Selasa, 12 Juli 2016

HUJJAH AMALIYAH NAHDLIYAH (2)

HUJJAH AMALIYAH NAHDLIYAH (2)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Hujjah atau Hujjat (bahasa Arab: الحجة) adalah istilah yang banyak digunakan di dalam Al-Qur'an dan literatur Islam yang bermakna tanda, bukti, dalil, alasan atau argumentasi. Sehingga kata kerja "berhujjah" diartikan sebagai "memberikan alasan-alasan". Kadangkala kata hujjah disinonimkan dengan kata burhan, yaitu argumentasi yang valid, sehingga dihasilkan kesimpulan yang dapat diyakini dan dipertanggungjawabkan akan kebenarannya.
Amaliyah Nahdliyah adalah amal perbuatan lahir, baik yang berhubungan dengan Ibadah, Mu’amalah maupun Akhlaq; yang biasa dilakukan oleh kaum Nahdliyyin, bisa jadi secara formal warga Jam’iyyah Nahdlatul Ulama atau bukan.
Nahdlatul Ulama memperjuangkan berlakunya Ajaran Islam ala Ahlussunnah wal Jama’ah, oleh karena itu menurut NU, cara berfikir dan bentindak, cara bertheologi maupun beramal, yang benar didasarkan pada Ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. Menurut NU, Islam adalah ahlussunnah wal jama’ah, maka kaum nahdliyyin tidak mendasarkan perbuatannya kecuali pada ahlusunnah wal jama’ah.
Secara praktis, amaliyah ahlussunnah wal jama’ah NU di dasarkan pada cara bertheologi menurut madzhab theologi Al-Asy’ary dan Al-Maturidy, dalam bidang fiqh mengikuti salah satu madzhab empat, yaitu : Hanafy, Maliky, Syafi;y dan Hambaly; serta mengamalkan tasawuf sesuai dengan cara tasawuf Imam al-Junaid al-Baghdady dan Imam Al-Ghazaly.
1.2  Rumusan Masalah
Apa hujjah amaliyah nahdliyah tentang :
1.      Tradisi Yasinan
2.      Tradisi Maulid Nabi
3.      Tradisi Manaqiban dan Haul
4.      Tradisi Bulan Syura
5.      Tradisi Bulan Sya’ban, Ruwahan, dan Nyadran
6.      Tradisi Istighatsah dan Tawassul
7.      Khasiyat Ayat Al-Qur’an, Hizib, dan Do’a
8.      Shalat Sunnat Qabliyah Jum’at
9.      Ziarah Kubur
10.  Tradisi Bulan Shafar
1.3  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan pembahasan yaitu ingin mengetahui lebih detil mengenail hujjah amaliyah nahdliyah tentang :
1.      Tradisi Yasinan
2.      Tradisi Maulid Nabi
3.      Tradisi Manaqiban dan Haul
4.      Tradisi Bulan Syura
5.      Tradisi Bulan Sya’ban, Ruwahan, dan Nyadran
6.      Tradisi Istighatsah dan Tawassul
7.      Khasiyat Ayat Al-Qur’an, Hizib, dan Do’a
8.      Shalat Sunnat Qabliyah Jum’at
9.      Ziarah Kubur
10.  Tradisi Bulan Shafar
BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Tradisi yasinan
Tradisi yasinan adalah membaca surat yasin secara bersama-sama. Baik membacanya secara sendiri-sendiri ditempat yang sama, atau membacanya dipimpin oleh seorang pemandu. Biasanya tradisi yasinan dilakukan setiap malam jumat. Ada juga yang melakukn setiap malam ahad, tergantung kesepakatan anggota kelompok yasinan masing-masing.
Bacaan yasin tersebut biasanya dihadiahkan kepada orang-orang yang sudah meninggal dunia. Ada pula yang membacanya disamping orang yang menghadapi detik-detik akhir dari kehidupannya di dunia. Dan adapula yang melakukannya dimakam para ulama, orang tua atau kerabat.
Ada banyak hadits shahih yang menerangkan keutamaan surat yasin, antara lain hadist-hadist yang disebutkan oleh al-Imam Ibn Katsir, salah satu murid terbaik Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani, dalam tafsirnya:
“Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa membaca surat yasin pada malam harinya, maka ia diampuni pada pagi harinya,” Sanad hadist ini jayyid (shahih). (HR. Al-Hafizh Abu Ya’la).
Demikian hadist yang disebut oleh al-Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya. Setelah menyitir hadist shahih tersebut, al-Hafizh Ibn Katsir kemudian berkata begini:
“Karena ini sebagian ulama berkata, di antara khasiat surat yasin ini adalah, bahwa apabila surat yasin dibaca ketika menghadapi persoalan yang sulit, maka Allah akan memudahkannya. Membaca surat Yasin disamping orang yang akan meninggal seakan-akan bertujuan turunnya rahmat dan berkah serta memudahkan keluarnya ruh orang tersebut. Wallahu a’lam. Imam Ahmad bn Hanbal berkata, “Abu al-Mughirah mengabarkan kepada kami, Shafwan mengabarkan kepada kami, ia (Shafwan) berkata, “Para guru selalu berkata, “apabila surat Yasin dibaca disamping orang yang meninggal, maka akan meringankan bebannya.” (Al-Hafizh Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz 11, hal. 342-343).
Berkaitan degan keutamaan surat Yasin ketika dibaca disamping makam kaum muslimin, Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, murid terdekat Syaikh Ibn Taimiyah, juga berkata:
“Dari al-Husain bin al-Haitsam berkata, “Aku mendengar Abu Bakar bin al-Athrusy berkata, “Ada seorang laki-laki yang rutin mendatangi makam ibunya dan membaca surat Yasin. Pada suatu hari ia membaca surat Yasin dimakam ibunya, kemudian berkata, “Ya Allah, apabila Engkau berikan pahala bagi surat ini, maka jadikanlah pahalanya bagi semua penghuni kuburan ini. “Pada hari Jumat berikutnya, seorang wanita datang dan berkata pada laki-laki itu, “kamu fulan bin fulanah?” Ia menjawab, “Ya.” Wanita itu berkata, “aku punya anak perempuan yang telah meninggal. Lalu aku bermimpi melihatnya duduk-duduk di pinggir makamnya. Aku bertanya “kamu kok bisa duduk-duduk disini?” Putriku menjawab, “Sesungguhnya fulan bin fulanah datang ke makam ibnya. Ia membaca surat Yasin dan pahalanya dihadiahkan kepada semua penghuni makan ini. Kami dapat bagian rahmatnya. Atau kami diampuni dan semacamnya.” (Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Ruh, hal 18)
2.2  Tradisi Maulid Nabi
Setiap bulan rabiul awal tiba, mayoritas kaum muslimin di berbagai belahan dunia mengadakan upacara perayaan maulid Nabi SAW. Dalam acara tersebut biasanya dibacakan sirah dan biografi kehidupan Nabi SAW, mulai kelahiran hingga wafatnya. Tidak jarang acara maulid diadakan dengan mendatangkan pembicara dari luar. Setelah acara maulid dilakukan dengan penuh khidmat, maka dilanjutkan dengan suguhan makanan yang dihidangkan kepada para peserta. Tradisi maulid ini sangat baik untuk dilestarikan, karena dapat menjadi sarana dakwah dalam menyampaikan sirah dan biografi Nabi SAW kepada umatnya. Pengetahuan sirah dan biografi Nabi SAW, akan menambah cinta kepada Nabi SAW serta memperkuat keimanan kita kepada Nabi SAW. Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani menanggapi tradisi maulid ini dengan sangat positif. Dalam hal ini beliau berkata dalam kitabnya, Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqi:
“Jadi, mengagungkan Maulid dan menjadikannya sebagai tradisi tidak jarang dilakukan oleh sebagian orang, dan ia memperoleh pahala yang sangat besar karna tujuannya yang baik serta sikapnya yang mengagungkan Rasulullah SAW sebagaiman telah aku jelaskan sebelumnya.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Iqtidha’ al_shirath al-Mustaqim, hal 297).
Dewasa ini, dalam rangka memantapkan keyakinan kaum wahabi terhadap kebenaran dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab al-Najdi, pendiri aliran wahabi, kaum Wahabi di Saudi Arabia mengadakan acara semacam maulid atau manaqiban, yang mereka sebut dengan Usbu’ al-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (Pekan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab). Selama satu pekan, para ulama wahabi bergantian menguraikan keutamaan dan biofgrafi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam bentuk makalah. Kemudian makalah tersebut mereka himpun dan mereka terbitkan. Hal tersebut persis dengan tradisi maulid, haul manaqiban dikalangan kaum Sunni.
2.3  Tradisi Manqiban dan Haul
Manaqiban dan haul adalah upacara pembaca biografi dan keutamaan para wali Allah SWT yang menjadi panutan umat. Dalam acara terserbut juga delingi dengan pembacaan al-Fatihah, ayat ayat al-Qur’an dan aneka dzikir lainnya, lalu pahalanya dihadiahkan kepada wali yang bersangkutan. Di sebagian daerah dipulau jawa banyak yang mengadakan manaqiban Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, pendiri tereqat Qadiriyah, di daerah Kalimantan Selatan, banyak pula yang merayakan manqib Syaikh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Madani al-Syafi’i, pendiri tereqat al-Sammaniyah. Tradisi manaqiban ini sangat baik untuk dilakukan, agar kita dapat menghayati dan meneladani perjalanan kehidupan mereka yang sangat produktif dalam beribadah, berdakwah dan berbakti kepada agama.
Disisi lain, para ulama’ juga menjelaskan, bahwa dalam mengenang orang-orang salih, dapat menurunkan rahmat Allah swt. Dalam konteks tersebut al-iman al-mujtahid sufyan bin uyainah, salah seorang ulama salaf dan guru al-imam ahmad bin hanbal, berkata;
“muhammad bin hasan berkata,” aku mendengar sufyan bin uyainah berkata, “ketika orang-orang salih dikenang, maka rahmat Allah akan turun” (Al-Imam al-Hafizh Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliya’, juz 7 hal 285).
Bahkan ketika tegas lagi, syaikh bin taimiyah mengakui bahwa tradidu kaum beriman, pasti merasa senang dan nyaman apabila mengenang dan menyebut para nabi dan orang-orang salih. Dalam konteks ini syaikh ibn taimiyah berkata dalam khitbahnya, al shafadiyah, sebagai berikut:
kesempurnaan diri tidak akan tercapai tanpa pengetahuan, kemampuan dan kemauan yang sumbernya adalah cinta. Ketika seseorang merasa nikmat dengan pengetahuan, maka sudah barang tentu disana ada rasa cinta terhadap apa yang dinikmatinya. Adakalanya apa yang ia ketahui, ia cinta, serta merasa nikmat dengan mengetahui dan menyebutnya. Sebagaimana orang-orang yang beriman merasa nikmat dengan ma’rifat kepada Allah dan berdzikir kepada-Nya. Bahkan orang-orang yang beriman merasa nikmat dengan mennyebut (mengenang) para nabi dan orang-orang salih. Oleh karena itu ada pameo, “ketika orang-orang salih dikenang, maka rahmat Allah akan turun”, dengan bangkitnya jiwa dan hati seseorang untuk mencintai kebaikan dan merasa senang dan nyaman melakukannya.” (syaikh ibn taimiyah,kitab al-shafadiyah, juz 2, hal 269).
2.4  Tradisi Bulan Syuro
Pada sepuluh hari pertama bulan muharram, kaum muslimin di berbagai belahan dunia banyak menunaikan ibadah puasa sunat. Terutama tanggal 9 dan 10. Di tanah air, sebagian besar kaum muslimin mengadakan aneka ragam tradisi berkaitan dengan hari Asyura’ (tanggal 10 bulan muharram) atau yang dikenal dengan nama bulan syuro (bulan sorah). Al-imam hafizh ibn al-jauzi al-hanbali menjelaskan 15 macam kebaikan yang dianjurkan dilakukan pada hari asyura.
1)        Bersedekah kepada fakir miskin
2)        Mengusap kepala anak yatim
3)        Memberi buka orangyang berpuasa
4)        Menyiramkan air
5)        Mengunjungi saudara seagama
6)        Mandi
7)        Menjenguk orang sakit
8)        Memuliakan dan berbakti kepada kedua orang tua
9)        Menahan amarah dan emosi
10)    Memaafkan orang yang melakukan aniyaya pada bulan asyura
11)    Memperbanyak ibadah shalat, do’a, istigfar.
12)    Memperbanyak dzikir kepada Allah
13)    Menyingkirkan apa sja yang mengganggu orang dijalan
14)    Berjabatan tangan dengan orang yang dijumpainya dimana saja
15)    Memperbanyak membaca surah al-ikhlas sampai seribu kali
Demikian 15 anjuran pda bulan asyura yang disebutkan oleh al-imam al-hafizh ibn al-jauzi al-hambali dalam kitabnya, al-majalis hal 73-74. Dalam rangka menerapkan anjuran para ulama tentamg hari asyura, umat islam Nusantara merayakan upacara asyura dengan tradisi membuat bubur syurp (tajin sorah) yang disuguhkan kepada keluarga dan tetangga. Berkaitan dengan tradisi membuat makanan bubur syuro pada hari asyuro ini, ada dalam hadits shahih yang mendasarinya.
“Abu sa’id al-khudri berkata, “Rosulullah saw bersabda “barang siapa yang menjadikan kaya keluarganya (dalam hal belanja dan makanan) pada hari asyura, maka Allah akan menjadikan kaya selama satu tahun tersebut.” Hadits shahih. (HR. Al-thabarani dan al-baihaqi).
Berkaitan dengan hadits tersebut, al-imam al-hafizh ahmad al-ghumari menulis kitab khusus tentang keshahihannya berjudul, hidayah al-shaghra bi tashhih hadits al-tausi’ah ah ‘ala al-iyal yaumab ‘asyura’. Bahkan al-imam al-hafiz ibn rajab al-hanbali, mrid syaikh ibn qayyim al-jauziyah , berkata dalam kitabnya lathaif al-ma’arif sebagai berikut:        “Ibn Manshur berkata, “Aku berkata kepada Imam Ahmad, “Apakah Anda mendengar hadist, “Barangsiapa yang menjadikan kaya keluarganya pada hari asyura, maka Allah akan menjadikannya kaya selama setahun?” Ahmad menjawab, “Ya, Hadist tersebut diriwayatkan oleh Sufyan bin Uyainahdari Ja’far al-Ahmar, dari Ibrahim bin Muhammad, dari al-Muntasyir – orang terbaik pada masanya-, bahwa ia menerima hadist, “barangsiapa yang menjadikan kaya keluargannya pada hari Asyura, maka Allah akan menjadikannya kaya selama satu tahun penuh.” Sufyan bin Uyainah berkata, “ Aku telah melakukannya sejak 50 atau 60 tahun, dan selalu terbukti baik.” (al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 137-138).
2.5  Tradisi Bulan Sya’ban, Ruwahan dan Nyadran
Bulan Sya’ban adalah bulan istimewa. Pada bulan Sya’ban semua amal manusia dilaporkan kepada Allah SWT. Nabi SAW sendiri memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban, melebihi puasa beliau pada bulan-bulan yang lain. Berkaitan dengan keutamaan bulan Sya’ban ini, al-Imam Ibn Rajab al-Hanbali, murid terkemuka Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata dalam kitab Latahif al-Ma’arif sebagai berikut:
“Al-Imam Ahmad dan al-Nasa’i meriwayatkan dari hadist Usamah bin Zaid, yang berkata: “Rasulullah SAW terkadang berpuasa selama beberapa hari berturut-turut sehingga kami berkata, beliau tidak sarapan pagi. Beliau juga sarapan pagi selama beberapa hari sehingga hampir saja beliau tidak berpuasa kecuali dua hari dari Jum’at, apabila dua hari itu menjadi bagian dari puasanya. Kalau tidak, beliau berpuasa pada dua hari itu. Nabi SAW tidak berpuasa pada bulam-bulan yang ada seperti puasa beliau pada bulan Sya’ban. Akau berkata kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah SAW, aku tidak pernah melihatmu berpuasa pada bulan-bulan sebelumnya seperti puasa Anda pada bulan Sya’ban?” Nabi SAW menjawab , “Bulan Sya’ban itu, Bulan yang dilupakan manusia antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan Sya’ban itu, bulan dimana amal manusia diangkat kepada Allah SWT Tuhan semesta alam. Aku ingin, amalku diangkat ketika aku sedang berpuasa,” (Al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 236).
            Dalam menghadapi bulan istimewa, dimana amal manusia dilaporkan kepada Allah SWT, umat Islam ditanah air melakukan tradisi ruwahan (memperbanyak sedekah), sehingga bulan ini disebut dengan bulan ruwah (Bulan Rabble). Para ulama juga menganjurkan agar kita memperbanyak sedekah pada momen-momen yang dianggap penting yang sedang dihadapi. Dalam hal ini al-Imam al-Hafizh al-Nawawi berkata:
“Para ulama kami berkata, “Disunahkan memperbanyak sedekah ketika menghadapi urusan-urusan yang penting.” (al-Imam al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 6, hal. 233).
            Bahkan, berkaitan dengan anjuran peningkatan amal kebaikan pada bulan Sya’ban, al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali berkata:
“Oleh karna Sya’ban itu merupakan pengantar lagi bulan Ramadhan, maka pada bulan Sya’ban di anjurkan hal-hal yang dianjurkan pada bulan ramadhan seperti berpuasa dan membaca al-Qur’an, sebagai persiapan menghadapi Ramadhan dan jiwa menjadi terlatih untuk taat kepada Allah. Kami telah meriwayatkan dengat sanad yang lemah dari Anas, yang berkata, “Ketika blan Sya’ban tiba, kaum Muslimin biasanya menekuni Mushhaf dengan membaca al-Qur’an. Mereka juga mengeluarkan zakat harta benda mereka agar membantu orang yang lemah dan miskin dalam menjalani puasa Ramadhan.” (Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 258)
            Pada bulan Sya’ban, dikalangan masyarakat kita ada pula tradisi ziarah kubur, yang sebagian daerah dikenal dengan tradisi nyadran. Rasulullah SAW juga berziarah ke makam para sahabat di Baqi’ pada malam Nifsu Sya’ban. Al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, murid terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauhiyah, berkata dalam kitab Lathaif al-Ma’arif, berikut ini:
“Mengenai keutamaan malam nifsu Sya’ban, ada sejumlah hadist-hadist lain yang diperselisihkan oleh para ulama. Mayoritas ulama menilainya dha’if. Sebagian hadist-hadist iti dishahihkan oleh Ibn Hibban dan diriwayatkan dalam Shahih-nya. Hadist terbaik diantara hadist-hadist tersebut adalah, hadist ‘Aisyah yang berkata, “Aku kehilangan Nabi SAW lalu aku keluar mencarinya, ternyata beliau ada dimakam Baqi’, sedang mengangkat kepalanya ke langit. Beliau berkata, “Apakah kamu khawatir Allah dan Rasul-Nya berbuat sewenang-wenang kepadamu?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, aku mengira englau mendatangi sebagai istri-istrimu.” Lalu Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT turun pada malam nifsu Sya’ban ke langit dunia, lalu mengampuni orang-orang yang jumlahnya melebihi bulu-bulu kambing suku Kalb.” Hadist ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad, al-Tarmidzi dan Ibn Majah.” (Al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 261).
            Tradisi lain juga berlangsung di tengah-tengah masyarakat pada malam nifsu Sya’ban adalah shalat sunnat secara berjamaah dan dilanjutkan dengan doa bersama. Tradisi ini berkembang sejak generasi salaf, kalangan tabi’in. Dalam hal ini, al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali berkata:
“Al-Syafi’i ra berkata, “Kami mendapat informasi bahwa doa dikabulkan pada lima malam, yaitu malam jum’at, malam hari raya, malam 1 rajab dan malam nifsu Sya’ban.” Al-Syafi’i berkata, “Aku menganjurkan semua yang diceritakan pada kelima malam ini.” Sementara tidak ditemukan pertanyaan dari Imam Ahmad mengenai malam nifsu Sya’ban. Tetapi kesunatan ibadah(shalat dan semacamnya) pada malam itu dapat di analogikan terhadap dua riwayat dari Imam Ahmad mengenai ibadah pada malam hari raya. Dalam satu riwayat, Ahmad tidak menganjurkan ibadah (shalat) berjamaah pada malam hari rayakarena tidak pernah dikutip oleh Nabi SAW dan para sahabat.dalam riwayat lain, Ahmad menganjurkan shalat sunnat berjamaah pada malam hari raya karena Abdurrahman bin Yazid bi al-Aswad – Ulama generasi tabi’in telah melakukannya. Demikian pula, shalat sunnat berjamaah pada malam nishfsu Sya’ban, tidak ada riwayat dari Nabi SAW dan para sahabat. Tetapi ada riwayat dari sekelompok Tabi’in dari tokoh-tokoh fuqaha penduduk Syam yang melakukan shalat sunnat secara berjamaah.” (Ibn Rajab, Lathaif al-Ma’arif, hal. 264).
2.6  Istighatsah Dan Tawassul
            Istighatsah dan tawassul  memiliki arti yang sama. Yaitu, memohon datangnya manfaat atau terhindarnya bahaya kepada Allah SWT, dengan menyebut nama seorang nabi atau wali karena memuliakan (ikram) terhadap keduanya.
            Al-Syaikh Jamil Afandi Shidqi al-Zahawi menjelaskan bahwa yang dimaksud Istighatsah dan tawassul  dengan para nabi dan orang-orang yang saleh ialah menjadikan mereka sebagai sebab dan perantara dalam memohon kepada Allah SWT untuk mencapai tujuan. Pada hakikatnya Allah SWT adalah pelaku sebenarnya (yang mengabulkan do’a ).
Ada banyak dalil yang menjelaskan keutamaan tawassul. Diantaranya adalah firman Allah SWT :
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah SWT Dan carilah sebuah perantara untuk sampai kepada Allah SWT Berjanjilah kamu dijalan-Nya mudah-mudahan kamu meendapat keuntungan”. ( QS. Al-Ma’idah:35 ).
Dalam ayat yang lain, Allah SWT berfirman:
Jika mereka berbuat aniaya pada dirinya (berbuat  dosa), lalu mereka dating  kepadamu (hai Muhammad) dan memiinta ampunan kepada Allah SWT kemudian Rasul memohonkan ampunan untuk mereka, tentulah Allah SWT yang Maha Menerima taubat dan Yang Maha Penyayang akan menerima taubat mereka.” (QS. Al-Nisa’: 64).
            Sahabat Umar ketika melakukan shalat istiqa’ juga melakukan tawassul.
Dari Anas bin Malik beliau berkata, “Apabila terjadi kemarau sahabat Ummar bin al-Khaththab bertawassul dengan Abbas bin Abdul Muththalib, kemudian berdo’a “ Ya Allah, kami pernah berdo’a dan bertawassul kepada-Mu dengan nabi SAW maka engkau turunkan hujan. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan”. Anas berkata, “ Maka turunlah hujan kepada  kami.” (HR. al-Bukhari [954]).
Menikapi tawassul Sayyidina Umar tersebut, Sayyidina Abbas kemudian berdo’a:
Ya Allah, sesungguhnya malapetaka itu tidak akan turun kecuali karena dosa tidak akan sirna melainkan dengan taubat. Kini kaum muslimin bertawassul kepadaku untuk memohon kepada-Mu karena kedudukanku di sisi Nabi-Mu. …..diriwayatkn oleh al-Zubair bin Bakkar. “ (al-Tahdzir minal-Ightirar, hal. 125). Pada hakekatnya tawassul yang dilakukan sayyidina Umar dengan Sayyidina Abbas merupakan tawassul dengan Nabi SAW (yang pada waktu itu telah wafat), disebabkan posisi abbas sebagai paman Nabi SAW dan karena kedududkannya di sisi Nabi SAW. (Al-tahdzir min al-Ightirar, hal. 125).
            Memang dihadapan Allah SWT , semua manusia mempunyai kedudukan yang sama, semasa hidup atau stelah meninggal dunia. Al-Qur’an menegskan bahwa orang yanag saleh atau para syuhada itu tetap hidup di sisis Tuhan walaupun jasad mereka telah terkubur di dalama tanah. Sebagaiman firman Allah SWT:
Dan janganlah kamu menyangka orang-orang yang gugur di jalan Allah SWT itu mati. Bahkan mereka hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki. “ (QS. Ali Imran:169).
Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman:
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalanAllah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan  (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya, “ (QS. Al-Baqarah: 154).
            Syaikh Yusuf bin isma’il al-Nabhani menyatakan “Dalam hal beratawassul  itu, tidak ada perbedaan antara tawassul kepada Nabi Muhammad SAW  atau para nabi yang lainnya, juga kepada para wali Allah serta orang-orang saleh.  Dan tidak ada perbedaan pula antara bertawassul kepda orang yang hidup ataupunorang yang telah meninggal dunia. Sebab pada hakekatnya mereka tidk dapat mewujudkan serta tidak dapat memmberi pengaruh apapun. Mereka di harapkan barokahnya karena mereka adalah para kekasih Allah SWT yan menciptakan dan yang mewujudkan (Apa yang diminta orang yang bertawassul) hanyalah Allah SWT semata.
 Menurut hemat kami orang-orang yang memperbolehkan tawassul kepada orang mati tersebut, sebenarnya  telah terjebkak pada kesyirikan , sebab mereka meyakini bahwa orang yang hidup dapat memberikan sesuatu (pengaruh) kepada seseorang, dan orang  yang mati tidak dapat memberikan manfaat apapun. Jadi pada hakekatnya mereka adaah orang-orng yang meyakini bahwa ada mahluk selain Allah SWT yang dapat memberi pengaruh dan mewujudkan sesuatu. Maka bagaiman mungkin mereka mengklaim dirinya ebagai orang-orng yang menjaga tauhid (akidah), dan menuduh kelompok lain berbuat kesyirikan?
Memang kalau direnungkan dengan seksam, manusi itu hanya berusaha, yang menentukan segalanya adalah Allah SWT. Dalam seehari-hari kita sering mendengar kata-kata bertobatlah agar sembuh, berolaragalah agar sehat, belajarlah agar pandai. Namun pada hakekatnya yang menyembuhkan, yang meyehatkan , yang menjadikan pandai, hanyalah Allah SWT semata.
Maka begitu pula dalam hal tawasul ini. Pada hakekatnya bertawassul itu menjadikan sesuatu sebagai perantara agar doa yang dipanjatkan dapat segera diterima. Orang yang bertawassul tidak bermaksud untuk memohon atau menyembah kepada orang atau suatu benda. Karena itu mereka bukanlah termasuk orang yang mendapat peringatan Allah SWT dalam al-Qur’an:
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. “ (QS. Al-Zumar: 23).
Setelah memperhatikan ayat tersebut dengan cermat, Syaikh Abdul  Hayyi al-Amrawi dan Syaikh Abdul Karim Murad menyatakan “ Perkataan para penyembah berhala “Kami menyembah mereka (berhala-berhala itu) supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan seedekat-dekatnya. Ayat ini menegaskan bahwa mereka menyembah berhala untuk tujuan tersebut. Sedangkan orang yang bertawassul dengan orang alim atau para rasul itu tidak menyembah mereka.
            Maka jelas bedanya antara orang yang menyembah berhala yang memang benar-benar  menyembah berhala, yakni dalam ungkapan mereka. Sementara orang yang bertawassul hanya meminta dan menyembah Allah SWT semata. Tidak terbesit di dalam hatinya seujung rambutpun keyakinan adaya kekuatan dan kekuasaan lain di luar kekuatan dan kekuasaan Allah SWT.
            Selain itu, untuk makin memantapkan keyakinan, perlu memaparkan di sini pendapat kelompok yang sering  membid’ahkan amaliah tawassul dan istighatsah. Dalam hal ini, Syaikh Ibn Taimiyah al Hararani (wahabi), berkata dalam al-Kalim al-Thayyib:
Bab tentang kaki terkena mati rasa. Dari al-Haitsam bin Hanasyy, berkata, “Kami bersama Ibn Umar. Tiba-tiba kaki beliau terkena mati rasa, maka salah seorang yang hadir mengatakan kepada beliau: “Sebutkan orang yang palin engkau cintai!” Lalu Ibn Umar berkata:  “Ya Muhammad .” Maka seketika itu kaki beliau sembuh.” (Ibn Timiyah, al-Kalim al-Thayyib, hal.173).
            Syaikh Ibn Taimiyah juga mennganggap tawassul  dan istighatsah dengan orang saleh yang sudah wafat bukan sebagai kemungkaran dan kesalahan, apalagi sebagai kesyirikan.
2.7  Khasiat Ayat Al-Qur’an, HizibdanDo’a
Mengamalkando’a-do’a, hizib dan memakai azimat pada dasarnya tidak lepas dari ikhtiar seorang hamba, yang dilakukan dalam bentuk do’a kepada Allah SWT melalui amalan itu. Jadi sebenarnya, membaca hizib dan memakai azimat tidak lebih sebagai salah satu bentuk do’a kepada Allah SWT. Dan Allah SWT sangat menganjurkan seorang hamba untuk berdo’a kepada-Nya. Allah SWT berfirman:
Berdo’alah kamu, niscaya aku akan mengabulkannya untukmu.” (QS. Al-Mu’min:60)
Ada beberapa dalil dari hadist Nabi SAW yang menjelaskan kebolehan ini. Di antaranya adalah:
Dari Awf bin Malik al-Asyja’I, ia meriwayatkan bahwa kepada zaman jahiliyah, kita selalu membuat ruqyah (seperti azimat dan semacamnya). Lalu kami bertanya kepada Rasulullah SAW bagaimana pendapat Engkau (ya Rasul) tentang hal itu. Rasul menjawab, “Coba tunjukkan ruqyahmu itu kepadaku. Membuat ruqyah tidak apa-apa selama di dalamnya tidak terkandung kesyirikan.”(HR.Muslim [4079]).
Dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Apabila salah satu diantara kamu bangun tidur, maka bacalah (bacaan yang artinya) “Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah SWT yang sempurna dari kemurkaan dan siksaannya, dari perbuatan jelek yang dilakukan hambanya, dari godaan setan serta dari kedatangannya padaku”. Maka setan itu tidak akan dapat membahayakan orang tersebut. Abdullah Bin Umar mengajarkan bacaan tersebut kepada anak-anaknya yang bhalig. Sedangkan yang belum bhalig, ia menulisnya pada secarik kertas, kemudian digantungkan dilehernya.” (Al-Kalim Al-Thayyib, hal.33).
Mengenaikhasiatayat-ayat Al-Qur’an danhizib yang disusunoleh para wali Allah SWT, Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyahberkata:
“Dan telah diyakini bahwa sebagian perkataan manusia memiliki sekian banyak khasiat dan aneka kemanfaatan yang dapat dibuktikan. Apalagi ayat-ayat Al-Qur’an selaku firman Allah, Tuhan semesta alam, yang keutamaannya atas semua perkataan sama dengan keutamaan Allah atas semua makhluk-Nya. Tentu saja ayat-ayat Al-Qur’an dapat berfungsi sebagai penyembah yang sempurna, pelindung yang bermanfaat dari segala marabahaya, cahaya yang memberi hidayah dan rahmat yang merata. Dan seandainya Al-Qur’an itu diturunkan ke pada gunung, tentu ia akan pecah karena keagungannya. Allah telah befirman: “Dan kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beiman.” (QS.Al-Isra’:82). Kata-kata “dari Al-Qur’an”, dalam ayat ini untuk menjelaskan jenis, bukan bermakana sebagian menurut pendapat yang paling benar.”(Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad fi HadyKhair al-‘Ibad, juz 4, hal.177).
2.8  ShalatSunnatQabliyahJum’at
Sebelum khutbah dikumandangkan oleh khatib dalam itu hal shalat Jum’at, kaum muslimin di tanah air biasanya melakukan shalat sunnat qabliyah Jum’at. Sebagian besarmasyarakat melakukannya dua raka’at. Tetapi banyak pula yang melakukannya 4 raka’at seperti di daerah Kalimantan Selatan. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan pendapat yang ditegaskan oleh al-Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab.
Berkaitan dengan shalat qabliyah Jum’atini, Syaikh Muhammad bin Ali al-Syaukani, ulama Syaikh Zaidiyah yang menjadi rujukan utama kaumWahabi di tanah air sejak zaman dulu, telah membeberkan dalil-dalilnya dalam kitab Nail al-Authar, berikutini:
Bab shalat sunnat sebelum Jum’at selama imam belum keluar. Habisnya waktu shalat sunnat adalah dengan keluarnya imam, kecuali shalat tahiyatal-masjid. Dari Nubaisyah al-Hudzalir.a, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Apabila seorang muslim mandi pada hari Jum’at, lalu berangkat ke masjid tanpa mengganggu atau menyakiti orang lain. Apabila ia mendapati imam telah keluar, maka ia shalat sunnat sesuai yang telah ditetapkan. Apabila imam telah keluar, maka ia duduk mendengarkan khutbahnya sampai imam menyelesaikan jum’at dan khutbhahnya. Maka apabila semua dosa orang tersebut tidak diampuni pada Jum’at itu, maka Jum’atnya menjadi penebus dosanya sampai Jum’at berikutnya.”(HR.Ahmad).
Dari Abdullah bin Mughaffal r.a, dari Nabi Muhammad SAW bersabda: “Antara adzan dan iqamat pasti ada shalat sunnat,(3 kali), bagi orang yang hendak melakukannya.” (HR.al-Bukhari dan Muslim).
Dari Abdullah bin al-Zubair r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Setiap ada shalat fardhu, maka sebelumnya ada shalat sunnat dua raka’at.” (HR. Ibn Hibban dalamShahih-nya, al-Daraquthni dan al-Thabarani).
“Dari Ibn Umar r.a bahwa ia melakukan shalat sebelum Jum’at lam sekali dan melakukan shalat sesudahnya dua raka’at. Ia mengabrkan bahwa Rasulullah SAW melakukannya.”Hadist shahih.(HR. Abu Dawud).
2.9  Ziarah Kubur
Apabila kita berkunjung ke makam para wali, misalnya Wali songo, kita temukan kaum muslimin berbondong-bondong dating melakukan wisata religi dengan tujuan mencari berkah. Di samping makam para kekasih allah itu, kita saksikan kaum muslimin membaca al-Qur’an, tahlilan dan aneka dzikir lainnya dengan khusyu’ dan penuh khidmat. Kemudian diiringi dengan tawassul dan tabarruk, dengan harapan semua hajat mereka di kabulkan oleh allah swt.
Ziarah makam para wali merupakan tradisi kaum muslimin sejak generasi salaf yang shalih. Al-Imam al-Hafizh Ibn Hibban, pengarang kitab shahih Ibn Hibban, menulis dalam al-Tsiqat yang artinya:
Ali bin Musa al-Ridha meninggal di Thus oleh racun yang diminumkan oleh khalifah al-Makmun. Makamnya sangat populer, selalu diziarahi orang, terletak di Sanabadz, di luar Nuqan, di sebelah makam al-Rasyid. Aku berulang kali ziarah kesana. Setiap aku mengalami kesulitan, selama tinggal di Thus, lalu aku berziarah ke makam Ali bin Musa al-Ridha, dan aku berdo’a kepada allah agar menghilangkan kesulitan itu dariku, aku pasti dikabulkan. Hal itu berulang kali aku lakukan, dan selalu terbukti.” (Al-Imam al-Hafizh al-Hujjah Ibn Hibban al-Busti, Kitab al-Tsiqat, juz 8, hal. 457).
Al-Imam al-Hafizh Ibn Khuzaimah, penulis kitab shahih Ibn Khuzaimah,yang menyandang gelar imam al-aimmah (pemimpin para imam), juga dikenal sebagai ulama’ yang ahli ziarah kubur. Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani berkata:
Al-Hakim pengarang al-Mustadrak berkata dalam Tarikh Naisabur, “Aku mendengar Abu Bakar Muhammad bin al-Muammal bin al-Hasan bin Isa berkata, “Kami keluar bersama pemimpin ahli hadist al-Imam Abu Bakar bin Khuzaimah dan rekannya Abu Ali al-Tsaqafi bersama beberapa orang guru kami, pada waktu itu rombongan yang menyertai banyak sekali, dengan tujuan ziara kemakam Ali bin Ibn Khuzaimah terhadap makam itu, serta ke khusyu’annya didepan makam itu sangat luar biasa, membuat kami merasa heran.” (Al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar, Tahdzib al-Tahdzib, juz 7, hal. 339).
Al-Imam al-Hakim al-Naisaburi, juga bercerita perihal kisah gurunya, al-Imam al-hafizh Abu Ali al-Naisaburi yang berziarah ke makam al-imam yahya bin yahya al-Naisaburi, ketika menghadapi kesulitan, sebagai berikut yang artinya :
Al-Imam al-Hakim berkata, “ Aku mendengar al-Imam abu Ali al-Naisaburi berkata, “ Aku mengalami kesusahan yanga berat, lalu aku bermimpi rasulullah seakan-akan berkata kepadaku, “ Datanglah ke makam Yahya bin yahya (seorang ulama’ ahli hadist), mohonlah ampunan kepada allah dan berdo’alah, hajatmu pasti terkabul.” Pagi harinya aku melakukan hal tersebut, dan hajatku pun terkabul.” (Al-Hafizh Ibn Hajar, Tahdzib al-Tahdzib, juz 11, hal. 261).
Tradisi ziarah wali, yang dewasa ini populer dengan wisata religi, dengan membaca al-Qur’an dan aneka ragam dzikir lainnya di samping para wali, lalu erdo’a dan bertawassul dengan para wali, merupakan tradisi umat islam yang berlangsung sejak generasi sahabat dan diamalkan oleh para ulama’ ahli hadits. Berkaitan engan tawassul dengan rang yang sudah meninggal dunia, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, pendiri aliran Wahabi, menyampaikan sebuah riwayat dalam Ahkam Tamanni al-Maut berikut ini yang artinya:
Sa’ad al-zanjani meriwayatkan hadist dari Abu Hurairah secara marfu’ : “ Barangsiapa mendatangi makam lalu membaca al-Fatihah, Qul huwallahu ahad dan alhakumuttakatsur, kemudian mengatakan, “ Ya Allah, aku hadiahkan pahala bacaan al-Qur’an ini bagi kaum beriman laki-laki dan perempuan di makam ini,” maka mereka akan menjadi penolongnya kepada allah.” (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab al- Najdi, Ahkam Tamanni al-Maut, hal. 75).
2.10          Tradisi Bulan Shafar
Pada bulan shafar, banyak sekali kaum muslimin di tanah air yang melakukan tradisi bersedekah dengan membuat bubur shafar (tajin shafar). Bubur tersebut dibuat secara khas dan dibagi-bagikan kepada keluarga dan tetangga sekitar dengan tujuan menolak malapetaka. Hal tersebut dialakukan karena ada sebuah hadits shahih yang artinya :
Dari abu Hurairah r.a., rasulullah saw. Bersabda : “ Tidak ada kepercayaan datangnya sial dari bulan shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati, rohnya menjadi burung yang terbang.” (H.R. al- Bukhari dan Muslim).
Dalam menafsirkan kalimat “walaa shafar” dalam hadits di atas, al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, ulama’ salafi dan murid Syaikh Ibn Qayyimal-Jauziyah, berkata yang artinya:
“ Maksud hadits diatas, orang-orang Jahiliyah meyakini datangnya sial dengan bulan shafar. Mereka berkata, Shafar adalah bulan sial. Maka Nabi saw. Membatalkan hal tersebut. Pendapat ini yang paling benar. Banyak orang awam yang meyakini datangnya sial pada bulan shafar, dan terkadang melarang berpergian pada bulan itu. Meyakini datangnya sial dengan bulan shafar termasuk jenis thiyarah (meyakini adanya pertanda buruk) yang dilarang.” (Al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 148).
Di sisi lain, agama kita juga melarang menelitiwaktu-waktu yang disangka mendatangkan kesialan dan ketidak beruntungan. Bahkan sebagai gantinya, pada saat orang lain meyakini datangnya kesialan dengan waktu-waktu waktu-waktu tertentu, agamakita menganjurkan kita agar melakukan amal kebaikan yang dapat menolak balak (sial dan ketidak beruntungan) seperti berdo’a, berdzikir, bersedekah dan lain-lain. Dalam konteks ini al-Imam al-Hafizh al-Hujjah Zainuddin Ibn Rajab al-Hanbali, ulama’ salafi dan murid terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata dalam kitabnya, Lathaif al-Ma’arif yang artinya :
Meneliti sebab-sebab keburukan seperti melihat perbintangan dan semacamnya termasuk thiyarah yang dilarang. Orang-orang yang meneliti hal tersebut biasanya tidak menyibukkan diri dengan amal-amal baik yang dapat menolak balak, bahkan mereka memerintahkan agar tidak meninggalkan rumah dan tidak bekerja. Ini jelas tidak mencegah terjadinya keputusan dan ketentuan allah. Diantara mereka ada yang menyibukkan dirinya dengan perbuatan maksiat. Hal ini jelas memperkuat terjadinya malapetaka. Ajaran yang dibawa oleh syri’at adalah tidak meneliti hal tersebut, berpaling darinya, dan menyibukkan diri dengan amal-amal yang dapat menolak balak seperti berdo’a, berdzikir, bersedekah, memantapkan tawakal kepada allah swt. Dan beriman kepada keputusan dan ketentuan allah swt. “ (Ibn Rajab, Lathaif al-Ma’arif, hal. 143).
Nah, berdasarkan hal inilah para ulama’ kita di nusantara sejak dulu menganjurkan memperbanyak bersedekah di bulan shafar untuk menolak balak. Sedekah tersebut oleh masyarakat kita ditradisikan dalam bentuk bubur shafar. Bahkan pada hari rabu terakhir bulan shafar, tidak sedikit ulama’ kita yang melakukan tradisi shalat sunah mutlak di hari Rabu Wekasan dan membuat minuman yang diberi tulisan ruqyah agar terhindar dari malapetaka. Lebih-lebih Rabu terakhir dalam setiap bulan dianggap sebagai hari terjadinya sial berdasarkan hadits yang artinya :
“ Dari Ibn Abbas r.a. Nabi saw. Bersabda: “ Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya sial terus.” HR. Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam al-Tafsir dan al-Khatib al-Baghdadi. (al-Hafizh Jalaluddin al-suyuthi, al-Jami’ al-Shagir, juz 1, hal. 4, dan al-Hafizh Ahmad bin al-Siddiq al-Ghumari al-Hasani, al-Mudawi li’llal al-Jami’ al-Shagir wa Syarhai al-Munawi, Juz 1, hal. 23).
Demikian beberapa tradisi umat islam nusantara dalam pandangan ahli hadits dan para ulama’ salafi, rujukan utama kaum wahabi, seperti al-Imam ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab imam al-Hanbali, serta para pengikutnya, dan syaikh Ibn Taimiyah serta murid-murid dan para pengagumnya.
BAB III
PENUTUP
1.1    Kesimpulan
Tradisi adalah sesuatu yang terjadi berulang-ulang dengan sengaja dan bukan secara kebetulan. Hukum melanggar tradisi masyarakat adalah hal yang tidak baik selama tradisi tersebut tidak diharamkan oleh agama.
Sebagian dari tradisi tersebut adalah Tradisi Yasinan, Tradisi Maulid Nabi, Tradisi Manaqiban dan Haul,Tradisi Bulan Syura, Tradisi Bulan Sya’ban, Ruwahan, dan Nyadran, Tradisi Istighatsah dan Tawassul, Khasiyat Ayat Al-Qur’an, Hizib, dan Do’a, Shalat Sunnat Qabliyah Jum’at, Ziarah Kubur, Tradisi Bulan Shafar.

DAFTAR PUSTAKA
KH. Akhyar, Miftahul, 2015, Risalah Ahlussunnah Wal Jamaah dari Pembiasan Menuju Pemahaman dan Pembelaan Akidah-Amaliah NU, Surabaya, Khalista.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar