HUJJAH AMALIYAH NAHDLIYAH (2)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Hujjah atau Hujjat (bahasa
Arab: الحجة) adalah istilah yang banyak digunakan di dalam
Al-Qur'an dan literatur Islam yang bermakna tanda, bukti, dalil, alasan atau
argumentasi. Sehingga kata kerja "berhujjah" diartikan sebagai
"memberikan alasan-alasan". Kadangkala kata hujjah disinonimkan dengan kata burhan,
yaitu argumentasi yang valid, sehingga dihasilkan kesimpulan yang dapat
diyakini dan dipertanggungjawabkan akan kebenarannya.
Amaliyah Nahdliyah adalah amal perbuatan lahir, baik
yang berhubungan dengan Ibadah, Mu’amalah maupun Akhlaq; yang biasa dilakukan
oleh kaum Nahdliyyin, bisa jadi secara formal warga Jam’iyyah Nahdlatul Ulama
atau bukan.
Nahdlatul Ulama memperjuangkan berlakunya Ajaran Islam
ala Ahlussunnah wal Jama’ah, oleh karena itu menurut NU, cara berfikir dan
bentindak, cara bertheologi maupun beramal, yang benar didasarkan pada Ajaran
Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. Menurut NU, Islam adalah ahlussunnah wal
jama’ah, maka kaum nahdliyyin tidak mendasarkan perbuatannya kecuali pada
ahlusunnah wal jama’ah.
Secara praktis, amaliyah ahlussunnah wal jama’ah NU di
dasarkan pada cara bertheologi menurut madzhab theologi Al-Asy’ary dan
Al-Maturidy, dalam bidang fiqh mengikuti salah satu madzhab empat, yaitu :
Hanafy, Maliky, Syafi;y dan Hambaly; serta mengamalkan tasawuf sesuai dengan
cara tasawuf Imam al-Junaid al-Baghdady dan Imam Al-Ghazaly.
1.2 Rumusan Masalah
Apa hujjah amaliyah nahdliyah tentang :
1. Tradisi
Yasinan
2. Tradisi
Maulid Nabi
3. Tradisi
Manaqiban dan Haul
4. Tradisi
Bulan Syura
5. Tradisi
Bulan Sya’ban, Ruwahan, dan Nyadran
6. Tradisi
Istighatsah dan Tawassul
7. Khasiyat
Ayat Al-Qur’an, Hizib, dan Do’a
8. Shalat
Sunnat Qabliyah Jum’at
9. Ziarah
Kubur
10. Tradisi
Bulan Shafar
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan pembahasan yaitu ingin mengetahui lebih detil mengenail hujjah amaliyah
nahdliyah tentang :
1.
Tradisi Yasinan
2.
Tradisi Maulid Nabi
3.
Tradisi Manaqiban dan Haul
4.
Tradisi Bulan Syura
5.
Tradisi Bulan Sya’ban, Ruwahan, dan
Nyadran
6.
Tradisi Istighatsah dan Tawassul
7.
Khasiyat Ayat Al-Qur’an, Hizib, dan Do’a
8.
Shalat Sunnat Qabliyah Jum’at
9.
Ziarah Kubur
10.
Tradisi Bulan Shafar
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tradisi yasinan
Tradisi yasinan
adalah membaca surat yasin secara bersama-sama. Baik membacanya secara
sendiri-sendiri ditempat yang sama, atau membacanya dipimpin oleh seorang
pemandu. Biasanya tradisi yasinan dilakukan setiap malam jumat. Ada juga yang melakukn
setiap malam ahad, tergantung kesepakatan anggota kelompok yasinan
masing-masing.
Bacaan yasin
tersebut biasanya dihadiahkan kepada orang-orang yang sudah meninggal dunia.
Ada pula yang membacanya disamping orang yang menghadapi detik-detik akhir dari
kehidupannya di dunia. Dan adapula yang melakukannya dimakam para ulama, orang
tua atau kerabat.
Ada banyak
hadits shahih yang menerangkan keutamaan surat yasin, antara lain hadist-hadist
yang disebutkan oleh al-Imam Ibn Katsir, salah satu murid terbaik Syaikh Ibn
Taimiyah al-Harrani, dalam tafsirnya:
“Abu
Hurairah berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa membaca surat yasin
pada malam harinya, maka ia diampuni pada pagi harinya,” Sanad hadist ini
jayyid (shahih). (HR. Al-Hafizh Abu Ya’la).
Demikian hadist
yang disebut oleh al-Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya. Setelah menyitir hadist
shahih tersebut, al-Hafizh Ibn Katsir kemudian berkata begini:
“Karena
ini sebagian ulama berkata, di antara khasiat surat yasin ini adalah, bahwa
apabila surat yasin dibaca ketika menghadapi persoalan yang sulit, maka Allah
akan memudahkannya. Membaca surat Yasin disamping orang yang akan meninggal
seakan-akan bertujuan turunnya rahmat dan berkah serta memudahkan keluarnya ruh
orang tersebut. Wallahu a’lam. Imam Ahmad bn Hanbal berkata, “Abu al-Mughirah
mengabarkan kepada kami, Shafwan mengabarkan kepada kami, ia (Shafwan) berkata,
“Para guru selalu berkata, “apabila surat Yasin dibaca disamping orang yang
meninggal, maka akan meringankan bebannya.” (Al-Hafizh Ibn Katsir,
Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz 11, hal. 342-343).
Berkaitan degan
keutamaan surat Yasin ketika dibaca disamping makam kaum muslimin, Syaikh Ibn
Qayyim al-Jauziyah, murid terdekat Syaikh Ibn Taimiyah, juga berkata:
“Dari
al-Husain bin al-Haitsam berkata, “Aku mendengar Abu Bakar bin al-Athrusy
berkata, “Ada seorang laki-laki yang rutin mendatangi makam ibunya dan membaca
surat Yasin. Pada suatu hari ia membaca surat Yasin dimakam ibunya, kemudian
berkata, “Ya Allah, apabila Engkau berikan pahala bagi surat ini, maka
jadikanlah pahalanya bagi semua penghuni kuburan ini. “Pada hari Jumat
berikutnya, seorang wanita datang dan berkata pada laki-laki itu, “kamu fulan
bin fulanah?” Ia menjawab, “Ya.” Wanita itu berkata, “aku punya anak perempuan
yang telah meninggal. Lalu aku bermimpi melihatnya duduk-duduk di pinggir
makamnya. Aku bertanya “kamu kok bisa duduk-duduk disini?” Putriku menjawab,
“Sesungguhnya fulan bin fulanah datang ke makam ibnya. Ia membaca surat Yasin
dan pahalanya dihadiahkan kepada semua penghuni makan ini. Kami dapat bagian
rahmatnya. Atau kami diampuni dan semacamnya.” (Ibn
Qayyim al-Jauziyyah, al-Ruh, hal 18)
2.2 Tradisi Maulid Nabi
Setiap bulan rabiul awal tiba, mayoritas kaum
muslimin di berbagai belahan dunia mengadakan upacara perayaan maulid Nabi SAW.
Dalam acara tersebut biasanya dibacakan sirah
dan biografi kehidupan Nabi SAW, mulai kelahiran hingga wafatnya. Tidak jarang
acara maulid diadakan dengan mendatangkan pembicara dari luar. Setelah acara
maulid dilakukan dengan penuh khidmat, maka dilanjutkan dengan suguhan makanan
yang dihidangkan kepada para peserta. Tradisi maulid ini sangat baik untuk
dilestarikan, karena dapat menjadi sarana dakwah dalam menyampaikan sirah dan biografi Nabi SAW kepada
umatnya. Pengetahuan sirah dan biografi Nabi SAW, akan menambah cinta kepada
Nabi SAW serta memperkuat keimanan kita kepada Nabi SAW. Syaikh Ibn Taimiyah
al-Harrani menanggapi tradisi maulid ini dengan sangat positif. Dalam hal ini
beliau berkata dalam kitabnya, Iqtidha’
al-Shirath al-Mustaqi:
“Jadi, mengagungkan Maulid dan
menjadikannya sebagai tradisi tidak jarang dilakukan oleh sebagian orang, dan
ia memperoleh pahala yang sangat besar karna tujuannya yang baik serta sikapnya
yang mengagungkan Rasulullah SAW sebagaiman telah aku jelaskan sebelumnya.” (Syaikh
Ibn Taimiyah, Iqtidha’ al_shirath al-Mustaqim, hal 297).
Dewasa ini, dalam rangka memantapkan keyakinan kaum
wahabi terhadap kebenaran dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab al-Najdi,
pendiri aliran wahabi, kaum Wahabi di Saudi Arabia mengadakan acara semacam
maulid atau manaqiban, yang mereka
sebut dengan Usbu’ al-Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab (Pekan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab). Selama satu pekan,
para ulama wahabi bergantian menguraikan keutamaan dan biofgrafi Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab dalam bentuk makalah. Kemudian makalah tersebut mereka himpun
dan mereka terbitkan. Hal tersebut persis dengan tradisi maulid, haul manaqiban dikalangan kaum Sunni.
2.3 Tradisi Manqiban dan Haul
Manaqiban dan
haul adalah upacara pembaca biografi dan keutamaan para wali Allah SWT yang
menjadi panutan umat. Dalam acara terserbut juga delingi dengan pembacaan
al-Fatihah, ayat ayat al-Qur’an dan aneka dzikir lainnya, lalu pahalanya
dihadiahkan kepada wali yang bersangkutan. Di sebagian daerah dipulau jawa
banyak yang mengadakan manaqiban Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, pendiri tereqat
Qadiriyah, di daerah Kalimantan Selatan, banyak pula yang merayakan manqib
Syaikh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Madani al-Syafi’i, pendiri tereqat
al-Sammaniyah. Tradisi manaqiban ini sangat baik untuk dilakukan, agar kita
dapat menghayati dan meneladani perjalanan kehidupan mereka yang sangat
produktif dalam beribadah, berdakwah dan berbakti kepada agama.
Disisi lain,
para ulama’ juga menjelaskan, bahwa dalam mengenang orang-orang salih, dapat
menurunkan rahmat Allah swt. Dalam konteks tersebut al-iman al-mujtahid sufyan
bin uyainah, salah seorang ulama salaf dan guru al-imam ahmad bin hanbal,
berkata;
“muhammad
bin hasan berkata,” aku mendengar sufyan bin uyainah berkata, “ketika
orang-orang salih dikenang, maka rahmat Allah akan turun” (Al-Imam al-Hafizh
Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliya’, juz 7 hal 285).
Bahkan ketika
tegas lagi, syaikh bin taimiyah mengakui bahwa tradidu kaum beriman, pasti
merasa senang dan nyaman apabila mengenang dan menyebut para nabi dan
orang-orang salih. Dalam konteks ini syaikh ibn taimiyah berkata dalam
khitbahnya, al shafadiyah, sebagai berikut:
“kesempurnaan diri tidak akan tercapai tanpa pengetahuan, kemampuan dan
kemauan yang sumbernya adalah cinta. Ketika seseorang merasa nikmat dengan
pengetahuan, maka sudah barang tentu disana ada rasa cinta terhadap apa yang
dinikmatinya. Adakalanya apa yang ia ketahui, ia cinta, serta merasa nikmat
dengan mengetahui dan menyebutnya. Sebagaimana orang-orang yang beriman merasa
nikmat dengan ma’rifat kepada Allah dan berdzikir kepada-Nya. Bahkan
orang-orang yang beriman merasa nikmat dengan mennyebut (mengenang) para nabi
dan orang-orang salih. Oleh karena itu ada pameo, “ketika orang-orang salih
dikenang, maka rahmat Allah akan turun”, dengan bangkitnya jiwa dan hati
seseorang untuk mencintai kebaikan dan merasa senang dan nyaman melakukannya.”
(syaikh ibn taimiyah,kitab al-shafadiyah, juz 2, hal 269).
2.4 Tradisi Bulan Syuro
Pada
sepuluh hari pertama bulan muharram, kaum muslimin di berbagai belahan dunia
banyak menunaikan ibadah puasa sunat. Terutama tanggal 9 dan 10. Di tanah air,
sebagian besar kaum muslimin mengadakan aneka ragam tradisi berkaitan dengan
hari Asyura’ (tanggal 10 bulan muharram) atau yang dikenal dengan nama bulan
syuro (bulan sorah). Al-imam hafizh
ibn al-jauzi al-hanbali menjelaskan 15 macam kebaikan yang dianjurkan dilakukan
pada hari asyura.
1)
Bersedekah kepada fakir miskin
2)
Mengusap kepala anak yatim
3)
Memberi buka orangyang berpuasa
4)
Menyiramkan air
5)
Mengunjungi saudara seagama
6)
Mandi
7)
Menjenguk orang sakit
8)
Memuliakan dan berbakti kepada kedua
orang tua
9)
Menahan amarah dan emosi
10) Memaafkan
orang yang melakukan aniyaya pada bulan asyura
11) Memperbanyak
ibadah shalat, do’a, istigfar.
12) Memperbanyak
dzikir kepada Allah
13) Menyingkirkan
apa sja yang mengganggu orang dijalan
14) Berjabatan
tangan dengan orang yang dijumpainya dimana saja
15) Memperbanyak
membaca surah al-ikhlas sampai seribu kali
Demikian
15 anjuran pda bulan asyura yang disebutkan oleh al-imam al-hafizh ibn al-jauzi
al-hambali dalam kitabnya, al-majalis
hal 73-74. Dalam rangka menerapkan anjuran para ulama tentamg hari asyura, umat
islam Nusantara merayakan upacara asyura dengan tradisi membuat bubur syurp (tajin sorah) yang disuguhkan kepada
keluarga dan tetangga. Berkaitan dengan tradisi membuat makanan bubur syuro
pada hari asyuro ini, ada dalam hadits shahih yang mendasarinya.
“Abu
sa’id al-khudri berkata, “Rosulullah saw bersabda “barang siapa yang menjadikan
kaya keluarganya (dalam hal belanja dan makanan) pada hari asyura, maka Allah
akan menjadikan kaya selama satu tahun tersebut.” Hadits shahih. (HR.
Al-thabarani dan al-baihaqi).
Berkaitan
dengan hadits tersebut, al-imam al-hafizh ahmad al-ghumari menulis kitab khusus
tentang keshahihannya berjudul, hidayah al-shaghra bi tashhih hadits
al-tausi’ah ah ‘ala al-iyal yaumab ‘asyura’. Bahkan al-imam al-hafiz ibn rajab
al-hanbali, mrid syaikh ibn qayyim al-jauziyah , berkata dalam kitabnya lathaif
al-ma’arif sebagai berikut: “Ibn Manshur berkata, “Aku berkata kepada
Imam Ahmad, “Apakah Anda mendengar hadist, “Barangsiapa yang menjadikan kaya
keluarganya pada hari asyura, maka Allah akan menjadikannya kaya selama
setahun?” Ahmad menjawab, “Ya, Hadist tersebut diriwayatkan oleh Sufyan bin
Uyainahdari Ja’far al-Ahmar, dari Ibrahim bin Muhammad, dari al-Muntasyir –
orang terbaik pada masanya-, bahwa ia menerima hadist, “barangsiapa yang
menjadikan kaya keluargannya pada hari Asyura, maka Allah akan menjadikannya
kaya selama satu tahun penuh.” Sufyan bin Uyainah berkata, “ Aku telah
melakukannya sejak 50 atau 60 tahun, dan selalu terbukti baik.” (al-Hafizh
Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 137-138).
2.5 Tradisi Bulan Sya’ban, Ruwahan dan
Nyadran
Bulan Sya’ban adalah bulan istimewa. Pada bulan
Sya’ban semua amal manusia dilaporkan kepada Allah SWT. Nabi SAW sendiri
memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban, melebihi puasa beliau pada bulan-bulan
yang lain. Berkaitan dengan keutamaan bulan Sya’ban ini, al-Imam Ibn Rajab al-Hanbali,
murid terkemuka Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata dalam kitab Latahif al-Ma’arif sebagai berikut:
“Al-Imam Ahmad dan al-Nasa’i
meriwayatkan dari hadist Usamah bin Zaid, yang berkata: “Rasulullah SAW
terkadang berpuasa selama beberapa hari berturut-turut sehingga kami berkata,
beliau tidak sarapan pagi. Beliau juga sarapan pagi selama beberapa hari
sehingga hampir saja beliau tidak berpuasa kecuali dua hari dari Jum’at,
apabila dua hari itu menjadi bagian dari puasanya. Kalau tidak, beliau berpuasa
pada dua hari itu. Nabi SAW tidak berpuasa pada bulam-bulan yang ada seperti
puasa beliau pada bulan Sya’ban. Akau berkata kepada Nabi SAW, “Wahai
Rasulullah SAW, aku tidak pernah melihatmu berpuasa pada bulan-bulan sebelumnya
seperti puasa Anda pada bulan Sya’ban?” Nabi SAW menjawab , “Bulan Sya’ban itu,
Bulan yang dilupakan manusia antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan Sya’ban
itu, bulan dimana amal manusia diangkat kepada Allah SWT Tuhan semesta alam.
Aku ingin, amalku diangkat ketika aku sedang berpuasa,” (Al-Hafizh
Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 236).
Dalam
menghadapi bulan istimewa, dimana amal manusia dilaporkan kepada Allah SWT,
umat Islam ditanah air melakukan tradisi ruwahan
(memperbanyak sedekah), sehingga bulan ini disebut dengan bulan ruwah (Bulan Rabble). Para ulama juga
menganjurkan agar kita memperbanyak sedekah pada momen-momen yang dianggap
penting yang sedang dihadapi. Dalam hal ini al-Imam al-Hafizh al-Nawawi
berkata:
“Para ulama kami berkata,
“Disunahkan memperbanyak sedekah ketika menghadapi urusan-urusan yang penting.”
(al-Imam
al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 6, hal. 233).
Bahkan,
berkaitan dengan anjuran peningkatan amal kebaikan pada bulan Sya’ban, al-Imam
al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali berkata:
“Oleh karna Sya’ban itu merupakan
pengantar lagi bulan Ramadhan, maka pada bulan Sya’ban di anjurkan hal-hal yang
dianjurkan pada bulan ramadhan seperti berpuasa dan membaca al-Qur’an, sebagai
persiapan menghadapi Ramadhan dan jiwa menjadi terlatih untuk taat kepada
Allah. Kami telah meriwayatkan dengat sanad yang lemah dari Anas, yang berkata,
“Ketika blan Sya’ban tiba, kaum Muslimin biasanya menekuni Mushhaf dengan
membaca al-Qur’an. Mereka juga mengeluarkan zakat harta benda mereka agar
membantu orang yang lemah dan miskin dalam menjalani puasa Ramadhan.” (Ibn
Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 258)
Pada bulan Sya’ban, dikalangan
masyarakat kita ada pula tradisi ziarah kubur, yang sebagian daerah dikenal
dengan tradisi nyadran. Rasulullah
SAW juga berziarah ke makam para sahabat di Baqi’ pada malam Nifsu Sya’ban.
Al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, murid terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauhiyah,
berkata dalam kitab Lathaif al-Ma’arif, berikut
ini:
“Mengenai keutamaan malam nifsu
Sya’ban, ada sejumlah hadist-hadist lain yang diperselisihkan oleh para ulama.
Mayoritas ulama menilainya dha’if. Sebagian hadist-hadist iti dishahihkan oleh
Ibn Hibban dan diriwayatkan dalam Shahih-nya. Hadist terbaik diantara hadist-hadist
tersebut adalah, hadist ‘Aisyah yang berkata, “Aku kehilangan Nabi SAW lalu aku
keluar mencarinya, ternyata beliau ada dimakam Baqi’, sedang mengangkat
kepalanya ke langit. Beliau berkata, “Apakah kamu khawatir Allah dan Rasul-Nya
berbuat sewenang-wenang kepadamu?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, aku mengira
englau mendatangi sebagai istri-istrimu.” Lalu Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya
Allah SWT turun pada malam nifsu Sya’ban ke langit dunia, lalu mengampuni
orang-orang yang jumlahnya melebihi bulu-bulu kambing suku Kalb.” Hadist ini
diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad, al-Tarmidzi dan Ibn Majah.” (Al-Hafizh
Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 261).
Tradisi lain juga berlangsung di
tengah-tengah masyarakat pada malam nifsu Sya’ban adalah shalat sunnat secara
berjamaah dan dilanjutkan dengan doa bersama. Tradisi ini berkembang sejak
generasi salaf, kalangan tabi’in. Dalam hal ini, al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali
berkata:
“Al-Syafi’i ra berkata, “Kami
mendapat informasi bahwa doa dikabulkan pada lima malam, yaitu malam jum’at,
malam hari raya, malam 1 rajab dan malam nifsu Sya’ban.” Al-Syafi’i berkata,
“Aku menganjurkan semua yang diceritakan pada kelima malam ini.” Sementara
tidak ditemukan pertanyaan dari Imam Ahmad mengenai malam nifsu Sya’ban. Tetapi
kesunatan ibadah(shalat dan semacamnya) pada malam itu dapat di analogikan
terhadap dua riwayat dari Imam Ahmad mengenai ibadah pada malam hari raya.
Dalam satu riwayat, Ahmad tidak menganjurkan ibadah (shalat) berjamaah pada
malam hari rayakarena tidak pernah dikutip oleh Nabi SAW dan para sahabat.dalam
riwayat lain, Ahmad menganjurkan shalat sunnat berjamaah pada malam hari raya
karena Abdurrahman bin Yazid bi al-Aswad – Ulama generasi tabi’in telah
melakukannya. Demikian pula, shalat sunnat berjamaah pada malam nishfsu
Sya’ban, tidak ada riwayat dari Nabi SAW dan para sahabat. Tetapi ada riwayat
dari sekelompok Tabi’in dari tokoh-tokoh fuqaha penduduk Syam yang melakukan
shalat sunnat secara berjamaah.” (Ibn Rajab, Lathaif
al-Ma’arif, hal. 264).
2.6 Istighatsah
Dan Tawassul
Istighatsah dan tawassul memiliki arti yang sama. Yaitu, memohon
datangnya manfaat atau terhindarnya bahaya kepada Allah SWT, dengan menyebut
nama seorang nabi atau wali karena memuliakan (ikram) terhadap keduanya.
Al-Syaikh Jamil Afandi Shidqi
al-Zahawi menjelaskan bahwa yang dimaksud Istighatsah
dan tawassul dengan para nabi dan
orang-orang yang saleh ialah menjadikan mereka sebagai sebab dan perantara
dalam memohon kepada Allah SWT untuk mencapai tujuan. Pada hakikatnya Allah SWT
adalah pelaku sebenarnya (yang mengabulkan do’a ).
Ada
banyak dalil yang menjelaskan keutamaan tawassul. Diantaranya adalah firman
Allah SWT :
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah SWT Dan carilah sebuah perantara untuk sampai kepada Allah SWT
Berjanjilah kamu dijalan-Nya mudah-mudahan kamu meendapat keuntungan”. (
QS. Al-Ma’idah:35 ).
Dalam
ayat yang lain, Allah SWT berfirman:
“Jika mereka berbuat aniaya pada dirinya
(berbuat dosa), lalu mereka dating kepadamu (hai Muhammad) dan memiinta ampunan
kepada Allah SWT kemudian Rasul memohonkan ampunan untuk mereka, tentulah Allah
SWT yang Maha Menerima taubat dan Yang Maha Penyayang akan menerima taubat mereka.” (QS. Al-Nisa’: 64).
Sahabat Umar ketika melakukan shalat
istiqa’ juga melakukan tawassul.
“Dari Anas bin Malik beliau berkata, “Apabila
terjadi kemarau sahabat Ummar bin al-Khaththab bertawassul dengan Abbas bin
Abdul Muththalib, kemudian berdo’a “ Ya Allah, kami pernah berdo’a dan
bertawassul kepada-Mu dengan nabi SAW maka engkau turunkan hujan. Dan sekarang
kami bertawassul dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan”. Anas berkata,
“ Maka turunlah hujan kepada kami.”
(HR. al-Bukhari [954]).
Menikapi
tawassul Sayyidina Umar tersebut, Sayyidina Abbas kemudian berdo’a:
“Ya Allah, sesungguhnya malapetaka itu tidak
akan turun kecuali karena dosa tidak akan sirna melainkan dengan taubat. Kini
kaum muslimin bertawassul kepadaku untuk memohon kepada-Mu karena kedudukanku
di sisi Nabi-Mu. …..diriwayatkn oleh al-Zubair bin Bakkar. “ (al-Tahdzir
minal-Ightirar, hal. 125). Pada hakekatnya
tawassul yang dilakukan sayyidina Umar dengan Sayyidina Abbas merupakan
tawassul dengan Nabi SAW (yang pada waktu itu telah wafat), disebabkan posisi
abbas sebagai paman Nabi SAW dan karena kedududkannya di sisi Nabi SAW. (Al-tahdzir min al-Ightirar, hal. 125).
Memang dihadapan Allah SWT , semua
manusia mempunyai kedudukan yang sama, semasa hidup atau stelah meninggal
dunia. Al-Qur’an menegskan bahwa orang yanag saleh atau para syuhada itu tetap
hidup di sisis Tuhan walaupun jasad mereka telah terkubur di dalama tanah.
Sebagaiman firman Allah SWT:
“Dan janganlah kamu menyangka orang-orang
yang gugur di jalan Allah SWT itu mati. Bahkan mereka hidup di sisi Tuhannya
dengan mendapat rizki. “ (QS. Ali Imran:169).
Dalam
ayat lain, Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap
orang-orang yang gugur di jalanAllah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu
tidak menyadarinya, “ (QS. Al-Baqarah: 154).
Syaikh Yusuf bin isma’il al-Nabhani
menyatakan “Dalam hal beratawassul itu,
tidak ada perbedaan antara tawassul kepada Nabi Muhammad SAW atau para nabi yang lainnya, juga kepada para
wali Allah serta orang-orang saleh. Dan
tidak ada perbedaan pula antara bertawassul kepda orang yang hidup ataupunorang
yang telah meninggal dunia. Sebab pada hakekatnya mereka tidk dapat mewujudkan
serta tidak dapat memmberi pengaruh apapun. Mereka di harapkan barokahnya
karena mereka adalah para kekasih Allah SWT yan menciptakan dan yang mewujudkan
(Apa yang diminta orang yang bertawassul) hanyalah Allah SWT semata.
Menurut hemat kami orang-orang yang
memperbolehkan tawassul kepada orang mati tersebut, sebenarnya telah terjebkak pada kesyirikan , sebab
mereka meyakini bahwa orang yang hidup dapat memberikan sesuatu (pengaruh)
kepada seseorang, dan orang yang mati
tidak dapat memberikan manfaat apapun. Jadi pada hakekatnya mereka adaah
orang-orng yang meyakini bahwa ada mahluk selain Allah SWT yang dapat memberi
pengaruh dan mewujudkan sesuatu. Maka bagaiman mungkin mereka mengklaim dirinya
ebagai orang-orng yang menjaga tauhid (akidah), dan menuduh kelompok lain
berbuat kesyirikan?
Memang
kalau direnungkan dengan seksam, manusi itu hanya berusaha, yang menentukan
segalanya adalah Allah SWT. Dalam seehari-hari kita sering mendengar kata-kata
bertobatlah agar sembuh, berolaragalah agar sehat, belajarlah agar pandai.
Namun pada hakekatnya yang menyembuhkan, yang meyehatkan , yang menjadikan
pandai, hanyalah Allah SWT semata.
Maka
begitu pula dalam hal tawasul ini. Pada hakekatnya bertawassul itu menjadikan
sesuatu sebagai perantara agar doa yang dipanjatkan dapat segera diterima.
Orang yang bertawassul tidak bermaksud untuk memohon atau menyembah kepada
orang atau suatu benda. Karena itu mereka bukanlah termasuk orang yang mendapat
peringatan Allah SWT dalam al-Qur’an:
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama
yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain
Allah (berkata): “kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka
mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. “ (QS. Al-Zumar:
23).
Setelah
memperhatikan ayat tersebut dengan cermat, Syaikh Abdul Hayyi al-Amrawi dan Syaikh Abdul Karim Murad
menyatakan “ Perkataan para penyembah berhala “Kami menyembah mereka
(berhala-berhala itu) supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan
seedekat-dekatnya. Ayat ini menegaskan bahwa mereka menyembah berhala untuk
tujuan tersebut. Sedangkan orang yang bertawassul dengan orang alim atau para rasul
itu tidak menyembah mereka.
Maka jelas bedanya antara orang yang
menyembah berhala yang memang benar-benar
menyembah berhala, yakni dalam ungkapan mereka. Sementara orang yang
bertawassul hanya meminta dan menyembah Allah SWT semata. Tidak terbesit di
dalam hatinya seujung rambutpun keyakinan adaya kekuatan dan kekuasaan lain di
luar kekuatan dan kekuasaan Allah SWT.
Selain itu, untuk makin memantapkan
keyakinan, perlu memaparkan di sini pendapat kelompok yang sering membid’ahkan amaliah tawassul dan
istighatsah. Dalam hal ini, Syaikh Ibn Taimiyah al Hararani (wahabi), berkata
dalam al-Kalim al-Thayyib:
“Bab tentang kaki terkena mati rasa. Dari
al-Haitsam bin Hanasyy, berkata, “Kami bersama Ibn Umar. Tiba-tiba kaki beliau
terkena mati rasa, maka salah seorang yang hadir mengatakan kepada beliau:
“Sebutkan orang yang palin engkau cintai!” Lalu Ibn Umar berkata: “Ya Muhammad .” Maka seketika itu kaki beliau
sembuh.” (Ibn Timiyah, al-Kalim al-Thayyib, hal.173).
Syaikh Ibn Taimiyah juga mennganggap
tawassul dan istighatsah
dengan orang saleh yang sudah wafat bukan sebagai kemungkaran dan
kesalahan, apalagi sebagai kesyirikan.
2.7 Khasiat
Ayat Al-Qur’an, HizibdanDo’a
Mengamalkando’a-do’a,
hizib dan memakai azimat pada dasarnya tidak lepas dari ikhtiar seorang
hamba, yang dilakukan dalam bentuk do’a kepada
Allah SWT melalui amalan itu. Jadi sebenarnya,
membaca hizib dan memakai azimat tidak lebih sebagai salah satu bentuk
do’a kepada Allah
SWT. Dan Allah SWT sangat menganjurkan seorang hamba untuk berdo’a
kepada-Nya. Allah
SWT berfirman:
“Berdo’alah kamu,
niscaya aku akan mengabulkannya untukmu.” (QS. Al-Mu’min:60)
Ada
beberapa dalil dari hadist Nabi SAW yang menjelaskan kebolehan ini. Di
antaranya adalah:
“Dari Awf bin
Malik al-Asyja’I, ia meriwayatkan bahwa kepada zaman jahiliyah,
kita selalu membuat ruqyah (seperti azimat dan semacamnya). Lalu kami
bertanya kepada Rasulullah SAW bagaimana pendapat Engkau (ya Rasul)
tentang hal itu. Rasul menjawab,
“Coba tunjukkan ruqyahmu itu kepadaku. Membuat ruqyah tidak apa-apa selama di dalamnya tidak terkandung kesyirikan.”(HR.Muslim
[4079]).
“Dari Abdullah
bin Amr, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda,
“Apabila salah satu diantara kamu bangun tidur, maka bacalah (bacaan yang artinya)
“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah SWT yang
sempurna dari kemurkaan dan siksaannya, dari perbuatan jelek yang dilakukan hambanya,
dari godaan setan serta dari kedatangannya padaku”.
Maka setan itu tidak akan dapat membahayakan orang tersebut. Abdullah Bin Umar
mengajarkan bacaan tersebut kepada anak-anaknya yang bhalig. Sedangkan yang
belum bhalig, ia menulisnya pada secarik kertas, kemudian digantungkan dilehernya.”
(Al-Kalim Al-Thayyib, hal.33).
Mengenaikhasiatayat-ayat
Al-Qur’an danhizib yang disusunoleh para wali Allah SWT, Syaikh Ibn Qayyim
al-Jauziyahberkata:
“Dan telah diyakini bahwa sebagian perkataan manusia memiliki sekian banyak khasiat dan aneka kemanfaatan
yang dapat dibuktikan. Apalagi ayat-ayat Al-Qur’an selaku firman Allah,
Tuhan semesta alam, yang keutamaannya atas semua perkataan sama dengan keutamaan Allah
atas semua makhluk-Nya. Tentu saja ayat-ayat Al-Qur’an
dapat berfungsi sebagai penyembah yang sempurna, pelindung yang
bermanfaat dari segala marabahaya, cahaya yang memberi hidayah dan rahmat yang
merata. Dan seandainya Al-Qur’an itu diturunkan ke pada gunung,
tentu ia akan pecah karena keagungannya. Allah telah befirman: “Dan kami turunkan dari
Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beiman.”
(QS.Al-Isra’:82). Kata-kata “dari Al-Qur’an”,
dalam ayat ini untuk menjelaskan jenis, bukan bermakana sebagian menurut pendapat yang
paling benar.”(Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad fi HadyKhair
al-‘Ibad, juz 4, hal.177).
2.8 ShalatSunnatQabliyahJum’at
Sebelum khutbah dikumandangkan oleh khatib dalam itu hal shalat Jum’at,
kaum muslimin di tanah air
biasanya melakukan shalat sunnat qabliyah Jum’at. Sebagian besarmasyarakat melakukannya dua raka’at. Tetapi banyak
pula yang melakukannya 4 raka’at seperti di daerah Kalimantan Selatan. Hal
tersebut dilakukan sesuai dengan pendapat yang ditegaskan oleh al-Imam
al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh
al-Muhadzdzab.
Berkaitan dengan shalat qabliyah Jum’atini,
Syaikh Muhammad bin Ali al-Syaukani, ulama Syaikh Zaidiyah yang
menjadi rujukan utama kaumWahabi di tanah air sejak zaman dulu,
telah membeberkan dalil-dalilnya dalam kitab Nail
al-Authar, berikutini:
“Bab
shalat sunnat sebelum Jum’at selama imam
belum keluar. Habisnya waktu shalat sunnat adalah dengan keluarnya imam, kecuali shalat tahiyatal-masjid.
Dari Nubaisyah al-Hudzalir.a, Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Apabila seorang muslim mandi pada hari Jum’at, lalu berangkat ke masjid
tanpa mengganggu atau menyakiti orang lain. Apabila ia mendapati imam telah keluar,
maka ia shalat sunnat sesuai yang telah ditetapkan. Apabila imam telah keluar, maka ia
duduk mendengarkan khutbahnya sampai imam menyelesaikan jum’at dan khutbhahnya.
Maka apabila semua dosa orang tersebut tidak diampuni pada Jum’at itu,
maka Jum’atnya menjadi penebus dosanya sampai Jum’at berikutnya.”(HR.Ahmad).
“Dari Abdullah
bin Mughaffal r.a, dari Nabi Muhammad SAW bersabda: “Antara adzan dan iqamat
pasti ada shalat sunnat,(3 kali), bagi orang yang hendak melakukannya.”
(HR.al-Bukhari dan Muslim).
“Dari Abdullah
bin al-Zubair r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Setiap ada shalat fardhu,
maka sebelumnya ada shalat sunnat dua raka’at.” (HR. Ibn Hibban dalamShahih-nya,
al-Daraquthni dan al-Thabarani).
“Dari
Ibn Umar r.a bahwa ia melakukan shalat sebelum Jum’at lam
sekali dan melakukan shalat sesudahnya dua raka’at. Ia mengabrkan bahwa Rasulullah SAW melakukannya.”Hadist shahih.(HR. Abu Dawud).
2.9 Ziarah Kubur
Apabila kita berkunjung ke makam para wali, misalnya
Wali songo, kita temukan kaum muslimin berbondong-bondong dating melakukan
wisata religi dengan tujuan mencari berkah. Di samping makam para kekasih allah
itu, kita saksikan kaum muslimin membaca al-Qur’an, tahlilan dan aneka dzikir
lainnya dengan khusyu’ dan penuh khidmat. Kemudian diiringi dengan tawassul dan
tabarruk, dengan harapan semua hajat mereka di kabulkan oleh allah swt.
Ziarah makam para wali merupakan tradisi kaum
muslimin sejak generasi salaf yang shalih. Al-Imam al-Hafizh Ibn Hibban,
pengarang kitab shahih Ibn Hibban, menulis dalam al-Tsiqat yang artinya:
“Ali bin Musa al-Ridha meninggal di Thus oleh
racun yang diminumkan oleh khalifah al-Makmun. Makamnya sangat populer, selalu
diziarahi orang, terletak di Sanabadz, di luar Nuqan, di sebelah makam
al-Rasyid. Aku berulang kali ziarah kesana. Setiap aku mengalami kesulitan,
selama tinggal di Thus, lalu aku berziarah ke makam Ali bin Musa al-Ridha, dan
aku berdo’a kepada allah agar menghilangkan kesulitan itu dariku, aku pasti
dikabulkan. Hal itu berulang kali aku lakukan, dan selalu terbukti.”
(Al-Imam al-Hafizh al-Hujjah Ibn Hibban al-Busti, Kitab al-Tsiqat, juz 8, hal.
457).
Al-Imam al-Hafizh Ibn Khuzaimah, penulis kitab
shahih Ibn Khuzaimah,yang menyandang gelar imam al-aimmah (pemimpin para imam),
juga dikenal sebagai ulama’ yang ahli ziarah kubur. Al-Hafizh Ibn Hajar
al-‘Asqalani berkata:
“Al-Hakim pengarang al-Mustadrak berkata
dalam Tarikh Naisabur, “Aku mendengar Abu Bakar Muhammad bin al-Muammal bin
al-Hasan bin Isa berkata, “Kami keluar bersama pemimpin ahli hadist al-Imam Abu
Bakar bin Khuzaimah dan rekannya Abu Ali al-Tsaqafi bersama beberapa orang guru
kami, pada waktu itu rombongan yang menyertai banyak sekali, dengan tujuan
ziara kemakam Ali bin Ibn Khuzaimah terhadap makam itu, serta ke khusyu’annya
didepan makam itu sangat luar biasa, membuat kami merasa heran.” (Al-Imam
al-Hafizh Ibn Hajar, Tahdzib al-Tahdzib, juz 7, hal. 339).
Al-Imam al-Hakim al-Naisaburi, juga bercerita
perihal kisah gurunya, al-Imam al-hafizh Abu Ali al-Naisaburi yang berziarah ke
makam al-imam yahya bin yahya al-Naisaburi, ketika menghadapi kesulitan,
sebagai berikut yang artinya :
“Al-Imam al-Hakim berkata, “ Aku mendengar
al-Imam abu Ali al-Naisaburi berkata, “ Aku mengalami kesusahan yanga berat,
lalu aku bermimpi rasulullah seakan-akan berkata kepadaku, “ Datanglah ke makam
Yahya bin yahya (seorang ulama’ ahli hadist), mohonlah ampunan kepada allah dan
berdo’alah, hajatmu pasti terkabul.” Pagi harinya aku melakukan hal tersebut,
dan hajatku pun terkabul.” (Al-Hafizh Ibn Hajar, Tahdzib al-Tahdzib, juz
11, hal. 261).
Tradisi ziarah wali, yang dewasa ini populer dengan
wisata religi, dengan membaca al-Qur’an dan aneka ragam dzikir lainnya di
samping para wali, lalu erdo’a dan bertawassul dengan para wali, merupakan
tradisi umat islam yang berlangsung sejak generasi sahabat dan diamalkan oleh
para ulama’ ahli hadits. Berkaitan engan tawassul dengan rang yang sudah
meninggal dunia, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, pendiri aliran
Wahabi, menyampaikan sebuah riwayat dalam Ahkam Tamanni al-Maut berikut ini
yang artinya:
“
Sa’ad al-zanjani meriwayatkan hadist dari
Abu Hurairah secara marfu’ : “ Barangsiapa mendatangi makam lalu membaca
al-Fatihah, Qul huwallahu ahad dan alhakumuttakatsur, kemudian mengatakan, “ Ya
Allah, aku hadiahkan pahala bacaan al-Qur’an ini bagi kaum beriman laki-laki
dan perempuan di makam ini,” maka mereka akan menjadi penolongnya kepada
allah.” (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab al- Najdi, Ahkam Tamanni al-Maut,
hal. 75).
2.10
Tradisi
Bulan Shafar
Pada bulan shafar, banyak sekali kaum muslimin di
tanah air yang melakukan tradisi bersedekah dengan membuat bubur shafar (tajin
shafar). Bubur tersebut dibuat secara khas dan dibagi-bagikan kepada keluarga
dan tetangga sekitar dengan tujuan menolak malapetaka. Hal tersebut dialakukan
karena ada sebuah hadits shahih yang artinya :
“
Dari abu Hurairah r.a., rasulullah saw.
Bersabda : “ Tidak ada kepercayaan datangnya sial dari bulan shafar. Tidak ada
kepercayaan bahwa orang mati, rohnya menjadi burung yang terbang.” (H.R.
al- Bukhari dan Muslim).
Dalam menafsirkan kalimat “walaa shafar” dalam
hadits di atas, al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, ulama’ salafi dan murid
Syaikh Ibn Qayyimal-Jauziyah, berkata yang artinya:
“ Maksud hadits diatas, orang-orang
Jahiliyah meyakini datangnya sial dengan bulan shafar. Mereka berkata, Shafar
adalah bulan sial. Maka Nabi saw. Membatalkan hal tersebut. Pendapat ini yang
paling benar. Banyak orang awam yang meyakini datangnya sial pada bulan shafar,
dan terkadang melarang berpergian pada bulan itu. Meyakini datangnya sial
dengan bulan shafar termasuk jenis thiyarah (meyakini adanya pertanda buruk) yang
dilarang.” (Al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif
al-Ma’arif, hal. 148).
Di sisi lain, agama kita juga melarang
menelitiwaktu-waktu yang disangka mendatangkan kesialan dan ketidak
beruntungan. Bahkan sebagai gantinya, pada saat orang lain meyakini datangnya
kesialan dengan waktu-waktu waktu-waktu tertentu, agamakita menganjurkan kita
agar melakukan amal kebaikan yang dapat menolak balak (sial dan ketidak
beruntungan) seperti berdo’a, berdzikir, bersedekah dan lain-lain. Dalam
konteks ini al-Imam al-Hafizh al-Hujjah Zainuddin Ibn Rajab al-Hanbali, ulama’
salafi dan murid terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata dalam kitabnya,
Lathaif al-Ma’arif yang artinya :
“
Meneliti sebab-sebab keburukan seperti
melihat perbintangan dan semacamnya termasuk thiyarah yang dilarang.
Orang-orang yang meneliti hal tersebut biasanya tidak menyibukkan diri dengan
amal-amal baik yang dapat menolak balak, bahkan mereka memerintahkan agar tidak
meninggalkan rumah dan tidak bekerja. Ini jelas tidak mencegah terjadinya
keputusan dan ketentuan allah. Diantara mereka ada yang menyibukkan dirinya
dengan perbuatan maksiat. Hal ini jelas memperkuat terjadinya malapetaka.
Ajaran yang dibawa oleh syri’at adalah tidak meneliti hal tersebut, berpaling
darinya, dan menyibukkan diri dengan amal-amal yang dapat menolak balak seperti
berdo’a, berdzikir, bersedekah, memantapkan tawakal kepada allah swt. Dan
beriman kepada keputusan dan ketentuan allah swt. “ (Ibn Rajab, Lathaif
al-Ma’arif, hal. 143).
Nah, berdasarkan hal inilah para ulama’ kita di
nusantara sejak dulu menganjurkan memperbanyak bersedekah di bulan shafar untuk
menolak balak. Sedekah tersebut oleh masyarakat kita ditradisikan dalam bentuk
bubur shafar. Bahkan pada hari rabu terakhir bulan shafar, tidak sedikit ulama’
kita yang melakukan tradisi shalat sunah mutlak di hari Rabu Wekasan dan
membuat minuman yang diberi tulisan ruqyah agar terhindar dari malapetaka.
Lebih-lebih Rabu terakhir dalam setiap bulan dianggap sebagai hari terjadinya
sial berdasarkan hadits yang artinya :
“ Dari Ibn Abbas r.a. Nabi saw.
Bersabda: “ Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya sial terus.”
HR. Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam al-Tafsir dan al-Khatib
al-Baghdadi. (al-Hafizh Jalaluddin al-suyuthi, al-Jami’ al-Shagir, juz 1, hal.
4, dan al-Hafizh Ahmad bin al-Siddiq al-Ghumari al-Hasani, al-Mudawi li’llal
al-Jami’ al-Shagir wa Syarhai al-Munawi, Juz 1, hal. 23).
Demikian beberapa tradisi umat islam nusantara dalam
pandangan ahli hadits dan para ulama’ salafi, rujukan utama kaum wahabi,
seperti al-Imam ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab imam al-Hanbali, serta para
pengikutnya, dan syaikh Ibn Taimiyah serta murid-murid dan para pengagumnya.
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Tradisi
adalah sesuatu yang terjadi berulang-ulang dengan sengaja dan bukan secara
kebetulan. Hukum melanggar tradisi masyarakat adalah hal yang tidak baik selama
tradisi tersebut tidak diharamkan oleh agama.
Sebagian
dari tradisi tersebut adalah Tradisi Yasinan, Tradisi Maulid Nabi, Tradisi
Manaqiban dan Haul,Tradisi Bulan Syura, Tradisi Bulan Sya’ban, Ruwahan, dan
Nyadran, Tradisi Istighatsah dan Tawassul, Khasiyat Ayat Al-Qur’an, Hizib, dan
Do’a, Shalat Sunnat Qabliyah Jum’at, Ziarah Kubur, Tradisi Bulan Shafar.
DAFTAR PUSTAKA
KH. Akhyar, Miftahul, 2015, Risalah Ahlussunnah Wal Jamaah dari Pembiasan Menuju Pemahaman dan
Pembelaan Akidah-Amaliah NU, Surabaya, Khalista.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar