. Bahkan K.H.Hasyim Asy’ary(Rois Akbar)dipenjarakan karena menolak
penghormatan kaisar Jepang dengancara membungkukkan badan ke arahtimur pada
waktu-waktu tertentu. Mengantisipasi perilaku Jepang, NUmelakukan serangkaian
pembenahan. Untuk urusan kedalam diserahkan kepada K.H.Nahrowi Thohir sedangkan
urusankeluar dipercayakan kepada K.H. Wahid Hasyim dan K.H. WahabHasbullah. Program
perjuangandiarahkan untuk memenuhi tigasasaran utama, yaitu : 1.)Menyelamatkan
aqidah Islam darifaham Sintoisme, terutama ajaranShikerei yang dipaksakan
olehJepang. 2.)Menanggulangi krisis ekonomisebagai akibat perang Asia Timur bekerjasama
dengan seluruhkomponen Pergerakan Nasionaluntuk melepaskan diri dari
segalabentuk penjajahan. Setelah itu, Jepang menyadarikesalahannya
memperlakukan umatIslam dengan tidak adil. Beberapaorganisasi Islam kemudian
dicairkanpembekuannya. 3.)Untuk menggalangpersatuan, pada bulan Oktober 1943
dibentuk federasi antar organisasiIslam yang diberi nama Majlis SyuroMuslimin Indonesia (MASYUMI). Padabulan Agustus 1944 dibentukShumubu(Kantor
Urusan Agama)untuk tingkat pusat, dan Shumuka untuk tingkat daerah.
2.2 Peran NU Pada Masa Kemerdekaan
Pada tanggal 7 September 1944Jepang
mengalami kekalahan perangAsia Timur, sehingga pemerintah Jepang akan
memberikankemerdekaan bagi Indonesia. Untukitu dibentuk Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia(BPUPKI). BPUPKI berangggotakan 62orang yang
diantaranya adalah tokohNU (K.H. Wahid Hasyim dan K.H.Masykur). Materi pokok
dalam diskusi-diskusiBPUPKI ialah tentang
dasar danbentuk Negara. Begitu rumitnyapembahasan tentang dasar danfalsafah
Negara maka disepakatidibentuk “Panitia Sembilan”. Dalam panitia kecil ini NU
diwakili oleh K.H.Wahid Hasyim, hasilnya disepakatipada dasar Negara
mengenai“Ketuhanan” ditambah dengankalimat “Dengan kewajibanmenjalankan
Syari’at Islam bagi pemeluknya”. Keputusan ini dikenal dengan “Piagam Jakarta”.
Sehari setelah Indonesia merdeka,Moh Hatta memanggil empat tokohmuslim untuk
menanggapi usulankeberatan masyarkat non muslimtentang dimuatnya Piagam Jakartadalam
pembukaan UUD 1945. Demi menjaga keutuhan dan kesatuanbangsa, K.H. Wahid Hasyimmengusulkan
agar Piagam Jakartadiganti dengan “Ketuhanan yangMaha Esa”. Kata “Esa” berarti
keesaanTuhan (Tauhid) yang ada hanya dalam agama Islam, dan usul iniditerima.
2.3 Peran NU Pada Masa Mempertahankan Kemerdekaan
Pada 16 September 1945 tentara
Belanda (NICA) tiba kembali di Indonesia dengan tujuan ingin kembali menguasai
Indonesia. Melihat ancaman tersebut, NU segera mengundang para utusan dan
pengurus seluruh Jawa dan Madura dalam sidang Pleno Pengurus Besar pada 22
Oktober 1945. Pada rapat tersebut dikeluarkan “Resolusi Jihad” yang secara
garis besar berisi : Kemerdekaan Indonesia wajib dipertahankan Republik
Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah wajib dibela dan
diselamatkan. Musuh RI, terutama Belanda pasti akan menggunakan kesempatan
politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia. Umat Islam terutama warga
NU wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak
kembali menjajah Indonesia. Kewajiban Jihad tersebut adalah suatu jihad yang
menjadi kewajiban bagisetiap muslim (Hukumnya fardlu ‘Ain). Resolusi Jihad ini
benar-benar menjadi inspirasi bagi berkobarnya semangat juang Arek-Arek
Surabaya dalam peristiwa 10 November 1945 yang dikenal dengan”Hari Pahlawan”.
2.4 Peran NU Pada Masa Orde Lama
Pada periode 1960-1966 NU tampil
menjadi kekuatan yang melawan komunisme, hal ini dilakukan dengan membentuk
beberapa organisasi, seperti : Banser (Barisan Ansor SerbaGuna), Lesbumi (Lembaga
Seni Budaya Muslim), Pertanu (Persatuan Petani NU), dan lain-lain. Pada tanggal
5 Oktober1965 NU menuntut pembubaran PKI. Sebagai salah satu sikap perjuangan
NU melawan pemerintahan kolonial Belanda adalah menolak berpartispasi dalam
wajib militer, mendirikan partai politik untuk melawan Belanda, mengadakan
perang gerilya, menuntut adanya pemilihan umum untuk memilih presiden, dan
menolak kedatangan Jepang.
NU dalam
setiap penyelenggaraan pemilu menjadi “Gadis Molek” yang
diperebutkan semua kekuataan politik sejak Orde Lama sampai sekarang. NU mulai berpolitik sejak bergabung dengan
entitas organisasi masyarakat keislaman lain dengan membentuk Masyumi yang diketuai oleh K.H. Wahid Hasyim. NU
menjadi partai pada pemilu 1955.
Prestasi yang disandang NU, diantaranya: Pertama,
penyelenggaraan Pemilu pertama diserahkan kepada sebuah panitia Pemilu yang
anggotanya terdiri dari wakil-wakil partai politik. Jadi, tidak dilaksanakan
oleh pemerintah. Hal yang demikian dikenang dan dicatat oleh sejarah sebagai
Pemilu yang diselenggarakan berdasarkan policy Mendagri Mr.
Soenarjo (dari NU). Pada Pemilu ini, NU meraih 45 kursi di parlemen
(DPR). Kedua, lahirnya Peraturan Pemerintah 10: membatasi aktifitas
ekonomi para pengusaha asing serta bertujuan memproteksi dan mendorong agar
para pengusaha pribumi dapat berkembang. Peraturan Pemerintah ini lahir pada
saat Departemen Perdagangan dipimpin oleh Drs. Rahmat Mulyoamiseno (NU). Ketiga,
penggagasan berdirinya masjid Istiqlal oleh K.H. A. Wahid Hasyim (Menteri Agama
saat itu) dan disetujui Presiden Soekarno. Adapun pelaksanaannya direalisasikan
pada masa Menteri Agama K.H. M. Ilyas (NU). Keempat, penggagasan
pendirian IAIN oleh K.H. Wahib Wahab (Menteri Agama saat itu). Kelima,
realisasi penerjemahan al-Qur’an kedalam bahasa Indonesia oleh Menteri Agama
Prof. K.H. Syaifuddin Zuhri (NU). Keenam, penyelenggaraan kegiatan
Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) yang diprakarsai oleh Menteri Agama K.H. M.
Dahlan (NU), yang di kemudian hari menjadi acara nasional, silaturrohmi para
qori’ dan huffadz se-tanah air. Ketujuh, penggagalan terbentuknya
"Kabinet Kaki Empat" (PNI-PKI-Masyumi-NU), perlawanan langsung
terhadap aksi-aksi PKI disegala bidang. Ketika Prof. Dr. Hamka dihantam PKI, NU
melalui media massa yang dimilikinya, yaitu surat kabar harian Duta Masyarakat
(Dumas) secara terang-terangan membela Hamka. Puncak dari perlawanan NU
terhadap PKI adalah gagalnya G30S PKI. NU tercatat sebagai partai politik
pertama yang mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar PKI dibubarkan. Sikap
tegas ini dicetuskan oleh NU pada tanggal 5 Oktober 1965 ketika masyarakat
Indonesia masih bersikap ragu-ragu tentang siapa yang menjadi arsitek G30S PKI.
2.5 Peran NU Pada Masa Orde Baru
Proses NU kembali ke khittah 1926 dilalui dengan lika-liku yang panjang.
Gagasan itu sebenarnya sudah muncul sejak muktamar NU 1962 di Solo. Sesudah itu
dalam muktamar Bandung 1967 dan Surabaya 1971 tidak terdengar lagi isu tentang
itu. Namun tidak berarti substansinya sama sekali hilang dari perhatian para
pemimpin NU. Tarik menarik antara keinginan untuk menjadikan NU sebagai
organisasi politik dan keinginan untuk tetap sebagai organisasi sosial keagamaan
terjadi sejak lama. Muktamar Menes 1938 ketika membahas perlunya NU menempatkan
wakil dalam Dewan Rakyat (Volksraad) atas usul cabang Indramayu, ditolak sidang
dengan perbandingan 39, 11, dan 3. Ketika NU memutuskan keluar dari Masyumi dan
membentuk dirinya menjadi partai politik, muktamar Palembang 1952 memutuskan
menerima dengan perbandingan suara 61, 9, dan 7. Hal ini menggambarkan bahwa
tarik menarik itu tidak berjalan mulus.
Ketika muktamar Menes berkeinginan untukmenjadi partai politik didukung 11
cabang dan 3 abstain. Dalam muktamar Palembang ada 9 cabang yang tidak menyetujui
usul keluar dari Masyumi membentuk diri sebagai partai politik, 7 cabang
abstain. Muktamar NU 1979 di Semarang mengisyaratkan langkah yang setengah
hati. Sementara ingin memperkuat sisi jam'iyah dengan pengembangan program
dasar lima tahun yang sarat dengan cita-cita luhur, tetapi tak hendak melepaskan
dunia politik yang sudah digeluti sejak lama. Ibarat langkah dengan kaki sebelah,
sementara kaki yang sebelah lagi ingin tetap menginjak dunia lain. Langkah yang
serba pincang dan setangah hati itu bukanlah tanpa alasan. Sejarah masa lain NU
dan tradisi keagamaan yang dicoba untuk dikembangkan sarat dengan pesan-pesan yang
berdimensi politik. Referensi fikih yang digumuli NU tidak sepi dari pesan itu.
Mulai dari bab qada (kekuasaan hukum), imamah (kekuasaan politik), imarah
al-jaisy (kekuasaan militer), atau kitab al-buqhat (bab tentang pemberontakan)
dan lain sebagainya, mengandung implikasi pesan politik. Semua ini pada
akhirnya berpengaruh langsung maupun tidak langsung, terhadap sikap dan
perilaku NU selanjutnya.
Setelah NU memasuki dunia politik
lebih formal awal kemerdekaan ketika tergabung bersama organisasi Islam lain
dalam Masyumi, lalu dunia politik menjadi bagian penting dari kehidupan NU.
Jika pada mulanya persinggungan itu masih dilapisi jarak untuk dapat menggeluti
aspek sosial keagamaan, lambat laun keterlibatan dengan politik itu semakin
intens, aspek politik akhirnya menyeret NU meninggalkan kegiatan utamanya
sebagai organisasi sosial keagamaan. Langkah NU setelah berubah menjadi partai
politik untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya justru mengakibatkan
terabaikannya sifat pelayanan sosialnya.Kepentingan-kepentingan grup dan
perorangan untuk memperebutkan jabatan atau kesempatan politik tidak terbendung
lagi. Akibat kerumitan penataan distribusi politik terus mendesak, maka kegiatan-kegiatan
non politik tidak terperhatikan lagi. Fenomena ini terlihat dalam muktamar NU
1971 di Surabaya. Menghadapi gagasan pemerintah untuk menyederhanakan sistem
kepartaian, NU ingin tetap bertahan sebagai partai politik dan memberi
kemungkinan membentuk wadah baru untuk menampung kegiatan-kegiatan nonpolitik. Ini
menandai salah satu dari ketidakmampuan NU menyelesaikan garapan bidang-bidang
nonpolitik karena ikatannya dengan aspek politik begitu kuatnya. Oleh karena
itu ketika NU dipaksa untuk melakukan pilihan, oleh kebijaksanaan politik Orde
Baru, antara tetap menjadi partai politik atau mengubah dirinya kembali menjadi
jam'iyah, keputusan muktamar Surabaya ingin tetap menjadi partai politik dan
menyerahkan garapan bidang nonpolitik kepada badan baru yang direkomendasikan
pembentukannya. Namun keputusan itu masih disertai alternatif jika kondisi obyektif
tidak memungkinkan lagi NU bertahan, muktamar menyerahkan untuk mengambil
keputusan lain kepada PBNU. Benar saja realitas yang terjadi setelah kemenangan
Golkar yang begitu mencolok dalam pemilihan umum 1971, gagasan penyederhanaan
sistem kepartaian menjadi prioritas rencana pemerintah selanjutnya. Mulanya
dengan anjuran pengelompokan partai dalam DPR selanjutnya menuju fusi antar
partai. Setelah fusi itu berjalan maka undang-undang yang mengatur organisasi
kepartaian ditetapkan dengan hanya mengakui dua partai politik dan satu
golongan karya. Setelah fusi itu maka partai-partai Islam yang berfusi sepakat
menyalurkan aspirasi dan perjuangan politik mereka melalui partai hasil fusi
itu dan selanjutnya organisasi mereka mengkhususkan kegiatan dalam bidang
nonpolitik. Namun tidak lantas dengan demikian persoalan-persoalan partai hasil
fusi itu selesai dengan sendirinya. Konflik kepentingan antar unsur yang
berfusi terus membayangi perjalanan partai itu. Menjelang akhir sepuluh tahun
pertama usia partai hasil fusi, konflik terbuka pun pecah, antar unsur bekas
partai yang berfusi memperebutkan kepentingan-kepentingan mereka. Akibatnya
perolehan suara dalam pemilihan umum 1982 menurun dan bertambah anjlok pada
pemilihan berikutnya 1987. Fusi partai-partai Islam tahun 1973 memberi
keuntungan kepada NU sebab fusi itu dilakukan ketika NU berhasil memperoleh
suara yang mengungguli jauh partai-partai Islam lainnya. Dengan posisi 58 kursi
dari seluruh kursi partai Islam 94 kursi, berarti NU mengantongi 61,7% suara gabungan
partai-partai Islam itu. Akan tetapi menjelang pemilihan umum tahun 1982,
posisi itu mulai digugat unsur MI dalam PPP. Konflik pun akhirnya pecah secara terbuka.
Dengan dukungan pejabat-pejabat pemerintah gugatan MI berhasil mengurangi
posisi perimbangan kekuatan NU tidak lagi dominan seperti sediakala. Kekecewaan
yang dialami NU akibat konflik dengan unsur lain dalam PPPberkembang menjadi salah
satu faktor pendorong yang mempercepat langkah NU menuju khittah 1926.
Pada masa ini dinamika NU dalam bernegara sangat terasa, dari mendukung
hingga oposisi terhadap pemerintahan. Namun NU lebih konsen karena kembali ke
Khittah sebagai ormas bukan lagi partai politik. Sehingga NU lebih leluasa
dalam mengambil sikap dan gerakannya terhadap pembangunan NKRI.
Setelah Kabinet Ampera
terbentuk (25 Juli 1966).Menyusul tekad membangun dicanangkan UU Penanaman
Modal Asing (10 Januari 1967), kemudian Penyerahan Kekuasaan Pemerintah RI dari
Soekarno kepada Mandataris MPRS (12 Februari 1967), lalu disusul pelantikan
Soeharto (12 Maret 1967) sebagai Pejabat Presiden sungguh merupakan kebahagiaan
tersendiri bagi Gerakan Pemuda Ansor. Luapan kegembiraan itu tercermin dalam Kongres
VII GP Ansor di Jakarta.Ribuan utusan yang hadir seolah tak kuat membendung
kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan Orde Lama, dibubarkannya PKI dan
diharamkannya Komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi
Indonesia.
Bukan berarti tak ada
kekecewaan, justru dalam kongres VII itulahrasa tak puas dan kecewa terhadap
perkembangan politik pasca Orde lama ramai diungkapkan. Seperti diungkapkan Ketua Umum GP
Ansor Jahja Ubaid SH, bahwa setelah mulai rampungnya perjuangan Orde Baru,
diantara partner sesama Orde baru telah mulai melancarkan siasat untuk mengecilkan peranan
GP Ansor dalam penumpasan G30SPKI dan penumbangan rezim Orde Lama. Bahwa
suasana Kongres VII dengan demikian diliputi dengan rasa kegembiraan dan
kekecewaan yang cukup mendalam.
Kongres VII GP Ansor
berlangsung di Jakarta, 23-28 Oktober 1967.hadir dalam kongres tersebut
sejumlah utusan dari 26 wilayah (Propinsi) dan 252 Cabang (Kabupaten)
se-Indonesia. Hadir pula menyampaikan amanat; Ketua MPRS Jenderal A.H.Nasution;
Pejabat Presiden Jenderal Soeharto; K.H. Dr. Idham
Chalid (Ketua PBNU); H.M.Subchan ZE (Wakil Ketua MPRS); H. Imron Rosyadi, SH
(mantan Ketua Umum PPGP Ansor) dan K.H.Moh. Dachlan (Ketua Dewan Partai NU dan Menteri Agama RI).
Kongres kali ini merupakan
moment paling tepat untuk menjawab segala persoalan yang timbul di kalangan
Ansor. Karena itu, pembahasan dalam kongres akhirnya dikelompokan menjadi tiga
tema pokok: (1) penyempurnaan organisasi; (2) program perjuangan gerakan; dan
(3) penegasan politik gerakan.
Dalam kongres ini juga
merumuskan Penegasan Politik Gerakan sebagai berikut: (1) Menengaskan Orde Baru dengan beberapa
persyaratan: (a). membasmi komunisme, marxisme, dan leninisme. (b) menolak
kembalinya kekuasaan totaliter/Orde Lama, segala bentuk dalam manifestasinya.
(c) mempertahankan kehidupan demokrasi yang murni dan (d) mempertahankan
eksistensi Partijwezen; (2) Toleransi Agama dijamin oleh UUD 1945. Dalam
pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta perasaan
penganut-penganut agama lain; (3) Mempertahankan politik luar negeri yang bebas
aktif, anti penjajahan dan penindasaan dalam menuju perdamaian dunia.
Rumusan penegasan politik
tersebut tentu dilatarbelakangi kajian mendalam mengenai situasi politik yang
berkembang saat itu.Kajian atau analisis itu, juga mengantisipasi perkembangan
berikutnya.Memang begitulah yang dilakukan kongres.Perkara politik itu pula-lah
yang paling menonjol dalam kongres VII tersebut. Itulah sebabnya, dalam
kongres itu diputuskan: Bahwa GP Ansor memutuskan untuk ikut di dalamnya dalam
penumpasan sisa-sisa PKI yang bermotif ideologis dan strategis. Kepada yang
bermotif Politis, Ansor
menghadapinya secara kritis dan korektif.Sedangkan yang bermotif teror, GPAnsor
harus menentang dan berusaha menunjukkan kepalsuannya. Atas dasar itulah,
GP Ansor mendukung dan ikut di dalamnya dalam operasi penumpasan sisa-sisa PKI
di Blitar dan Malang yang dikenal dengan operasi Trisula.Bahkan GP Ansor waktu
itu sempat mengirim telegram ucapan selamat kepada Pangdam VIII/Brawijaya atas
suksesnya operasi tersebut.Ansor
ikut operasi itu karenaoperasi di kedua daerah tersebut bermotif ideologis dan
strategis.
Sesungguhnya kongres juga
telah memperediksi sesuatu bentuk kekuasaan yang bakal timbul. Karena itu,
sejak awal Ansor telah menegaskan sikapmenolak kembalinya pemerintahan tiran.
Orde Baru ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi yang bukan hanya memberi kebebasan
menyatakan pendapat melalui media pers atau mimbar-mimbar ilmiah.Tapi,
demokrasi diartikan sebagai suatu Doktrin Pemerintahan yang tidak mentolerir
pengendapan kekuasaan totaliter di suatu tempat. Seperti kata Michael Edwards
dalam buku Asian in the Balance, bahwa kecenderungan di Asia, akan
masuk liang kubur dan muncul authoritarianism. Pendeknya, demokrasi pada
mulanya di salah gunakan oleh pemegang kekuasaan yang korup hingga mendorong
Negara ke arah Kebangkrutan.Lalu, sebelum meledak bentrokan-bentrokan sosial,
kaum militer mengambil alih kekuasaan, dan dengan kekuasaan darurat itulah ditegakkan pemerintahan
otoriter.
2.6 Peran NU Pada Masa Reformasi
Masa reformasi yang menjadi
tanda berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde baru merupakan sebuah momentum
bagi Nahdlatul Ulama (NU) untuk
melakukan pembenahan diri.Selama rezim orde baru berkuasa, NU cenderung dipinggirkan oleh penguasa saat itu.Ruang
gerak NU pada masa
orde baru juga dibatasi, terutama dalam hal aktivitas politiknya.
Pada masa reformasi inilah
peluang Nahdlatul Ulama untuk memainkan peran pentingnya di Indonesia kembali
terbuka.NU yang
merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia, pada awalnya lebih memilih sikap
netral menjelang mundurnya Soeharto. Namun sikap ini kemudian berubah, setelah
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan sebuah pandangan untuk
merespon proses reformasi yang berlangsung di Indonesia, yang dikenal
dengan Refleksi Reformasi.
Refleksi reformasi ini berisi
delapan butir pernyataan sikap dari PBNU, yaitu :
1. Nahdlatul
Ulama memiliki tanggung jawab moral untuk turut menjaga agar reformasi berjalan
kea rah yang lebih tepat.
2. Rekonsiliasi nasional jika dilaksanakan harus
ditujukan untuk merajut kembali ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan)
dan dirancang kearah penataan sistem kebangsaan dan kenegaraan yang lebih
demokratis, jujur dan berkeadilan.
3. Reformasi
jangan sampai berhenti di tengah jalan, sehingga dapat menjangkau terbentuknya
sebuah tatanan baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
4. Penyampaian berbagai gagasan yang dikemukakan
hendaknya dilakukan dengan hati-hati, penuh kearifan dan didasari komitmen
bersama serta dihindari adanya pemaksaan kehendak.
5. Kasus-kasus
pelanggaran HAM di masa lalu harus disikapi secara arif dan bertanggung jawab.
6. TNI harus
berdiri di atas semua golongan.
7. Pemberantasan
KKN harus dilakukan secara serius dan tidak hanya dilakukan pada kelompok
tertentu.
8. Praktik
monopoli yang ada di Indonesia harus segera dibasmi tuntas dalam setiap praktik
ekonomi.
Pada perkembangan selanjutnya, PBNU kembali mengeluarkan himbauan yang
isinya menyerukan agar agenda reformasi diikuti secara aktif oleh seluruh
lapisan dan jajaran Nahdlatul Ulama. Himbauan itu dikeluarkan pada tanggal 31
Desember 1998 yang ditandatangani oleh K.H. M. Ilyas Ruhiyat, Prof. Dr. K.H.
Said Agil Siraj, M.A., Ir. H. Musthafa Zuhad Mughni dan Drs. Ahmad Bagdja.
Menjelang Nopember 1998, para
mahasiswa yang merupakan elemen paling penting dalam gerakan reformasi, makin
menjadi tidak sabar dengan tokoh-tokoh nasional yang enggan bergerak cepat
dalam gerakan reformasi ini. Pada tanggal 10 Nopember 1998 para mahasiswa
merancang sebuah pertemuan dengan mengundang K.H.Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Prof.Dr. Amien Rais dan Sri
Sultan Hamengkubuwono X. Tempat pertemuan ini dipilih di Ciganjur (rumah K.H. Abdurrahman Wahid), karena kondisi kesehatan
K.H. Abdurrahman Wahid saat itu
belum sembuh total dari serangan stroke yang menimpanya.
Keempat tokoh nasional pro
reformasi tersebut membentuk sebuah kelompok yang sering disebut Kelompok
Ciganjur. Kelompok ini kemudian mengeluarkan sebuah deklarasi yang dikenal
dengan Deklarasi Ciganjur, yang berisi delapan tuntutan reformasi, yaitu :
1.Menghimbau kepada semua pihak agar tetap
menjunjung tinggi kesatuan dan pesatuan bangsa.
2. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan
memberdayakan lembaga perwakilan sebagai penjelmaan aspirasi rakyat.
3. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat sebagai asas
perjuangan di dalam proses pembangunan bangsa.
4. Pelaksanaan reformasi harus diletakkan dalam
perspektif kepentingan yang akan datang.
5. Segera dilaksanakan pemilu oleh pelaksana independent.
6. Penghapusan dwi fungsi ABRI secara bertahap, paling
lambat 6 tahun dari tanggal pernyataan ini dibacakan.
7. Menghapus dan mengusut pelaku KKN, yang diawali dari
kekayaan Soeharto dan kroni-kroninya.
8. Mendesak untuk segera dibubarkannya PAM Swakarsa
Gerakan reformasi harus
dijalankan dengan cara-cara yang damai dan menolak segala bentuk tindakan
kekerasan atas nama reformasi. Di berbagai wilayah Indonesia digelar istighosah
yang bertujuan untuk memohon kepada Allah SWT agar bangsa Indonesia dapat
segera terbebas dari krisis yang sedang melanda.Istighosah terbesar yang
diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama diadakan di Jakarta pada bulan Juli 1999,
yang dihadiri tokoh-tokoh nasional.Dengan penyelengaraan istighosah, diharapkan
dapat mempererat silaturahim dan mengurangi ketegangan antar komponen bangsa.
2.7 Peran NU Pasca Reformasi
Dengan tidak lagi menjadi
parpol, NU sebagai organisasi kemasyarakatan bisa lebih leluasa mengembangkan
diri, memfokuskan pada visi dan misinya di bidang-bidang sosial,
kemasyarakatan, keagamaan dan pendidikan. Makin banyak tantangan yang dihadapi,
massa NU yang banyak bermukim di pedesaan terutama di Jatim dan sebagian Jawa
Tengah serta beberapa daerah mulai intensif mendapatkan perhatian dari pimpinan
NU. Sebagian besar nahdliyin di pedesaan tak lepas dari belitan kemiskinan,
namun organisasi-organisasi otonom NU melakukan langkah-langkah lebih konkrit
untuk berupaya mengatasi kemiskinan, karena bila dibiarkan terus-menerus
lama-kelamaan akan menggerus massa NU. Dikhawatirkan akan banyak umat nahdliyn
semakin renggang hubungan silaturahim, fungsional dan strukturnya dengan NU.
Organisasi-organisasi
otonom NU adalah Muslimat NU, GP Ansor, Fatayat, IPNU dan IPPNU, juga kalangan
mahasiwanya yang tergabung dalam PMII. Organisasi-organisasi otonom itu
sebenarnya merupakan potensi cukup besar yang bila dikelola maksimal akan
menjadikan pohon NU lebih subur, rindang dan akarnya juga semakin kuat.
Angkatan Muda NU semakin
banyak yang menjadi intelektual dalam berbagai bidang, bahkan mulai ada yang
sudah diperhitungkan dalam forum nasional maupun internasional. Pada 1985
mereka mendirikan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia
(Lakpesdam) NU. Selain itu, sebetulnya NU memiliki kelebihan dari warganya
kalangan bawah yang menjadi wiraswasta meskipun sebagian besar masih dalam
skala usaha kecil. Tapi di sini sudah ada modal dasar yakni jiwa wiraswasta
mereka. Bila mereka terus dibina oleh NU dengan dukungan pemerintah, mereka
tidak akan sulit untuk ditingkatkan menjadi wiraswasta tingkat menengah dan
kemudian tinggi.
Misi NU yang tak kurang
beratnya adalah bagaimana mengantisipasi gerakan-gerakan radikal dari kalangan
Islam sendiri, baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri. Mengantisipasi
hal itu pada 2012 NU membentuk Laskar Aswaja untuk merespons keresahan atas
radikalisme berbasis agama.
Pegangan yang dipakai NU
sejauh ini tetap mempertahankan paham ahlus sunnah wal jama'ah (aswaja) yang
disesuaikan dengan kultur masyarakat dalam bingkai kebangsaan dan NKRI.
Menangkal gerakan radikal lewat gerakan dakwah dan secara fisik bila dalam
keadaan terpaksa dengan Laskar Aswaja. Aswaja bila ditilik pengertiannya adalah
aliran yang dianut siapa pun umat Islam yang berpegang teguh pada Al Qur'an dan
sunnah nabi. Dengan pengertian itu maka sebenarnya NU bukanlah satu-satunya
organisasi Islam di Indonesia yang menganut paham Aswaja. Secara akidah NU
menempatkan dirinya di jalan tengah, tidak mengakomodasi ekstrimisme baik
radikal maupun liberal.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 Simpulan
Pada masa
penjajahan terdapat dua periode, yaitu Belanda dan Jepang. Warga NU yang
mayoritas dari pesantren berjuang untuk melawan para penjajah. Pada masa
kemerdekaan, salah satu tokoh NU yang
tergabung dalam anggota BPUPKI ikut merumuskan dasar negara, khususnya pada
sila pertama dan adanya resolusi jihad. Pada masa mempertahankan kemerdekaan,
NU mengadakan Resolusi Jihat, yaitu mempertahankan kemerdekaan RI dari para
penjajah. Pada masa orde lama, NU berperan dalam menyelenggarakan pemilu
pertama di Indonesia. Pada masa orde baru, NU kembali ke khittah dengan tidak
lagi menjadi parpol melainkan sebagai ormas Islam. Pada masa reformasi, sebagai
momentum bagi NU untuk pembenahan diri. Pada masa pasca reformasi, NU melakukan
pengembangan diri hingga sekarang.
3.2 Saran
Sebaiknya
sebagai warga NU, kita terus mempertahankan eksistensi NU dari masa ke masa.
Kita juga harus mengembalikan citra NU yang sudah mulai terkontaminasi dengan
organisasi-organisasi kemasyarakat lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar